Dapatkan Segera Buku & Hasil Penelitian PPIM UIN Jakarta Download Sekarang

Launching Hasil Penelitian PPIM UIN Jakarta “Beragama ala Anak Muda: Ritual No, Konservatif Yes”

Share this post

Launching Hasil Penelitian PPIM UIN Jakarta “Beragama ala Anak Muda: Ritual No, Konservatif Yes”

Jakarta, PPIM – Konservatisme beragama melanda anak muda Indonesia. Media, terutama media sosial, adalah pintu utama perjumpaan pergaulan mereka selama ini. Meskipun demikian, belum ada informasi yang terperinci sejauhmana pengaruh media dalam mempengaruhi pemahaman keberagamaan generasi muda Indonesia. Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta melalui program Media and Religious Trends in Indonesia (MERIT Indonesia) melakukan survei nasional untuk mengetahui fenomena sesungguhnya.

Survei ini memotret tingkat pemahaman anak muda (Generasi Millenial dan Generasi Z)  berdasarkan pengamatan melalui media komunikasi yang mereka gunakan saat ini media sosial, televisi, radio, dan podcast. Secara umum, survei menemukan adanya kecenderungan dimana anak muda sebetulnya tidak begitu religius dan rajin dalam menjalankan ritual-ritual keagamaan. Namun pandangannya terhadap agama justru berpotensi lebih konservatif bila dibandingkan dengan generasi-generasi sebelumnya. Selain itu, anak muda juga menjadi responden yang paling sering mengakses media untuk mencari tahu informasi keagamaan.

Hasil survei akan dipresentasikan oleh Iim Halimatusa’diyah, Ph.D  selaku koordinator survei dan Afrimadona, Ph.D pada hari Rabu, 8 Desember 2021. Launching hasil survey ini dilaksanakan secara hybrid dimana narasumber dan pembahas seperti Ulama Muda, Habib Ja’far dan Staf Khusus Menteri Bidang Komunikasi dan Media, Kementerian Sekretaris Negara RI, Faldo Maldini hadir secara langsung. Sementara itu, dua pembahas lainnya yaitu  Staff Ahli Menteri Bidang Komunikasi dan Media Massa, Kementerian Komunikasi dan Informatika RI, Prof. Dr. Widodo Muktiyo dan dosen Cultural Studies di School of Culture and Communication, The University of Melbourne, Dr. Annisa R. Beta mengikuti kegiatan secara daring. Para peserta dapat mengikuti kegiatan secara daring melalui aplikasi zoom dan YouTube.

 

Tentang Survei

Penelitian ini merupakan survei nasional di 34 provinsi yang dilakukan dari 13-22 Oktober 2021 dengan fokus pada populasi muslim dewasa (17 tahun ke atas). Total sampel dalam penelitian ini adalah 1214 sampel responden yang dipilih dengan teknik multistage random sampling. Pengacakan dilakukan di tingkat kabupaten/kota, kecamatan, kelurahan, sampai tingkat RT/RW, rumah tangga, dan individu. Sampel tersebut dialokasikan ke 122 desa/kelurahan yang tersebar di 34 provinsi di Indonesia. Kerangka sampel yang digunakan terdiri dari lima tahap, yakni daftar kabupaten/kota di Indonesia, daftar kecamatan, daftar desa/kelurahan, daftar rumah tangga, daftar orang dewasa Muslim berusia 17 tahun. Margin of error dari survei ini adalah 2.8% dengan tingkat kepercayaan 95%.

Profil demografi dari responden dalam penelitian ini adalah: dari sisi gender, 49.57% merupakan responden laki-laki dan sisanya sebesar 50.43% adalah responden perempuan. Dari sisi generasi usia, responden dalam penelitian ini mencakup Generasi Silent/Boomer yang berusia (57-83 tahun di tahun 2021) dengan proporsi sebesar 14.02%, Gen X (usia 41-56 tahun) sebesar 31.62%, Millennial (usia 25-40 tahun) sebesar 40.74% dan Gen Z (usia 17-24 tahun) sebesar 13.62%. Lalu, dari sisi pendidikan, mayoritas responden menempuh pendidikan yang tidak terlalu tinggi dengan proporsi tertinggi adalah mereka yang menempuh pendidikan terakhir SMA/MA sebesar 45.01%, disusul oleh mereka yang berpendidikan SD/MI (22.94%), Diploma/S1/Master (16.74%) dan SMP/MTS (15.32%). Dari sisi pendapatan, responden yang berpendapatan 2 juta – kurang dari 4 juta mencapai 24.93%, dan proporsi terendah adalah responden yang berpenghasilan 4 juta sampai lebih dari 20 juta sebesar 10.87%. Survei ini juga memperoleh gambaran variasi pekerjaan dari responden. Wiraswasta merupakan jenis pekerjaan responden yang proporsinya paling tinggi (18.47%). Sementara itu, jenis pekerjaan yang proporsinya terendah adalah yang responden yang bekerja sebagai tukang ojek atau sopir sebesar 0.96%.

 

  1. Kala anak muda mencari agama di media

Ketika ditanya apakah media––baik media sosial, televisi, radio, dan podcast––menjadi sumber pengetahuan agama, jawaban “iya” paling banyak ditemukan pada televisi. 84.15% responden menjawab bahwa televisi menjadi sumber pengetahuan agama mereka. Sementara untuk media sosial, 64.66% menjawab “iya” sebagai jawaban pertanyaan ini. Tren ini mengindikasikan bahwa televisi masih menjadi media yang paling sering dijadikan rujukan masyarakat sebagai sumber pengetahuan agama.

Kemudian, siapa yang menjadikan media-media ini sebagai sumber pengetahuan agama? Temuan survei memperlihatkan bahwa millennial adalah generasi yang paling banyak menjawab “iya” pada pertanyaan media sebagai sumber pengetahuan agama. Baik di media baru seperti podcast dan media sosial, ataupun media lama seperti radio dan televisi, jumlah millennial yang menjawab “iya” pada pertanyaan tersebut mendominasi generasi lainnya. Ini menandakan bahwa generasi ini merupakan generasi yang paling semangat belajar agama di media, dan secara bersamaan menandakan bahwa mereka adalah generasi yang paling sering menjadi konsumen konten-konten keagamaan di berbagai jenis media.

  1. Frekuensi mengakses sumber pengetahuan agama: apa yang berbeda pada tiap generasi?

Seberapa sering para responden mengakses media sebagai sumber pengetahuan agama? Survei ini menunjukkan bahwa ada kecenderungan bahwa generasi muda (Millennial dan Gen Z) lebih sering mengakses informasi/program keagamaan dari media baru seperti media sosial maupun podcast. Sementara generasi yang lebih tua, terutama generasi Silent/Boomer, lebih sering mengaksesnya lewat media lama seperti radio dan televisi. Pada kasus radio, ada kecenderungan menarik bahwa generasi Z justru menempati posisi kedua sebagai generasi yang sering mengakses radio untuk mencari informasi/program pengetahuan agama.

  1. Agama dan perilaku bermedia sosial anak muda

Data memperlihatkan bahwa anak muda, terutama mereka yang disebut sebagai Gen Z, paling sering melakukan interaksi terkait isu keagamaan. Mereka adalah generasi yang paling sering menyukai (like) atau tidak menyukai (dislike), berbagi informasi (share), memberi komentar (comment), dan mengkonsumsi program keagamaan di media sosial. Sebagai tambahan, millennial juga menjadi generasi lainnya yang kerap memberi komentar dan mengkonsumsi program agama.

Survei juga menemukan bahwa individu yang menjadikan media sosial sebagai sumber agama cenderung lebih sering berinteraksi di media sosial. Adapun bentuk-bentuk interaksi nya seperti memberi tanggapan (like/dislike), berbagi informasi (share), memberi komentar (comment), dan tentu saja menyaksikan program keagamaan itu sendiri. Selain itu, semakin tinggi tingkat religiusitas seseorang, maka semakin sering juga dia melakukan interaksi-interaksi tersebut di media sosial. Hal serupa juga ditemui pada individu yang paling merasa sebagai religious opinion leader (seseorang yang merasa pendapatnya sering didengar terkait hal keagamaan).

Lebih jauh, survei ini melihat media-media apa saja yang ditonton di media sosial oleh tiap generasi. Millenial dan Gen Z adalah dua generasi yang paling sering mengakses media moderat, media konservatif, maupun media liberal. Sementara itu, dua generasi yang lebih tua seperti silent/boomer maupun Gen X semakin jarang mengakses channel-channel keagamaan di YouTube.

  1. Jarang ritual, tetapi konservatif

Penelitian ini menemukan bahwa Millennial dan Gen Z adalah generasi yang paling rendah tingkat religiusitas nya secara berurutan. Selain itu, survei menemukan bahwa tingkatannya cukup signifikan dari generasi ke generasi, sehingga memperlihatkan kecenderungan bahwa semakin tua seseorang, maka semakin rajin ritual keagamaannya. Adapun yang dimaksud dengan religiusitas dalam hal ini adalah tingkat keseringan atau tidaknya seseorang dalam menjalankan ritual-ritual keagamaan pada kehidupan kesehariannya.

Berbeda dengan temuan di atas, data justru memperlihatkan fenomena yang berlainan arah. Generasi Millennial justru menjadi generasi yang tingkat konservatismenya paling tinggi bila dibandingkan dengan generasi lainnya. Selain itu, hasil survei juga memperlihatkan bahwa meski ada generasi yang paling konservatif dibandingkan dengan generasi lainnya, namun secara umum terlihat bahwa hampir seluruh generasi umumnya memiliki tingkat konservatisme rendah sampai tinggi.

Gambar 1. Proprosi Konservatisme antar generasi dan tingkatannya
  1. Siapa yang lebih konservatif antara pemuda desa dengan kota?

Survei ini juga mencari tahu, apakah ada perbedaan tingkat religiusitas dan konservatisme antara anak muda yang tinggal di kota dengan di desa. Hasilnya, dari sisi religiositas, tidak ada perbedaan yang signifikan antara para Millennial dan Gen Z yang tinggal di desa maupun di kota. Keduanya justru cenderung kurang religius bila dibandingkan dengan generasi-generasi yang lebih tua seperti Gen X maupun Silent/Boomer. Namun, ketika dilihat dari tingkatan konservatismenya, tidak ada perbedaan yang signifikan antara responden dari desa maupun kota apapun generasinya. Meski begitu, ada sedikit kecenderungan bahwa millennial di desa maupun kota lebih konservatif ketimbang generasi lainnya.

  1. Media dan konservatisme pada tiap generasi

Survei ini juga menganalisa sejauh mana frekuensi individu mengakses narasi keagamaan dari media liberal, moderat maupun konservatif berpengaruh terhadap tingkat konservatisme individu. Studi ini juga menganalisa faktor selain media yang juga berperan sebagai determinan bagi tingkat konservatisme Individu. Detail variabel yang dianalisis telah dijelaskan di bagian sebelumnya. Terlihat bahwa semakin sering individu menonton media konservatif-islamis dari media sosial, semakin tinggi tingkat konservatisme mereka. Sebaliknya, semakin sering individu menonton media moderat, maka semakin rendah tingkat konservatismenya.

Hasil ini mengindikasikan bahwa pertama semakin sering individu terpapar narasi yang konservatif-Islamis bisa menguatkan tingkat konservatisme yang mereka miliki. Sebaliknya semakin individu terpapar pada narasi yang moderat, semakin rendah tingkat konservatisme mereka.

Kedua, media sosial membuka ruang yang lebih terbuka untuk individu memilih narasi keagamaan yang berbeda. Sisi positifnya, jika individu sering terpapar narasi keagamaan yang berbeda dengan paham keagamaan yang dimilikinya, maka ada peluang bagi adanya perubahan pandangan keagamaan seperti terlihat bahwa mereka yang sering mengakses media moderat cenderung memiliki tingkat konservatisme yang rendah. Akan tetapi, hasil ini juga menunjukkan adanya kecenderungan individu untuk mengakses media yang hanya sejalan dengan paham atau ideologi keagamaan yang dimilikinya sehingga besar kemungkinan efek media hanya berperan menguatkan ideologi atau paham keagamaan yang telah dimiliki individu sebelumnya. Hal ini terlihat dari analisis bahwa mereka yang sering mengakses media konservatif cenderung memiliki tingkat konservatisme yang tinggi. Oleh karena itu, media sosial justru berperan sebagai echo-chamber (ruang bergema) untuk menguatkan paham keagamaan yang telah dimiliki seseorang.

Sementara itu, dari sisi generasi, Millennial cenderung lebih konservatif dibandingkan Silent/Boomer. Hasil survei juga menggambarkan bahwa millennial cenderung lebih konservatif dibandingkan semua kategori generasi lainnya. Dari sisi etnis, dibandingkan non-Jawa, orang Jawa cenderung memiliki tingkat konservatisme yang lebih rendah. Dari tingkat pendidikan juga terlihat bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin rendah tingkat konservatisme.

Lebih spesifik terkait perbedaan antar generasi bahwa Millennial yang sering mengakses media konservatif-Islamis dari media sosial cenderung memiliki tingkat konservatisme yang lebih tinggi. Selanjutnya, Gen Z yang sering mengakses media konservatif juga cenderung memiliki tingkat konservatisme yang tinggi. Sebaliknya, Gen X, Millennial, dan Gen Z yang sering mengakses media moderat, memiliki tingkat konservatisme yang rendah. Hal yang hampir sama juga terlihat untuk kategori akses terhadap media liberal. Silent/Boomer yang sering menonton media liberal cenderung memiliki tingkat konservatisme yang rendah. Terakhir, terkait program agama televisi, Gen Z yang sering menonton beberapa program agama yang ada di televisi cenderung memiliki tingkat konservatisme yang lebih tinggi.

Kami juga mencoba melihatnya hubungan antara media dan agama dari aspek politik. Hasil survei menunjukkan bahwa individu yang mendukung kebebasan sipil cenderung memiliki tingkat konservatisme yang lebih rendah, sedangkan mereka yang memiliki tingkat konservatisme ekonomi yang tinggi cenderung memiliki tingkat konservatisme agama yang juga tinggi. Terkait pilihan politik, pemilih Prabowo dan Sandi, dan mereka yang merahasiakan pilihannya cenderung memiliki tingkat konservatisme yang lebih tinggi.

Selanjutnya, mereka yang memiliki pendapatan yang tinggi juga cenderung memiliki tingkat konservatisme yang lebih rendah. Hal ini menunjukkan bahwa individu yang memiliki latar belakang sosial ekonomi yang lebih baik cenderung memiliki tingkat konservatisme yang lebih rendah dibandingkan mereka yang memiliki latar belakang sosial ekonomi yang kurang mapan. Peningkatan pendidikan dan kesejahteraan individu menjadi penting untuk mencegah tingginya tingkat konservatisme.

  1. Menjadi ideologis karena paparan konten, benarkah?

Dalam survei ini, kami juga melakukan eksperimen untuk menguji apakah eksposur terhadap pesan ideologis akan membuat seseorang menjadi lebih ideologis.

Survei menemukan bahwa one-time exposure tidak serta merta membuat seseorang menjadi lebih ideologis. Bias ideologi yang sudah melekat pada seseorang menjadi penentu bagi seseorang dalam mengkonsumsi sebuah konten yang sesuai dengan ideologinya. Sehingga hal ini mengakibatkan seorang yang konservatif, misalnya saja, akan lebih konservatif karena membaca konten yang konservatif juga. Ihwal serupa juga ditemukan pada orang yang sudah moderat maupun liberal.

Penelitian eksperimen ini juga memperlihatkan kecenderungan konservatisme Gen Z yang dalam hal ini diukur dari dukungan yang relatif tinggi (dibandingkan kelompok generasi lain) untuk tetap melaksanakan sholat berjamaah rutin dan sholat jumat berjamaah di masjid dan dukungan yang relatif rendah untuk sholat di rumah saja. Uniknya, mereka yang mendukung sikap ibadah yang konservatif ini adalah mereka yang juga dipaparkan dengan pesan liberal dan moderat. Sehingga, pesan ideologis hanya mengamplifikasi ideologi yang sudah sejalan dengan pesan yang diterima. Namun, pesan ideologis tidak bisa mengubah kecenderungan ideologis yang sudah ada pada diri seseorang. Ini misalnya diperlihatkan oleh sikap Gen Z yang tetap konservatif meskipun mereka sudah dipaparkan dengan pesan konservatif/moderat/liberal.

  1. Beberapa Rekomendasi

Dari temuan-temuan di atas, ada sejumlah rekomendasi yang kami usulkan, yakni:

  • Negara, serta paling utama kelompok masyarakat sipil dan pihak-pihak terkait, harus lebih memperhatikan media lantaran masih memainkan peran penting dalam membentuk sikap keberagamaan seseorang. Pengarusutamaan pesan-pesan atau konten-konten keagamaan yang lebih moderat diperlukan untuk menekan kecenderungan konservatisme. Ini tentu saja tidak akan terjadi dalam waktu yang singkat. Butuh waktu yang cukup lama agar bisa mengubah kecenderungan konservatisme ini. Karena itu, konsistensi dan persistensi dengan kebijakan moderatisme pesan-pesan media sangat diperlukan.
  • Dari semua temuan kunci di atas juga terlihat bahwa mereka yang konservatif cenderung aktif berkomentar di media sosial untuk aktivitas terkait isu keagamaan. Ini menandai bahwa konservatisme dan noisy minority mendominasi di dunia maya. Sementara itu, Muslim moderat cenderung kurang aktif dan menjadi silent majority terkait isu keagamaan di media sosial. Oleh karena itu, penting untuk mendorong peran aktif kelompok moderat dalam isu keagamaan di media sosial. Hal ini diharapkan mampu meminimalisir dominasi dakwah di media sosial oleh mereka yang konservatif yang dari sisi proporsi juga menunjukkan angka yang cukup dominan.
  • Pengarusutamaan moderasi beragama harus dilakukan secara berkesinambungan baik melalui media dengan aktivitas online dan juga melalui kegiatan-kegiatan yang dilakukan secara offline. Hal ini misalnya bisa dilakukan dengan memperbanyak ruang-ruang perjumpaan antar individu yang memiliki pemahaman berbeda untuk bisa saling berdiskusi secara terbuka baik online maupun offline.
  • Penting untuk mempertimbangkan beberapa intervensi praktis, misalnya seperti melibatkan influencer untuk memproduksi konten keagamaan moderat di media sosial dengan kemasan yang lebih populer supaya lebih mudah diterima oleh semua kalangan, terutama Millenial dan Gen Namun, konten moderasi beragama juga harus semakin ditingkatkan kehadirannya di media televisi, radio, dan podcast.
  • Di tingkat negara Kementerian Agama dengan penyuluh agamanya, organisasi masyarakat islam (NU, Muhammadiyah, MUI) juga perlu untuk turut berpartisipasi dalam mempopulerkan pesan moderasi beragama di media sosial, televisi, radio dan podcast.