Ismail Hasani menuturkan bahwa domain agama terhadap negara masih menjadi kendala. Dalam hal ini, misalnya, proses legislasi di Indonesia masih menempatkan argumentasi keagamaan dalam menyelesaikan sebuah perkara atau dalam tahap penyusunan kebijakan. “Bahkan hal tersebut juga terjadi di Mahkamah Konstitusi, yang seharusnya mengutamakan constitutional justice ketimbang social justice,” sambung Ismail.
Menanggapi hal tersebut, Prof. Bahtiar Effendy, Guru Besar Ilmu Politik UIN Jakarta, berpandangan berbeda. Menurutnya, persoalan hubungan antara agama dan negara bukanlah sebuah masalah utama yang menyebabkan Perda-Perda bernuansa agama terus bermunculan.
“Negara kita bukanlah negara yang sekuler. Para pendiri bangsa ketika merumuskan dasar negara ini pun seringkali melakukan perdebatan agama ketimbang perdebatan yang lain,” terang Prof. Bahtiar.
Prof. Ryaas Rasyid menyatakan, penelitian ini belum bisa menjawab pertanyaan bahwa hubungan antara agama dengan negara mengakibatkan kemunculan Perda-Perda bernuansa agama. Dia menyarankan, “Tim peneliti PPIM harus melakukan penelitian di wilayah lain yang mayoritas penduduknya bukan umat Islam. Hal itu perlu diteliti untuk membuktikan sejauhmana identitas agama telah diinstitusikan ke dalam negara lewat sebuah Perda.”
Pada akhir acara, Prof. Bahtiar memberikan solusi terkait keberadaan Perda-Perda bernuansa agama yang menimbulkan masalah sosial keagamaan. Ia mengatakan, “agar masalah ini bisa selesai, paling aman adalah untuk mengatakan bahwa semua Perda-Perda tersebut telah melanggar undang-undang dasar.”