itofficerppim-webadmin2020-10-30T06:14:03+07:00
Ciputat, Dalam sesi diskusi oleh narasumber, seminar ini dimoderatori oleh Jajang Jahroni, Ph.D, dosen Fakultas Adab dan Humaniora UIN Jakarta. Sebelum dimulai Jajang mengatakan bahwa bahwa di negeri ini terdapat ratusan perda bermasalah karena hanya mencerminkan kelompok tertentu saja dan berpotensi diskriminatif.
“Kita ingin melihat sejauh mana perda-perda bernuansa agama tersebut berjalan dan mengidentifikasi masalah yang ditimbulkannya. Dan yang menjadi pembahasan penting adalah bagaimana UU Otonomi Daerah seharusnya direspon oleh pemerintah daerah dalam konteks pembuatan regulasi yang bersinggungan dengan urusan keagamaan” ujar doktor bidang antropologi lulusan Boston University ini.
Pada seminar tersebut, tampil sebagai pembicara pertama yaitu Prof. Dr. Ryaas Rasyid, mantan Menteri Negara Otonomi Daerah RI. Dia mengatakan bahwa secara undang-undang, peraturan daerah yang berkaitan dengan urusan agama tidak dibenarkan. “Intinya, menurut UU Otonomi Daerah, tidak ada hak otonom pemerintah daerah untuk mengurus masalah agama, kewenangan tersebut mutlak hanya milik pemerintah pusat. Tidak dibenarkan sebuah daerah membuat perda yang berkaitan dengan agama” ujar Prof. Ryaas.
Menurutnya, ada beberapa unsur yang menyebabkan Perda-perda bernuansa agama dikatakan bermasalah dan harus dilawan. Pertama, bertentangan dengan regulasi yang lebih tinggi, baik itu undang-undang atau konstitusi. Kedua, berpotensi menimbulkan mudarat dalam masyarakat. Ketiga, menguntungkan sekolompok orang dan merugikan yang lain. Keempat, perda tersebut memberi beban kepada masyarakat.
Mengamini temuan riset PPIM, politik identitas menjadi salah satu faktor yang cukup signifikan dalam kemunculan Perda-Perda bernuansa agama di daerah. “Semenjak otonomi daerah, politik identitas tidak dapat dihindari, karena sudah sekian lama mereka dibungkam. Politik identitas adalah salah satu respon masyarakat daerah terhadap kebebasan dan desentralisasi, sehingga sangat memungkinkan menjamurnya perda-perda bernuansa agama.” terang Prof. Ryaas.
Selain itu, Prof. Ryaas juga menjelaskan faktor lain penyebab kemunculan perda-perda tersebut, yaitu karena lemahnya kontrol pemerintah pusat terhadap UU Otonomi Daerah. Menurutnya, kemampuan pemerintah pusat dalam mengawasi UU Otonomi Daerah sangat lemah dan cara-cara penanganan kasus-kasus yang berkaitan dengan pemerintah daerah tidak cukup profesional.
Sementara itu, Ismail manambahkan, bahwa meningkatnya Perda-Perda tersebut diakibatkan oleh beberapa hal yang secara konseptual -terkait hubungan pusat-daerah- yang belum tuntas. Misalnya terdapat beberapa mekanisme pembagian wewenang antara pemerintah pusat dan daerah yang belum jelas, tidak mepunyai konsep pluralisme hukum yang jelas, hubungan agama dan negara yang tidak tuntas, dan idelologi politik keagamaan intoleran. Hal tersebut, menurut Ismail, menjadi hambatan besar bagi pemerintah pusat dalam melakukan supervisi, pengawasan, dan evaluasi terhadap pemerintah daerah.