itofficerppim-webadmin2020-10-31T03:00:57+07:00
Ciputat, PPIM- Rekonsiliasi bagi para siswa pasca konflik melalui penguatan tradisi lokal, misalnya seperti Pela Gandong, kurang efektif di terapkan beberapa daerah di Maluku. Pernyataan tersebut diungkapkan oleh Alpha Amirrachman dalam PPIM Seminar Ke-24 di Gedung PPIM UIN Jakarta, 27 April 2016.
“Pela Gandong bukan identitas lokal bagi seluruh masyarakat Ambon. Sehingga kurang tepat kalau dipaksakan sebagai mekanisme budaya untuk rekonsiliasi konflik di seluruh wilayah Maluku” ujar Direktur Eksekutif Centre for Dialogue and Cooperation among Civilisations (CDCC).
Topik diskusi tersebut diangkat dari disertasi Alpha yang dipertahankannya di University of Amsterdam, Belanda, yang berjudul Peace Education in Post-Conflict Maluku, Indonesia: Reconciliation, Citizenship, and Return of Localism. Dalam disertasi tersebut, dia melakukan studi kasus di 4 sekolah: 1) SMP PGRI 2 Ama Ory di Passo, 2) MTs Al-Irsyad Telaga Kodok, 3) SMP 2, dan 4) SMAS 45.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran pendidikan dalam menciptakan kohesi sosial dan menangani konflik. Beberapa pembahasan dalam diskusi ini meliputi pengaruh tradisi lokal terhadap perilaku pelajar di Maluku terhadap siswa yang berbeda agama, serta persepsi mereka terhadap identitas lokal dan identitas nasional.
“Kecurigaan dan kebencian antara pelajar Muslim dan Kristen masih terjadi di sekolah 1, 2, dan 3, meskipun di sekolah mereka menerapkan pendidikan perdamaian yang berbasis pada tradisi lokal. Sementara itu, di sekolah 4, para siswa mempunyai kecenderungan kuat berkurang rasa benci dan curiga mereka terhadap siswa yang berbeda agama, meskipun mereka tidak mendapatkan pendidikan perdamaian di sekolah. Fakta penting adalah bahwa di sekolah 4, para siswa cenderung menjadikan identitas nasional di atas daripada identitas etnik dan agama mereka, sementara di sekolah 1, 2, dan 3 sebaliknya” Ujar Dosen Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Banten ini.
Dalam diskusi ini, Alpha menyimpulkan bahwa kepemimpinan kepala sekolah adalah salah satu faktor penting dalam menciptakan suasana damai, seperti yang terjadi di Sekolah 4, di mana kepala sekolah memberikan perhatian yang lebih terhadap toleransi beragama. (RGA)