itofficerppim-webadmin2020-10-31T03:27:38+07:00
Ciputat, PPIM – Ternyata, para “santri” di Iran suka membaca, dan dibolehkan, belajar filsafat. Iran menekankan pada pendidikan Islam yang berbasis pada rasionalitas dan membuka peluang dialog yang setara. Kemudian kaum terpelajar Iran, termasuk mereka yang belajar agama, dituntut untuk mampu menjawab tantangan zaman. Hal tersebut disampaikan Prof. Hojjatul Islam Muhamad Javad Nezafat Yazdi, Direktur Riset Hauzah Ilmiah di Mashhad Iran, di ruang Seminar PPIM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Kamis, 18 Agustus 2016.
Lembaga Hauzah Ilmiah merupakan lembaga pendidikan tradisional yang berusia ratusan tahun dan mampu bertahan hingga sekarang. Lembaga ini layaknya pondok pesantren di Indonesia yang menciptakan dan membentuk tokoh-tokoh agama di Iran: Mujtahid, Hojjatul Islam, Ayatollah, Mullah. Dalam hal ini, bagi Iran, konsep kemandirian dan bersikap kritis penting sekali. “Umat Islam tidak boleh terlena dalam kungkungan modernitas Barat dan tanpa nalar kritis mengkritik kebijakan dunia Barat. Kita sebagai umat Islam juga bisa berdiri sendiri mengembangkan sistem pendidikan yang bermutu serta mengandalkan nalar dengan menyandarkannya kepada Allah,” ungkap Nezafat Yazdi dalam seminar PPIM yang ke-27 yang dimoderatori oleh Dadi Darmadi ini.
Hauzah Ilmiah memiliki tipologi berbeda dengan Universitas. Lembaga ini memfokuskan pada penggemblengan ruh dan jiwa. Selain itu juga siswa atau santri dididik dengan fokus pada moralitas dan akhlak. Menariknya, siswa atau santri di sana wajib belajar filsafat, mengetahui logika suatu hal agar dapat berargumentasi dengan baik. “Kebiasaan membaca lalu mendiskusikannya adalah hal lumrah terjadi di lembaga kami,” ujarnya.
Sebagai pembicara kedua, Prof. Sayid Mufid Husaini Kouhsari menuturkan bahwa dalam dua dasawarsa terakhir, grafik Pendidikan Islam di Iran mengalami perkembangan cukup pesat. Produktifitas sarjana Iran cukup baik, baik dalam bidang sains ataupun ilmu-ilmu sosial, seperti yang terlihat di jurnal-jurnal internasional. Selain itu, pemerintah Iran pasca revolusi sangat mendukung temuan-temuan di berbagai bidang, dan membentuk dewan pakar bagi setiap disiplin keilmuan.
Dalam pengembangan sistem pendidikannya, seperti yang diungkapkan Mufid Husaini, Iran memiliki semacam roadmap (peta jalan) bagi masa depan dunia pendidikan nasionalnya. Road map tersebut diikuti oleh seluruh unsur masyarakat Iran. “Kami berharap dunia Muslim tidak terbelakang dan bisa berkompetisi dengan dunia Barat,” pungkasnya.
Dari beberapa pertanyaan yang muncul, diketahui bahwa, meskipun tetap mandiri dan independen dari pengaruh negara, lembaga pendidikan tradisional seperti Hauzah bisa bertahan karena dukungan moral dan finansial dari masyarakat, khususnya para dermawan, bantuan zakat dan lain-lain. Lembaga pendidikan ini, meskipun tempat pendidikan para da’i tidak diperkenankan adanya pemaksaan agama atau mazhab tertentu, “Orang non-Syi’ah juga diperbolehkan belajar di Hauzah Ilmiyah, tanpa perlu takut akan menjadi Syi’ah” jelas Javad Nezafat Yazdi.
Meskipun dipresentasikan dalam bahasa Farsi, diskusi berjalan cukup dinamis. Hadirin menyimak pesan-pesan narasumber yang diterjemahkan oleh Akmal Kamil, MA Direktur Sadra Internastional Institute. Dalam sambutan singkatnya, Saiful Umam, selaku Direktur PPIM UIN Jakarta menyambut baik berbagai inisiatif dan dialog kebudayaan seperti dalam tema seminar PPIM kali ini. “Kita bangsa Indonesia sangat perlu memahami dan mempelajari berbagai perkembangan termasuk aspek pendidikan di dunia Islam. Iran memiliki sejarah yang panjang dan kebudayaan Islam di Persia telah berkontribusi besar bagi sejarah dan peradaban Islam.”