Dapatkan Segera Buku & Hasil Penelitian PPIM UIN Jakarta Download Sekarang

Buku Teks PAI Belum Menjadi Bagian dari Politik Kebudayaan Nasional


Negara selama ini tidak menjadikan produksi buku teks Pendidikan Agama Islam (PAI) sebagai bagian dari politik kebudayaan nasional serta bagian dari character and nation building. Demikian salah satu temuan penelitian Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta atas buku teks PAI di sekolah. Penelitian yang dilaksanakan pada awal 2016 tersebut dipresentasikan dalam Seminar di Auditorium Fakultas Ilmu-ilmu Sosial dan Politik (FISIP) UIN Jakarta, pada Kamis, 29 September 2016. Seminar yang diikuti sekitar 300 peserta ini menghadirkan Prof. Dr. Azyumardi Azra, Dr. Muhammad Abduhzen, dan Dr. Amin Haedari sebagai pembahas atas presentasi yang disampaikan peneliti senior PPIM sekaligus ketua tim, Dr. Didin Syafruddin. Seminar juga dihadiri Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Prof. Dr. Muhadjir Effendy yang memberi sambutan di akhir acara.

Dalam sambutannya, Mendikbud mengapresiasi penelitian yang telah dilakukan PPIM dan membenarkan ada masalah dalam buku teks PAI di sekolah sehingga kemudian ditarik dari peredaran untuk direvisi dan disempurnakan. Dia mengakui bahwa masalah perbukuan tidak mudah untuk diurai karena adanya penerbit-penerbit besar yang terlibat dalam proses produksi. Meski demikian, buku hanyalah salah satu masalah pendidikan di Indonesia. Masih banyak masalah lain yang lebih besar, seperti guru dan kurikulum. “Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sedang berkonsentrasi mengembangkan model penguatan pendidikan karakter (PPK) dengan memberikan bobot lebih besar pada proses pembiasaan dan pembentukan nilai-nilai toleransi, patriotisme, integritas, kerja keras, dan gotong royong di lingkungan sekolah,” paparnya. Pada konteks ini, pendidikan agama merupakan salah satu sumber utama dalam penguatan nilai-nilai kewargaan dan demokrasi di sekolah. “Saya setuju dengan pandangan penelitian PPIM UIN ini bahwa pemerintah haruslah memastikan pandangan keagamaan yang toleran dan sejalan dengan nilai-nilai kewargaanlah yang mesti menjadi perspektif dan muatan dari pendidikan agama.”

Sementara itu Direktur Eksekutif PPIM, Dr. Saiful Umam, dalam sambutan pembukaannya mengajak semua pihak untuk peduli dengan isi dan muatan buku-buku teks keagamaan di sekolah karena dapat mempengaruhi perilaku para siswa. Jika paham eksklusif dan radikalisme terkadung di dalamnya, bisa saja memengaruhi anak didik berperilaku radikal. Dia juga mengusulkan agar Kementerian Agama, sebagai kementerian yang bertanggung jawab terhadap pembinaan agama, lebih intens terlibat dalam penyusunan bahan ajar tersebut. Bahkan kalau perlu otoritas penyusunan buku teks pendidikan agama yang sekarang ada di Kemdikbud ditinjau kembali.

Selanjutnya, Dr. Didin Syafruddin dalam paparan hasil penelitian mengungkapkan bahwa, selain kesimpulan tersebut di atas, buku teks PAI masih ambigu dalam masalah toleransi. Ada bagian yang mengajarkan hidup toleran tapi ada bagian lain yang tidak menghargai perbedaan. Bahkan ada hujatan terhadap kelompok lain. Tidak mengherankan jika pernah terjadi penolakan dari masyarakat terhadap buku teks tersebut, seperti yang terjadi di Jombang. Oleh karena itu, salah satu rekomendasi penelitian ini adalah pemerintah perlu membuat panduan yang menegaskan visi, misi, prinsip-prinsip, nilai-nilai, dan metode pembahasan buku teks PAI dalam merespon perbedaan paham Islam dan konsep-konsep sensitif dalam konteks internal umat Islam, antar umat beragama, maupun dalam konteks berbangsa dan bernegara. Pemerintah perlu menjadikan buku teks PAI sebagai bagian dari politik kebudayaan nasional dalam menjaga dan meningkatkan kohesi sosial, dimana buku teks PAI memuat Islam yang cinta damai dan adil meskipun hidup dalam perbedaan.

Menanggapi hasil penelitian tersebut, mantan rektor UIN Jakarta, Prof. Dr. Azyumardi Azra, mengusulkan agar pemerintah membentuk semacam tim pentashih buku teks PAI sebelum dicetak. Tim tersebut bertugas menilai muatan buku teks dan memastikan bahwa ia tidak mengandung ajaran yang menjurus ke radikalisme dan terorisme atau bertentangan dengan cita-cita NKRI. Hal ini penting karena dia menengarai adanya infiltrator (penyusup) yang berusaha menyebarkan paham-paham keagamaan yang berbeda dengan yang selama ini dianut mayoritas bangsa Indonesia. Memanfaatkan demokrasi dan kebebasan, mereka menyebarkan kader-kadernya untuk mengubah paham keagamaan yang moderat dan wasathiyah menjadi eksklusif dan radikal.

Senada dengan Prof. Azra, Dr. Muhammad Abduhzen, direktur eksekutif Institute for Education Reform Universitas Paramadina, juga memandang perlu adanya badan khusus yang bertugas menilai naskah buku teks PAI sebelum beredar luas di masyarakat. Sementara itu Dr. Amin Haedari, mantan direktur Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Kementerian Agama, mengatakan pemerintah harus memerhatikan secara serius pembinaan guru-guru agama Islam. Menurutnya, guru lah aktor utama dalam proses pendidikan. Kalaupun buku teksnya tidak bagus, kalau guru-gurunya berkualitas, maka apa yang diajarkan akan tetap bagus, demikian pungkasnya.