itofficerppim-webadmin2020-10-31T08:18:16+07:00
Ciputat, PPIM- Organisasi masyarakat (ormas) Islam di Indonesia dianggap menjadi salah satu unsur yang sangat penting oleh banyak kalangan karena dinilai sebagai fondasi civil society. Namun sayang, ormas Islam di Indonesia cenderung hanya diatribusikan kepada NU dan Muhammadiyah yang merepresentasikan dinamika politik nasional di Jawa. Sebenarnya, di luar pulau Jawa, terdapat beberapa ormas Islam yang juga berpengaruh dan khas berdasarkan lokalitasnya. Untuk itu, mengkaji dinamika ormas Islam di luar Jawa penting untuk mengetahui Islam di Indonesia secara lebih komprehensif.
Premis di atas dibahas oleh Kevin William Fogg, PhD, peneliti dan dosen sejarah dari Oxford University, di dalam PPIM Seminar ke-30 pada Rabu (16/03) yang bertajuk Ormas Islam dan Dinamika Regional di Luar Jawa. Dalam melihat dinamika ormas Islam di luar Jawa, Kevin fokus pada tiga organisasi, yaitu Nahdlatul Wathan (NW) di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB), Alkhairaat di Sulawesi Tengah, dan Jamiyatul Washliyah di Sumatera Utara. Ketiganya dipilih karena secara teologi sebenarnya sama dengan NU dan Muhammadiyah, yaitu teologi Ahlussunnah wal Jamaah, dan Mazhab Syafi’i sebagai fiqih pegangannya, serta lahir sebelum masa kemerdekaan. Selain itu, dalam konteks lokal ketiganya mempunyai pengaruh sosial-politik di dalam masyarakat. Kevin menambahkan, saat ini 30% anggota DPRD Sumatera Utara mempunyai afiliasi dengan Jamiyatul Washliyah. Sementara, di NTB, tokoh sentral NW, TGH. Muhammad Zainul Majdi, menjadi Gubernur dua periode berturut-turut.
Dalam seminar yang penuh dihadiri para dosen, peneliti dan mahasiswa dari berbagai kampus ini, Kevin menyatakan bahwa penelitiannya bertujuan untuk mendokumentasikan sejarah dan dinamika ormas Islam di luar Pulau Jawa supaya dapat mendapatkan gambaran secara utuh kehidupan keagamaan secara nasional dan regional. Lebih jauh dia menyatakan “saya ingin membandingkan sejarah beberapa ormas Islam ini supaya bisa melihat faktor-faktor struktural apa yang membuat mereka berkembang dan bertahan, sehingga mendapatkan gambaran utuh organisasi Islam di Indonesia”. Kevin Fogg merupakan peneliti tamu di PPIM UIN Jakarta, dan penelitiannya kali ini berfokus pada kajian-kajian sejarah Islam di luar Jawa.
Menurut Kevin, faktor struktural mempengaruhi pola-pola dinamika di dalam ketiga ormas tersebut. Pertama, dalam konteks kelahirannya, ketiga muncul dengan membangun madrasah (baca: sekolah) sebagai cikal bakal organisasinya pada tahun 1930-an. Menurut Kevin, pada akhir abad ke -19 dan awal abad ke-20, kehidupan ekonomi kaum pribumi mengalami peningkatan, sehingga kaum bangsawan pribumi mengirim anaknya ke Timur Tengah seperti ke Hijaz atau Mesir. Setelah pulang ke Nusantara, barulah mereka membangun institusi pendidikan di daerah masing-masing yang nantinya menjadi cikal bakal ormas-ormas Islam di ketiga daerah tersebut.
Kedua, pada tahun 1950-an, keluarnya NU dari Masyumi turut mempengaruhi dinamika ormas-ormas ini. Isu Masyumi ingin mengakomodasi kalangan tradisionalis membuat ketiganya mendeklarasikan diri sebagai organisasi sosial masyarakat; tidak hanya fokus mengurus masalah pendidikan. Selain itu, pembentukan Departemen Agama turut mempengaruhi, artinya dengan bertransformasi menjadi ormas dan bekerjasama dengan pemerintah akan mendatangkan keuntungan finansial. Bukan hanya untuk organisasi, melainkan juga untuk kepentingan anggota organisasi, seperti menjadi pejabat di Kantor Wilayah Kementerian Agama dan menjadi guru agama Islam di sekolah.
Dalam seminar PPIM yang dimoderatori oleh Dadi Darmadi, peneliti yang juga Direktur Advokasi PPIM UIN Jakarta ini, Kevin Fogg menjelaskan ormas-ormas tersebut mempunyai peran dan pengaruh yang khas dalam konteks keagamaan di daerahnya masing-masing. Pertama, NW, organisasi yang didirikan oleh TGKH. Zainuddin Abdul Majid ini menurut Kevin mempunyai peran yang unik dalam Islamisasi di Lombok. Menurutnya, “Tuan Guru Pancor, sebutan TGKH. Zainuddin Abdul Majdi, adalah orang yang mengagumi kebudayaan lokal suku Sasak –suku asli Lombok, namun mengislamkan tradisi lokal yang dianggap heterodoks. Misalnya, dia menganggap Gunung Rinjani sebagai salah satu simbol keislaman orang Lombok, dan menyuruh anaknya untuk berkontemplasi (baca: muhasabah) di sana.
Kedua, Alkhairaat, yang didirikan oleh Sayyid Idrus bin Salim Al-Jufri, dianggap Kevin sebagai organisasi yang mempunyai pengaruh besar terhadap toleransi di Sulawesi. Menurutnya, “organisasi ini sangat toleran. Walaupun pucuk pimpinannya haruslah keturunan Sayyid Idrus yang keturunan Arab, namun dalam organisasinya mengakomodasi berbagai etnis sebagai sekjennya dan anggota di bawahnya. Fakta ini menepis dikotomi antara Islam Nusantara yang dianggap lebih toleran ketimbang ormas Islam yang dari Timur Tengah”.
Pengaruh Alkhairaat dapat dilihat dari cerita-cerita jamaahnya secara turun-temurun yang menganggap HabibIdrus sebagai sosok yang punya karomah. Misalnya “ada cerita, Habib Idrus sedang berlayar, kemudian surbannya jatuh ke laut. Dia meminta kepada muridnya yang bernama Amin untuk mengambilnya. Ketika Amin turun, dia dapat berjalan di atas laut sampai memberikan surban tersebut kepada Habib Idrus.”
Ketiga, Jamiyatul Washliyah, organisasi ini berperan dalam revolusi sosial di Sumatera Utara. Misalnya, pada masa itu, ormas ini mengeluarkan fatwa menghalalkan darah orang yang mengkhianati Republik Indonesia. Selain itu, sikap toleran ormas ini dapat terlihat bahwa, walaupun mereka didirikan oleh orang Tapanuli, namun mereka mengikutsertakan orang melayu dari Kesultanan Deli untuk menjadi pengurus di dalam ormas.
Di akhir pemaparannya, Kevin menyimpulkan bahwa faktor pergantian kepemimpinan/regenerasi dalam derajat tertentu lebih penting terhadap keberlangsungan ormas-ormas Islam ini ketimbang faktor politis. Misalnya, konflik yang terjadi di NW yang menyebabkan dualisme kepemimpinan diakibatkan oleh faktor ini. Namun dalam soal kepemimpinan, NW dinilai sebagai ormas Islam yang paling progesif di Indonesia karena pernah dipimpin oleh seorang perempuan.