Dapatkan Segera Buku & Hasil Penelitian PPIM UIN Jakarta Download Sekarang

Isu Politik Keagamaan Sektarian Tidak Lagi Relevan


Ciputat, PPIM – Dalam beberapa bulan terakhir, suhu politik Jakarta sangat panas. Menjelang dan selama Pilkada Jakarta 2017, khususnya, serangkaian aksi massa, dan kampanye di media sosial diwarnai dengan meningkatnya isu kebencian antar ras, suku, agama dan radikalisme.  Apakah ini tanda semakin menguatnya konflik komunal dan politik sektarianisme di Jakarta? Bagaimana sebenarnya kondisi politik Jakarta dewasa ini?

Menjawab pertanyaan tersebut, Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta bekerjasama dengan Center for the Study of Religion and Conflict, Arizona State University (ASU) dan Alertist (Singapura), pada Rabu 24 Mei 2017 menggelar international Conference dengan tema “Jakarta Politics 2017: Race, Religion and Social Mobilization.” Tampil sebagai narasumber adalah Prof. Mark R. Woodward (Arizona State University), Prof. Dr. Azyumardi Azra (UIN Jakarta), dan Ms. Hani Mohamed (CEO/Founder, Alertist Singapore) sebagai moderator.

Saiful Umam, Direktur Eksekutif PPIM UIN Jakarta dalam sambutannya mengatakan bahwa, International Conference ini adalah sebagai forum untuk mendiskusikan fenomena peristiwa yang sedang berkembang di Jakarta, dengan tujuan mencari solusi, dan memberikan pemahaman kepada masyarakat luas supaya bersama-sama menghindari konflik kekerasan bernuansa agama (religious violence), dan tindakan terorisme bernuansa agama (religious terrorism).

Pada international conference yang juga dihadiri beberapa peserta dari Jerman, Australia, Singapura, dan USA ini, Azyumardi Azra menyampaikan presentasi tentang The Rise of Religio-Communal Politics: Viability of Islamic Populism in Indonesia. Menurutnya, bangkitnya populisme Islam di masyarakat Jakarta melalui ide dan gerakan politik keagamaan ditandai dengan semakin menguatnya kecenderungan di antara orang-orang yang memiliki agama, ras, latar belakang sosial yang sama untuk membentuk dan meluncurkan aliansi politik dan mobilisasi eksklusif.

Pasca kemerdekaan Indonesia, isu politik keagamaan sektarian ini sesungguhnya tidak relevan untuk diterapkan di Indonesia, menurut Azra. Mengingat, hal ini akan berakibat pada semakin tingginya intoleransi antar sesama masyarakat di Indonesia yang dapat memecah belah komunitas intra dan antar agama.

Lebih jauh, menguatnya politik keagamaan sektarian di kalangan umat Islam, menurut Azra, dipicu oleh beberapa hal. Pertama, adanya kecenderungan politik yang dikombinasi dengan klaim kebenaran (truth claim) di antara unsur-unsur madzhab yang berbeda (fanatisme madhhab yang berlebihan); Kedua, hubungan konflik politik yang memanas yaitu adanya kontestasi dan supremasi di antara elit politik; Ketiga, adanya hubungan dengan tribalisme dan politik etno-sentris; Keempat, adanya beban historis dari kontestasi dan konflik religius-politik di masa lalu; dan Kelima, adanya kontestasi ekonomi dan politik di antara negara-negara Muslim yang meluas ke seluruh penjuru dunia Muslim, termasuk Indonesia.

Sebagai contoh nyata, Aksi Bela Islam yang terjadi di Jakarta, seperti 212 dan 411 telah diklaim sebagai bangkitnya Islamic populism. Sebagian besar aksi tersebut dipimpin oleh semacam ‘aliansi tidak suci’ atau ‘strange bed fellows’ di antara berbagai kelompok politik yang berbeda-saling bertentangan, termasuk mantan politisi seperti militer, marjinal sekuler / abangan. Beberapa dari mereka telah dituduh oleh polisi, telah merencanakan makar untuk menggulingkan Presiden Jokowi.

Tentunya, fenomena ini akan terus terjadi dan mewarnai Jakarta, manakala pemerintah tidak bertindak secara tegas. Oleh karenanya, di akhir presentasinya Azra menghimbau kepada seluruh organisasi keislaman moderat seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Nahdlatul Wathan, Mathlaúl Anwar supaya berperan aktif dalam menyebarkan pengetahuan keagamaan Islam yang moderat di seluruh masyarakat Indonesia dengan menekankan sikap tawasut (jalan tengah), tawazun (seimbang), adil (adil) dan tasamuh (toleransi). Hal ini dilakukan dalam rangka menjaga ’empat pilar’ negara Indonesia – Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika. Selain itu, harus mempercepat konsolidasi demokrasi lebih lanjut; mempercepat distribusi sosio-ekonomi yang adil; penegakan hukum yang tegas dan konsisten; dan meningkatkan dialog intra dan antar agama.