Jakarta, PPIM – Google menyediakan banyak informasi mengenai apapun, salah satunya informasi mengenai hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menurut ajaran Islam. Informasi pertama yang muncul ketika kita mencoba mencari informasi tersebut datang dari sebuah artikel yang berada di situs bernama panjimas.com. Artikel yang dimuat dalam situs tersebut berjudul “Pancasila dan UUD 1945 dalam Timbangan Hukum Allah” yang muatannya kira-kira berisi: bagi siapapun yang mengakui Indonesia dicap sebagai musyrik dan jahiliyyah.
Dengan kata kunci “apa hukum NKRI dalam Islam”, informasi dengan nada seperti di atas sontak membanjiri halaman pertama pencarian Google. Apakah hal tersebut berpengaruh pada fenomena radikalisasi yang saat ini sedang melanda generasi kiwari (Generasi Millennials atau Gen Z) dan juga generasi X-Y?
Mudahnya akses internet telah menghubungkan siapapun, khususnya anak muda, pada informasi-informasi yang muatannya negatif, salah satunya paham radikal. “Mungkin karena akses internet mudah, dan isinya didominasi oleh pihak-pihak yang memiliki pandangan keagamaan radikal dan intoleran, sehingga siswa dan guru yang memiliki akses internet cenderung lebih intoleran,” demikian disampaikan Saiful Umam, Ph.D, Direktur Eksekutif Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta, pada sebuah rilis survey hari Rabu (8/11) kemarin di Le Meridien, Jakarta.
Menurut Saiful, paling tidak ada tiga faktor utama yang memengaruhi sikap keberagamaan seseorang, yakni pengajaran yang diberikan oleh guru atau mentor agamanya, sumber pengetahuan agama yang ada di Internet, dan performa pemerintah selama tiga tahun belakangan.
“Akses internet berpengaruh dalam membentuk pemahaman keagamaan siswa dan mahasiswa, apalagi akses terhadap media sosial dan internet di kalangan siswa dan mahasiswa mencapai 85%,” ujar lulusan Princeton University tersebut.
Direktur Eksekutif PPIM UIN Jakarta tersebut juga mengatakan bahwa persepsi seseorang terhadap kinerja pemerintah, utamanya dalam bidang hukum dan ekonomi, berkorelasi dengan tingkat intoleransi dan radikalisme siswa dan mahasiswa maupun guru dan dosen. “Bagi mereka yang berpendapat pemerintah belum perform dalam aspek tersebut bakalan cenderung lebih intoleran dan radikal,” ucap Saiful.
Soal Metodologi
Penelitian ini dilakukan di 34 provinsi di Indonesia, dimana untuk setiap provinsi dipilih secara acak (random) satu kabupaten dan satu kota. Jumlah sekolah diambil menggunakan teknik proportional sampling sehingga kabupaten atau kota yang lebih banyak jumlah sekolahnya memiliki jumlah sampel sekolah yang lebih banyak pula. Total jumlah sampel dalam survei ini adalah 2181 orang, yang terdiri dari 1522 siswa dan 337 mahasiswa serta 264 guru dan 56 dosen pendidikan Agama Islam.
Selain itu, menurut Dr. Yunita Faelanisa, Koordinator Survey, dengan jumlah sampel tersebut, diperhitungkan margin errornya sebesar 2.23% dengan besaran tingkat kepercayaan yang mencapai 95%.
Yunita mengatakan bahwa penelitian ini menggunakan dua alat ukur untuk mengukur tingkat intoleransi dan radikalisme. Pertama, alat ukur Implicit Association Test (IAT) untuk melihat potensi intoleransi dan radikalisme secara implisit. Kedua, mengggunakan kuesioner self–report dalam menilai intoleransi dan radikalisme serta faktor-faktor yang mempengaruhi intoleransi dan radikalisme.
“Penekanan dalam survei ini adalah pada persoalan-persoalan toleransi beragama di Indonesia, seperti masalah-masalah khilafiyahantar umat Islam, pandangan mereka tentang kelompok Ahmadiyah dan Syiah, dan pandangan mereka tentang kebebasan beragama, dan lain-lain,” ujar Yunita.
Penelitian ini juga menggali persepsi mereka tentang islamisme (hubungan agama dan negara), seperti pandangan mereka tentang Pancasila dan UUD 1945, syariat Islam, negara Islam, jihad, serta kesesuaian Islam dengan demokrasi.
Sejumlah Respon
Dalam survey tersebut hadir juga beberapa nama yang menjadi pembahas. Nama-nama seperti Prof. Dr. Phil., Kamaruddin Amin, MA., Prof. Dr. Jamhari Makruf, MA., dan Amich Alhumami MA, M.Ed, Ph.D dihadirkan untuk memberikan pandangan terkait temuan terbaru PPIM kali ini.
Survey tersebut pun dipandang positif oleh Prof. Dr. Phil., Kamaruddin Amin, MA. Ia merasa bahwa pemaparan survey yang dilakukan PPIM penting sebab bisa menjadi peta radikalisme dan intoleransi di lingkungan Pendidikan Islam. “Pertama saya merasa sangat senang atas usaha teman-teman PPIM karena telah berhasil melakukan penelitian ini, khususnya untuk saya sebagai pimpinan PTKIN di lingkungan Kementerian Agama,” tutur Dirjen Pendidikan Islam, Kementerian Agama tersebut.
Senada dengan pernyataan Dirjen Pendidikan Islam, Prof. Jamhari Makruf pun mengatakan bahwa ada pelajaran penting yang bisa diambil dari hasil survey ini, yakni aspek kewaspadaan. Sebab, intoleransi sekecil apapun tidak dapat ditolerir. “Kebhinekaan adalah harga mati untuk merawat diversitas budaya dan agama yang ada di Indonesia,” kata Dewan Direktur PPIM UIN Jakarta itu dengan nada penuh optimistis.
Pembahas terakhir. Amich Alhumami, Ph.D, juga sependapat ada hal positif yang bisa dijadikan pembelajaran bagi Indonesia ke depannya. Ia menyatakan bahwa Pendidikan Agama Islam (PAI) sudah seharusnya dapat menjelaskan keragaman beragama yang ada di Indonesia. “Satu hal positif dari penelitian ini adalah bahwa PAI sudah seharusnya bisa mengakomodasi agama-agama lain, baik dalam pelajaran maupun buku teks,” ucap Direktur Pendidikan Tinggi, IPTEK dan Kebudayaan Kementerian PPN/Bappenas tersebut.