Islam di Asia Tenggara memiliki watak dan karakteristik yang unik dibanding yang berkembang di tanah kelahiran maupun berbagai kawasan lain. Studia Islamika secara konsisten merekam setiap lekuk gagasan dan praktiknya.
KAMIS MALAM JUMAT (14/08), Ruang Serbaguna Syahida Inn di Kampus 2 tampak ramai. Namun suasana berubah tenang ketika Profesor Azyumardi Azra beranjak menuju podium ruang pertemuan.
Ratusan pasang mata dari para audiens yang duduk rapi di meja undangan tertuju kepada Direktur SPS UIN Jakarta itu. Guru Besar Sejarah Islam ini memberikan keynote speech dalam welcoming dinner sebagai pembukaan rangkaian konferensi internasional bertajuk ‘Southeast Asian Islam: Legacy and New Interpretation’. Konferensi digelar Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) untuk memperingati 20 tahun terbitnya Studia Islamika, sebuah jurnal ilmiah tentang Islam dan masyarakat Muslim di Kawasan Asia Tenggara, terutama Indonesia.
Puluhan tamu serius menyimak. Duduk di deretan meja paling depan sejumlah Indonesianis-cum-Islamisis senior. Sebut misalnya M.C. Ricklefs, Robert W. Hefner, dan Martin van Bruinessen. Beberapa sarjana peneliti Islam dan masyarakat Asia Tenggara dari berbagai kampus terkemuka Asia juga turut hadir seperti Shamsul AB, Peter Riddell, lik Arifin Mansurnoor, Mitsuo Nakamura, Mark Cammack, Ronald Lukens-Bull, Janet Steele, dan Anne K. Rasmussen.
Total malam itu, tak kurang dari 73 sarjana-peneliti mewakili 57 perguruan tinggi terkemuka, dalam dan luar negeri hadir. Selain 30-an tamu dari kelompok guru besar, 40-an yang lain adalah sarjana-peneliti muda dari berbagai perguruan tinggi seperti UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Institut Teknologi Bandung, Universitas Gajah Mada, dan Universitas Indonesia.
Selain menyampaikan terima kasih atas kedatangan tetamu, Azra mengucapkan rasa syukurnya atas konsistensi penerbitan Jurnal Studia Islamika hingga usianya yang ke-20 tahun. Konsistensi yang sangat jarang dicapai terbitan-terbitan ilmiah akademik di Tanah Air, terlebih perguruan tinggi Islam. Sepanjang masa itu, jurnal yang ber-tag line Indonesian Journal for Islamic Studies telah berperan besar sebagai corong penelitian tentang Islam di kawasan Asia Tenggara, khususnya Indonesia.
Studia Islamika, dalam format dan tampilan baru, terbit tahun 1994. Jurnal ini terbit dengan spesialisasi studi-studi keislaman Indonesia, umumnya di kawasan Asa Tenggara. Ia juga berperan sekaligus sebagai media komunikasi kegiatan penelitian dan isu-isu penelitian teranyar di bidangnya. Beberapa karya penelitian sarjana peneliti seperti Martin van Bruinessen, Karel Steenbrink, Robert W. Hefner sering dimuat dalam jurnal tersebut.
Hingga 1998, Studia Islamika terbit empat kali setahun (quarterly). Namun, akibat badai krisis ekonomi yang mendera Indonesia, Studia Islamika pun kena imbasnya. Selanjutnya, jurnal tersebut hanya terbit tiga kali dalam setahun.
Umumnya, jurnal-jurnal berkelas dunia hanya memuat berbagai artikel atau hasil riset dengan satu bahasa internasional. Namun hal itu tidak berlaku bagi Studia Islamika. “Bisa dipastikan merupakan satu-satunya jurnal dengan corak distingtif, baik secara regional Asia Tenggara maupun dunia internasional yang lebih luas,” tegas mantan rektor IAIN-UIN UIN Syarif Hidayatulah Jakarta itu.
Azra menuturkan, Studia Islamika lahir dari dari kekosongan referensi tentang Islam di Asia Tenggara. Ini kontras dengan keberadaaan Islam di kawasan ini yang sangat kaya dengan warisan (legacy) dalam berbagai aspek kehidupan masyarakatnya. Mulai dari soal keagamaan, jejaring intelektual, dan kelembagaan (pendidikan, dakwah, dan filantropi), tradisi sosial-budaya, politik, dan ekonomi.