Ciputat, PPIM- Kasus yang menimpa etnis Rohingnya di Myanmar menjadi perhatian serius dunia internasional. Pasalnya, sebagai warga negara Myanmar mereka tidak diakui sebagai warga negara karena memeluk Islam sebagai kepercayaannya. Sebagai warga minoritas di sana mereka mengalami tindakan diskriminasi rezim yang kuat.
Indonesia dan Malaysia terkena dampak menghadapi para pengungsi dari Mynmar. Ini bukanlah masalah ASEAN, ini masalah bagi komunitas Internasional, kata Anifah Menteri Luar Negeri Malaysia di Kompas (21/15) kemarin. Masalah muncul berawal ketika pemerintah Myanmar melakukan sensus penduduk dan disitulah mulai perdebatan penolakan terhadap etnis Rohingnya dan kebetulan adalah Muslim.
Transisi Demokrasi di Myanmar menjadi paradoks bagi warga minoritas, pasalnya minoritas selalu menjadi sasaran tindakan kekerasan oleh rezim maupun warga mayoritas. Padahal demokrasi adalah sistem ideal yang terbuka bagi dialog antar etnis untuk terus memperbaiki hubungan dan menciptakan harmoni.
Tulisan Ahmad Suaedy dan Muhammad Haiz “ Citizenship Challenges in Myanmar’s Democratic Transition: Case Study of the Rohingya-Muslim” di Jurnal Studia Islamika membuka data baru dan melihat dengan jernih permasalah yang pelik di Myanmar terhadap etnis Rohingya.
Suaedy dan Haiz mengajak kita untuk mencermati lebih dalam bagaimana pemerintah Myanmar menolak etnis Rohingnya sebagai bagian dari penduduk Myanmar. Tulisan ini juga mencoba menggali usaha para pemimpin Rohingnya dalam memperjuangkan hak-hak sipil mereka sebagai warga negara. Juga mengapa diskriminasi tersebut bisa terjadi.