itofficerppim-webadmin2020-10-30T06:25:13+07:00
Ciputat, PPIM – Pasca serangan teroris (11 September 2001) yang meruntuhkan menara kembar World Trade Center (WTC), disusul dengan peristiwa bom Bali tahun 2002 dan 2005 yang banyak menelan korban, termsalafisme terus menjadi perdebatan yang hangat hingga dewasa ini. Salafisme terus diseret dalam domain politik dan kekerasan atas nama Islam.
Para akademisi mencoba melihat kembali makna dari salafisme dengan merujuk pada beberapa tafsir yang telah disodorkan para sarjana Muslim. Muhammad Abid al-Jabiri, sarjana muslim asal Maroko, mengatakan bahwa salafisme adalah sebuah gerakan yang menjadikan al-Qur’an dan Hadis sebagai sistematika pemikirannya.
Lebih jauh, Muhammad Abduh, pemikir Muslim kontemporer asal Mesir, menawarkan akan perlunya rekonstruksi Islam dengan cara melihat sekaligus meneladani generasi Islam awal yang diyakininya agama yang rasional, generasi ini yang kemudian dinamakan dengan Salaf al-Salih. Senada dengan itu, pakar hukum Islam dari UCLA, Khalid Abou el-Fadl, memperkuat bahwa salafisme adalah pembaharuan yang disuarakan oleh Muhammad Abduh dkk.
Belakangan, salafisme dimaknai sebagai gerakan Islam puritan yang berkembang di Arab Saudi yang kemudian akrab disebut Wahabisme. Pada tahun 70-an, Wahabisme menamakan dirinya salafi seiring dengan perkembangan ekonomi yang pesat di Saudi sebagai ladang minyak. Dengan kekuatan ekonomi itulah wahabi mengklaim dirinya sebagai salafi dan kemudian merentangkan sayap-sayapnya ke seluruh dunia, tidak terkecuali Indonesia. Maka, apa yang sebenarnya yang menjadi daya tarik dari salafisme? Bagaimana hubungannya dengan politik dan kekerasan? Dan kenapa term salafisme terfragmentasi sehingga sulit didefinisikan?
Untuk merespon itu, Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta menggelar seminar dengan tema, “The Reproduction of Salafi Knowledge in Post-New Order Indonesia,” (Kamis, 29/10). Seminar tersebut menghadirkan Jajang Jahroni, Ph. D sebagai narasumber yang dimoderatori oleh Din Wahid, Ph. D., dan dihadiri oleh 45 peserta dari kalangan akademisi, dosen, peneliti, wartawan dan mahasiswa.
Tema seminar kali ini diangkat dari disertasi Jajang Jahroni yang berjudul, “The Political Economy of Knowledge: Salafism in Post Soeharto Urban Indonesia.” Disertasi ini berhasil ia pertahankan pada sidang terbuka sebagai sarjana antropologi di Boston University pada awal tahun ini.
Direktur Eksekutif PPIM UIN Jakarta, Saiful Umam, Ph. D., mengatakan dalam sambutannya, “Salafisme merupakan tema yang sudah diperbincangkan oleh banyak kalangan dengan pelbagai temuannya, seminar kali ini diharapkan bisa memacu semangat untuk terus melakukan study, penelitian dan menulis,” tandas alumnus University of Hawaii ini dalam sambutannya.
Apakah Salafisme Identik dengan Wahabisme?
Ciputat, PPIM – Dalam seminar PPIM UIN Jakarta yang digelar pada Kamis, 29/10, Jajang Jahroni memaparkan bahwa, “Salafisme merupakan “pengetahuan” yang terus diproduksi (reproduction of knowledge). Artinya, salafisme merupakan knowledge yang terus diciptakan dan senantiasa berhubungan dengan struktur sosial : politik, ekonomi, dan budaya yang berkembang di masyarakat. Knowledge ini adalah semua yang melekat di masyarakat: bahasa, agama, kebiasaan dan lainnya. Knowledge ini istilah lain dari culture, seperti apa yang telah digagas oleh Clifford Geertz,” tuturnya.
Lebih jauh, Jajang menjelaskan bahwa salafisme tidak bisa direduksi dalam satu definisi tertentu seperti Wahabisme. Dalam studinya, Jajang menemukan bahwa struktur sosial di masyarakat ternyata bukan hal yang given, seperti institusi yang inheren dalam masyarakat muslim: ulama, pesantren, dan yang lainnya. Tetapi, semua itu harus dilihat bahwa ada aspek tradisi yang berlapis-lapis di dalamnya yang terus menerus berkontestasi. Ia mengatakan, “seperti di Arab Saudi, pasca pemberontakan Arab (Tsaurah al-‘Arabiyah), ulama merupakan kepanjangan tangan dari pemerintah agar mereka tidak melakukan pemberontakan kembali, maka kemudian diakomodir kepentingannya,” ujarnya.
Dalam penelitiannya, ia menfokuskan pada gerakan salafisme di Indonesia pasca Orde Baru. Ulama dan institusi-institusi keagamaan seperti pesantren, madrasah dan lembaga-lembaga yang berafiliasi dengan Arab saudi seperti LIPIA, itu semua merupakan sebuah knowledge yang di dalamnya terjadi kontestasi yang sengit dalam struktur sosial di masyarakat.
“Salafisme di Indonesia dihadapkan dengan kelompok tradisonalis seperi NU dan modernis seperti Muhammadiyah. Pada saat yang sama ia diuntungkan oleh pemerintah seiring dengan dibukanya keran kebebasan pada era reformasi ini,” tandas alumnus Leiden University ini. Ia membuktikan dalam temuannya, banyak lembaga pendidikan yang didanai oleh Arab Saudi seperti LIPIA, Rabithah Alam Islami dan lainnya.
Dalam kesimpulannya, Jajang menjelaskan, “salafi bukan entitas yang tetap, tapi terus berubah-ubah, salafi tidak melulu identik dengan wahabisme, karena banyak kesamaan dengan tradisional muslim dalam pola dan praktiknya seperti kurikulum pendidikan yang diterapkan. Maka dari itu, salafisme terus direproduksi sesuai dengan knowledge-nya,” tandasnya.