Jakarta, PPIM – PPIM UIN Jakarta melalui program CONVEY Indonesia kembali merilis temuan survei nasional yang dilakukan pada 2020 lalu mengenai toleransi di kalangan responden mahasiswa dan dosen dari beragam kelompok agama: Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Buddha, Konghucu dan aliran kepercayaan. Pasalnya, survei ini menjadi pembeda dari survei-survei sebelumnya yang hanya fokus pada responden mahasiswa dan dosen dari kelompok Islam. Temuan survei ini akan dipaparkan oleh Dr. Yunita Faela Nisa, Psi., koordinator survei dan tim peneliti survei, Sirojuddin Arif, Ph.D. Peluncuran ini dilakukan secara daring dengan tajuk, “Kebinekaan di Menara Gading: Toleransi Beragama di Perguruan Tinggi”, Senin (1/3).
Peluncuran survei ini dihadiri oleh sejumlah pembahas: H. Syaiful Huda (Ketua Komisi X DPR RI); Prof. Dr. H. Muhammad Ali Ramdhani, S.TP., MT. (Dirjen Pendidikan Islam Kemenag RI); Prof. Aris Junaidi (Direktur Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kemendikbud RI); Prof. Dr. I Gusti Ngurah Sudiana (Rektor Institute Hindu Dharma Negeri, Bali); Prof. Dr. Jamhari Makruf, M.A. (Dewan Penasehat PPIM UIN Jakarta); dan Sakdiyah Ma’ruf, S.S., M.A. (Generasi Muda dan Pengamat Kebinekaan). Turut hadir juga para peserta dari berbagai pihak, seperti kementerian, kedutaan, NGO, aktivis, civitas akademika, dan rekan-rekan media.
“Survei nasional ini adalah bagian dari upaya PPIM dalam mengedepankan evidence-based policy di bidang pendidikan dan melengkapi beberapa survei yang sudah dilakukan sebelumnya pada 2017 dan 2018 yang hanya fokus pada kalangan Muslim. Kali ini mencakup semua kelompok agama lain (Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Buddha, Konghucu dan aliran kepercayaan),” ungkap Yunita dalam pemaparannya.
Ismatu Ropi, Ph.D., Direktur Eksekutif PPIM UIN Jakarta menegaskan alasan kenapa survei ini perlu dilakukan dengan melihat perkembangan intoleransi di Indonesia.
“Dalam beberapa tahun ini, ada kecenderungan sikap intoleran dan segregatif di kalangan anak muda. Hal ini sangat mengkhawatirkan jika dilihat dari konteks keberagaman Indonesia. PPIM berfokus pada pendidikan, terutama pendidikan agama sebagai core penelitian,” tegasnya.
Selain itu, isu-isu toleransi beragama masih menjadi persoalan bagi bangsa Indonesia. Persoalan ini merambah pada sendi-sendi kehidupan, tidak terkecuali pendidikan. Peristiwa penangkapan tiga terduga teroris yang melibatkan mahasiswa Universitas Riau (Tempo, 2018) dan siswi non-Muslim diwajibkan berjilbab di sekolah negeri Sumatera Barat (Kompas, 2021). Pelbagai peristiwa tersebut menunjukkan bahwa masih ada masalah intoleransi di dunia pendidikan kita.
Sejumlah penelitian mengkonfirmasi bahwa sikap keterbukaan dan penghargaan terhadap perbedaan, termasuk terhadap kelompok minoritas dan marjinal, aktor-aktor pendidikan kita masih lemah (PPIM, 2017, 2018; Wahid Institute, 2019). Di ranah pendidikan tinggi, sejumlah studi menunjukkan merebaknya paham ekstremisme di kalangan Perguruan Tinggi/PT (Setara Institute, 2019); fenomena eksklusivisme dalam buku teks pendidikan agama di kalangan PT Umum (PPIM, 2018); aktivis mahasiswa Muslim memiliki pemahaman keagamaan yang cenderung tertutup (CSRC, 2017); kegiatan keagamaan di lingkungan kampus mendorong tumbuh suburnya pandangan keagamaan yang eksklusif (CISForm, 2018); infiltrasi radikalisme dan ekstremisme di lingkungan kampus melalui masjid-masjid kampus (INFID, 2018); serta 39% mahasiswa di 7 PT Negeri terpapar paham radikalisme (BNPT, 2018).
Studi mutakhir PPIM (2021) pada tiga Perguruan Tinggi Keagamaan Negeri (UIN Jakarta, UIN Bandung dan UIN Yogyakarta) menunjukkan nilai empati eksternal dan internal yang tidak stabil di hampir semua kalangan, baik pada mahasiswa, dosen dan tenaga kependidikan. Hal ini mengindikasikan masalah serius bagi penerapan moderasi beragama yang sudah dicanangkan dalam RPJMN 2020-2024 – Perpres 18/2020.
Menurut Yunita, perguruan tinggi mestinya memiliki peran dalam strategis untuk menjunjung tinggi nilai-nilai universal yang berpijak pada kemanusiaan.
“Perguruan Tinggi, sebagai institusi pendidikan tertinggi, seharusnya bertumpu pada nilai-nilai demokratis, keadilan & non-diskriminatif dan kemanusiaan sesuai yang termaktub dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang juga menekankan pada keterbukaan, kebebasan dan berpikir kritis tanpa indoktrinasi,”tuturnya.
Dari sisi metode, Yunita menjelaskan survei ini menggunakan pendekatan kuantitatif yang menyasar responden mahasiswa dan dosen dalam skala nasional.
“Survei ini dilakukan secara nasional di 34 provinsi. Untuk mendapatkan gambaran yang baik tentang toleransi beragama di lingkungan perguruan tinggi (PT), penelitian ini berhasil mengambil sample dengan teknik stratified random sampling, sebanyak 92 PT dari 100 PT yang direncanakan, yang tersebar di seluruh Indonesia. Banyaknya PT yang diambil sebagai sampel di setiap provinsi ditetapkan secara proporsional terhadap jumlah mahasiswa yang ada di provinsi tersebut. Pengumpulan data dilakukan pada 1 November – 27 Desember 2020 secara serentak di seluruh wilayah penelitian. Data berhasil didapatkan dari 2866 mahasiswa (pada 92 PT), 673 dosen (pada 87 PT), dan 79 perguruan tinggi,” terangnya.
Secara konseptual, definisi toleransi beragama yang digunakan dalam survei ini adalah kesediaan seseorang untuk menerima hak-hak sipil individu atau kelompok agama lain yang tidak disukai atau tidak disetujui. Hal ini didasarkan pada tiga komponen utama. Pertama, toleransi mensyaratkan kemauan untuk menghargai pernyataan atau perilaku mereka yang tidak disukai atau disetujui. Kedua, definisi kami menekankan hubungan dengan pihak lain yang berbeda agama sebagai subjek sikap atau perilaku toleransi. Meskipun keyakinan keagamaan dapat menjadi salah penyebab intoleransi beragama, namun keyakinan keagamaan bukan satu-satunya akar persoalan. Ketiga, dalam survei ini mendefinisikan objek toleransi beragama secara lebih luas dengan melihat hak-hak sipil pihak atau kelompok agama lain dalam konteks kehidupan bernegara.
Sementara itu, survei ini melihat lebih jauh tentang pendidikan dan toleransi. Menurut Sirojuddin, beberapa literature melihat pengaruh pendidikan terhadap toleransi beragama.
“Untuk melihat sejauhamna toleransi berkorealsi dengan pendidikan, survei ini melihat interaksi sosial dan iklim sosial di lingkungan kampus. Dalam literature yang ada menunjukkan semakin tinggi tingkat pendidikan individu maka semakin tinggi pula tingkat toleransi beragama terhadap sesama,”tandasnya.
Sikap dan Perilaku Toleransi Mahasiswa di Indonesia
Hasil survei ini menunjukkan bahwa mayoritas mahasiswa memiliki sikap toleransi beragama yang tergolong tinggi dan sangat tinggi. Sebanyak 24,89% mahasiswa memiliki sikap toleransi beragama yang rendah, dan sebanyak 5,27% lainnya tergolong memiliki sikap toleransi beragama yang sangat rendah. Bila digabungkan, sebanyak 30,16% mahasiswa Indonesia memiliki sikap toleransi beragama yang rendah atau sangat rendah. Sementara itu, dari sekitar 69,83% mahasiswa yang tergolong memiliki sikap toleransi beragama yang tinggi, 20% tergolong memiliki toleransi yang sangat tinggi terhadap pemeluk agama lain.
Sementara dari aspek perilaku toleransi beragama, menunjukkan bahwa hanya sekitar 11,22% mahasiswa Indonesia menunjukkan perilaku toleransi yang rendah (10,08%) atau sangat rendah (1,14%). Sisanya, sekitar 88,78% mahasiswa Indonesia menunjukkan perilaku toleransi yang tinggi atau sangat tinggi terhadap pemeluk agama lain.
Toleransi PTA Lebih Rendah dari PTS, PTN dan PTK
Temuan berikutnya, mahasiswa dari PT Kedinasan memiliki toleransi yang lebih tinggi, disusul PT Negeri, PT Swasta, dan PT Agama. Temuan yang senada juga didapatkan dari tingkat persepsi keterancaman, dimana mahasiswa dari PTA paling tinggi persepsi ketrancamannya, disusul oleh PTS, PTN, dan PTK.
Dalam hal interaksi sosial lintas kelompok, rata-rata interaksi sosial lintas kelompok mahasiswa Muslim lebih rendah dibandingkan kelompok pemeluk agama lain. Intensitas ritual keagamaan mahasiswa PTA dan PTK lebih tinggi dibanding PTN dan PTS. Pada aspek ekonomi, rata-rata pendapatan orang tua mahasiswa Muslim lebih rendah dibandingkan orang tua mahasiswa pemeluk agama lain. Selain itu, persepsi keterancaman mahasiswa Muslim rata-rata lebih tinggi dari mahasiswa pemeluk agama lain.
Interaksi Sosial dan Iklim Sosial
Dua faktor penting yang memiliki korelasi pada toleransi mahasiswa di Indonesia. Pertama, mahasiswa yang memiliki pengalaman interaksi sosial dengan kelompok yang berbeda, menunjukkan tingkat toleransi beragama yang tinggi. Selain itu, semakin banyak kegiatan-kegiatan keagamaan tertentu, seperti lembaga dakwah kampus, toleransi beragama mahasiswa makin rendah.
Kedua, iklim sosial kampus juga memengaruhi toleransi beragama mahasiswa. Kebijakan penerimaan dan penghormatan kampus terhadap kelompok minoritas memiliki pengaruh pada toleransi beragama pada mahasiswa pemeluk agama selain Islam, sementara sikap toleransi beragama dosen berpengaruh pada sikap toleransi agama pada mahasiswa Muslim, terutama pada PTA dan PTS. Kondisi ekonomi orang tua juga berpengaruh terhadap toleransi beragama mahasiswa, meskipun hasil ini terbatas pada mahasiswa PTN.
“Terdapat korelasi positif kondisi ekonomi orang tua dan toleransi beragama sebagian besar terkonsentrasi pada PTN. Perbedaan-perbedaan ini, dalam beberapa hal menujukkan adanya perbedaan yang cukup signifikan antar mahasiswa di berbagai jenis PT. Misalnya, mengenai latar belakang ekonomi orang tua, hasil survei ini menunjukkan bahwa rata-rata pendapatan orang tua mahasiswa PTA lebih rendah dibandingkan dengan pendapatan orangtua mahasiswa di jenis PT lain,” ujar Sirojuddin.
Sirojuddin juga melihat intensitas ritual keagamaan dan hubungan lintas agama di kalangan mahasiswa.
“Secara intensitas ritual keagamaan, penelitian ini juga menemukan bahwa rata-rata intensitas ritual keagamaan mahasiswa PTA dan PTK secara umum lebih tinggi dibanding intensitas ritual keagamaan mahasiswa PTN dan PTS. Hubungan lintas kelompok juga berbeda antar kelompok mahasiswa ini. Rata-rata hubungan lintas kelompok mahasiswa PTA lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata hubungan lintas kelompok mahasiswa PT jenis lain,” paparnya.
Beberapa Rekomendasi
Berbasis pada temuan survei ini, PPIM UIN Jakarta mendorong para pemangku kebijakan untuk memperhatikan beberapa hal ini. Pertama, Mempromosikan kekayaan pengalaman sosial dan interaksi sosial lintas kelompok keagamaan. Kedua, Memperbaiki iklim sosial kampus dengan meningkatkan kultur toleransi beragama di kalangan sivitas akademik dan penghormatan kepada keragaman dan kelompok-kelompok minoritas. Ketiga, program atau kebijakan peningkatan toleransi beragama mahasiswa dengan memperhatikan kekhasan konteks sosial PT dan kondisi sosial-demografi mahasiswa.
“Heterogenitas PT dan mahasiswa mengisyaratkan diperlukannya kebijakan yang sensitif dan responsif dengan kondisi sosial demografi yang ada. Kebijakan tunggal mungkin tidak dapat bekerja efektif untuk memupuk sikap toleransi beragama di tengah-tengah beragamnya kondisi mahasiswa dan PT,” pungkas Sirojuddin.
Untuk mengakses temuan lengkap mengenai penelitian ini, silahkan klik berikut ini.
Ringkasan Eksekutif Kebinekaan di Menara Gading: Toleransi Beragama di Perguruan Tinggi
PPT Kebinekaan di Menara Gading: Toleransi Beragama di Perguruan Tinggi
Penulis: Abdallah
Editor: M. Nida Fadlan