Jakarta, PPIM – Principal Investigator DREAMSEA, Oman Fathurahman, mengaku siap bersinergi dengan berbagai pihak untuk melakukan pemanfaatan terhadap manuskrip Nusantara yang telah didigitalisasi. Hal ini disampaikan Oman dalam lanjutan “Webinar Series on Indonesian Digitised Manuscripts” bertema “Manuskrip dan Digitalisasi Aksara Nusantara” yang diselenggarakan oleh PPIM UIN Jakarta melalui program DREAMSEA bekerja sama dengan Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa) dan Pengelola Nama Domain Internet Indonesia (PANDI), Rabu (10/3).
“Selama tiga tahun, DREAMSEA sudah menyelamatkan 193.464 halaman dari 1.175 manuskrip milik 58 pemilik manuskrip di Indonesia,” ungkap Guru Besar Filologi Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini.
Dari jumlah itu, pemanfaatan terhadap manuskrip digital belum berjalan maksimal. Oman menyebut tantangan ke depannya adalah bagaimana mendorong pemanfaatan keberadaan manuskrip digital ini untuk dikaji dan diteliti sehingga dapat menghasilkan publikasi, terlebih lagi yaitu mempopulerkan eksistensi manuskrip Nusantara di era digital ini.
“Ke depannya bagaimana mendorong pemanfaatan naskah-naskah ini, seberapa banyak yang diteliti dan menghasilkan publikasi. Tugas kita bersama untuk mempopulerkannya,” ujar Pengampu Ngaji Manuskrip Kuno Nusantara (Ngariksa) ini.
Diantara pihak yang tengah giat memanfaatkan manuskrip digital adalah PANDI. Setahun terakhir, PANDI menggagas program “Merajut Indonesia” bersinergi dengan sejumlah pihak baik pemerintah maupun komunitas budaya di daerah untuk mendigitalisasi aksara-aksara Nusantara.
“Kami sedang berupaya untuk mendaftarkan aksara-aksara Nusantara agar diakui eksistensinya di dunia digital. Hal yang sedang diperjuangkan adalah menjadikan aksara-aksara Nusantara ini sebagai nama domain khas Indonesia selain [dot]id,” ungkap Ketua Dewan Pengurus PANDI, Yudho Giri Sucahyo.
Baru Tujuh Aksara Diakui Dunia
Yudho menyebut, upaya ini dilakukan atas keprihatinannya melihat aksara Nusantara yang semakin tidak dikenal di era digital ini. Dari 30-an aksara yang pernah digunakan masyarakat Nusantara, hanya tujuh yang sudah tersedia dalam bentuk digital. Itupun statusnya masih excluded sehingga belum bisa diakui sebagai nama domain internet.
Kendala tersebut, ungkap Yudho, disebabkan karena aksara Nusantara tidak lagi digunakan karena tergerus keberadaan aksara Latin. Guru Besar Universitas Indonesia ini menyebut penggunaan aksara Nusantara masih sebatas untuk keperluan dekorasi gedung dan nama jalan, tidak untuk digunakan sebagai sarana komunikasi sehari-hari. Kampanye menggalang dukungan terus dilakukan PANDI.
“Proses (pendaftaran aksara Nusantara digital) tidak mudah. Kami harus menjalin komunikasi dan kerja sama dengan Pemerintah Pusat dan Daerah. Ke Yogyakarta, kami bertemu Sri Sultan. Di Bali juga kami berkomunikasi dulu dengan Gubernur dan juga dengan penggiat aksara daerah, dan dosen-dosen untuk proses standarisasi nasional,” ungkap Yudho.
Dukungan melakukan digitalisasi aksara Nusantara juga datang dari Pembina Yayasan Aksara Lontaraq Nusantara, Andi Alfian Mallarangeng. Sejak 1995, Andi sudah mulai menekuni pembuatan aksara Nusantara menjadi bentuk digital. Pada tahap awal, Andi berhasil membuat aksara Bugis Lontaraq versi digital yang dinamainya Bugis A True Type Font (Bugisa.ttf).
“Pada 1996, Lontaraq menjadi aksara pertama yang memiliki unicode. Namun demikian, hingga saat ini statusnya masih excluded (pengecualian), belum tahap recommended (direkomendasikan) karena kualitasnya yang masih rendah,” ungkap Andi.
Atas pengalamannya itu, Andi mendukung penuh upaya pemanfaatan manuskrip digital khususnya untuk memperkuat program digitalisasi aksara Nusantara. Masyarakat dan pemerintah harus bekerja sama untuk mengenalkan aksara Nusantara ke tingkat global.
“Ternyata selama ini kita terlena. Saatnya berbenah dan meningkatkan kualitas digitalisasi aksara Nusantara,” ungkap Andi Mallarangeng.
Dukungan pemanfaatan manuskrip Nusantara digital juga datang dari Ketua Umum Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa), Munawar Holil. Sebagai satu-satunya organisasi profesi bidang pernaskahan Nusantara, Manassa berharap gerakan ini dapat menyemarakkan pengkajian dan pemanfaatan kekayaan manuskrip Nusantara.
Pria yang akrab disapa Mumu ini menyebutkan sejumlah manfaat dari aktivitas digitalisasi manuskrip Nusantara. Tidak hanya pengkajian ilmiah, upaya ini pun membuka peluang bisnis dan pengembangan ekonomi kreatif.
“Penggunaan naskah digital juga dapat membantu penyusunan katalog naskah. Peluang bisnis berbasis aksara-aksara kuno juga saat ini semakin banyak dijumpai, sudah lumayan banyak ditemui anak-anak muda yang memakai kaos dengan tulisan aksara kuno,” kata ahli kodikologi Universitas Indonesia ini.
Penulis: Lilis Shofiyanti
Editor: M. Nida Fadlan