Jakarta, PPIM – Industri televisi turut andil dalam menghadirkan agama ke ruang publik. Tidak hanya televisi yang berbasis pada satelit, tapi juga televisi yang berbasis internet. Agama menjadi penyemarak dalam program-program keagamaan di berbagai televisi tersebut. Namun, model keagamaan seperti apa yang disajikan kepada pemirsa?
Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta melakukan kajian tentang televisi dan agama. Hasil penelitian ini dirilis hari ini (29/4) secara virtual dengan tajuk “Dakwah Digital: Narasi Agama di Platform Online dan Televisi Indonesia”. Penelitian ini merupakan bagian dari proyek “Media and Religious Trend (MERIT) in Indonesia”.
Pada kesempatan ini, hasil penelitian akan disampaikan oleh Iim Halimatusa’diyah, Ph.D (Koordinator Penelitian MERIT Indonesia) dan Taufik Sutanto, Ph.D (Data Scientist MERIT Indonesia). Hadir sebagai pembahas adalah Dr. Ade Armando, M.Sc (Departement Ilmu Komunikasi FISIP UI), Prof. James B. Hoesterey (Departement of Religion Emory University, Atlanta), dan Nuning Rodiyah, M.Pd.I (Komisioner KPI).
Pasar Agama dan Konservatisme
Pembentukan tren keagamaan di ruang publik tidak terlepas dari peran negara. “diibaratkan seperti ekonomi, bila pasar agama diregulasi maka yang lahir adalah paham keagamaan tertentu yang diinginkan oleh negara,” ujar Iim. Sementara kontrol negara yang melonggar membuat berbagai ekspresi keagamaan bermunculan, termasuk salah satunya di televisi, lanjut dosen Fakultas Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN Jakarta tersebut.
Dalam lintasan sejarah terlihat bahwa kontrol negara yang kuat pada Orde Baru membuat narasi keagamaan di televisi cenderung monoton. Sementara memasuki Reformasi, narasi keagamaan semakin semarak. Meski demikian, hanya saja narasi konservatif menjadi sangat dominan lantaran ada berbagai aturan.
Selain karena kontrol negara, hal ini juga terjadi karena adanya tekanan dari kelompok konservatif kepada stasiun televisi. Fase terakhir adalah masa kini. Media baru membuat ekspresi kelompok keagamaan muncul tanpa harus tunduk pada aturan-aturan negara.
Taufik menambahkan bahwa hal ini didukung oleh narasi-narasi yang ada di video-video ceramah. Kanal agama di platform YouTube yang tidak dikontrol pemerintah, punya narasi yang lebih bervariasi. “hal ini kemudian mendorong munculnya ustadz-ustadz populer baru di internet,” tutur Dosen Fakultas Sains dan Teknologi (FST) UIN Jakarta itu.
Ada lima kategori paham keagamaan yang diaplikasikan dalam penelitian ini, yakni liberal, moderat, dan konservatif. Penelitian menemukan bahwa televisi, baik berbasis internet maupun satelit, lebih menyemarakkan narasi konservatif.
“Basis ekonomi yang mendorong konservatisme terus berkembang di televisi cenderung lebih dominan di televisi konvensional dibandingkan dengan televisi non-konvesional,” tambah Iim.
Faktor lain yang membuat konservatisme semarak di televisi adalah kelangkaan tim produksi yang paham soal agama. Kealpaan mengenai hal ini membuat tim produksi mengambil jalan pintas dengan mempercayakan konten pada ustadz maupun narasumber yang telah mereka pilih. Alhasil, program keagamaan menjadi sangat berorientasi pada ustadz.
Meski demikian, Iim dan Taufik menekankan bahwa hasil penelitian ini tidak bisa dijadikan landasan untuk menggeneralisasi paham keagamaan di seluruh kategori televisi. Pasalnya, data yang digunakan dalam penelitian ini tidak mecakup semua program keagamaan yang ada di Indonesia.
Menjajaki Ruang Lain
Setelah pemaparan disampaikan oleh Iim dan Taufik, narasumber mulai memberi masukan secara bergiliran. Ade Armando menyarankan agar para peneliti menjajaki ruang lain yang lebih luas. “Bisa diperluas bahwa yang disebut sebagai program keagamaan bukan hanya program dakwah, tapi juga program lain seperti sinetron yang membawa pesan agama di dalamnya,” ujar akademisi Universitas Indonesia itu.
Ia menambahkan bahwa perlu dilakukan penggalian kualitatif yang mendalam untuk menyelami apa yang sebenarnya terjadi. Dengan begitu, penelitian ini bisa menjelaskan lebih dalam mengapa da’i yang penjelasannya simplistis cenderung populer dibandingkan mereka yang punya penjelasan mendalam. Narasi ‘dumbing-dumb effect’ menjadi lebih digemari karena dapat dicerna kalangan awam. “Sosok mamah dedeh bila menjelaskan hitam putih dan halal-haram, sementara Quraish Shihab bisa kemana-mana penjelasannya dalam menerangkan satu persoalan,” ujar Ade.
Sementara itu, paham moderat juga perlu dipotret lebih jauh. Professor dari Emory University yang akrab disapa Aa Jim menambahkan bahwa moderat juga punya spektrum yang luas. “Semua kelompok mengklaim mereka punya pandangan moderat, NU moderat, Muhammadiyah moderat, Aa Gym moderat, namun moderat yang mana?,” ujar dirinya.
Meneliti Aa Gym sebagai penelitian disertasinya, James menambahkan bahwa Aa Gym berwajah moderat. Namun, menurutnya, dirinya juga lumayan dekat juga dengan FPI. “Dia pernah bilang bahwa dirinya itu melakukan amar maruf, sementara FPI yang nahi mungkar,” tandasnya.
Peran KPI
KPI berharap agar narasi keagamaan di televisi tidak hanya disemarakkan oleh konservatisme. Perlu narasi Islam progressif agar masyarakat mendapatkan tayangan yang mencerdaskan. Disampaikan oleh Nuning bahwa selama ini proses pengawasan berlandaskan pada Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS). Indeks kualitas program sebuah tayangan pun dinilai sesuai peraturan ini. “Memang, pedoman ini belum sampai pada mengukur kedalaman konten keagamaan”, kata komisioner KPI tersebut.
Selain itu, ia melanjutkan bahwa KPI juga bekerjasa dengan berbagai pihak dalam mengawasi program-program keagamaan di televisi. Kementerian Agama dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) menjadi dua lembaga penting yang turut membantu KPI.
Beberapa acara agama yang bertendensi kontroversial akan ditegur oleh KPI. “Damai indonesiaku materinya pas tahun 2017, di materi tersebut mengarah pada muatan dakwah yang mengarah pada politik identitas,” terang Nuning.
Bahkan program yang meskipun mencoba menjelaskan persoalan keragaman ekspresi beragama juga akan ditegur KPI bila berpotensi kegaduhan. “Berita Islam pernah menampilkan beberapa hal yang khilafiyah seperti wukuf di Karbala, nah ini menimbulkan reaksi di masyarakat sehingga diperingatkan,” jelas Nuning.
Ringkasan Eksekutif dan Presentasi dapat diunduh pada tautan berikut ini:
Presentasi Launching
Ringkasan Eksekutif Dakwah Digital
Penulis: Endi Aulia Garadian