Jakarta, PPIM – “Narasi keagamaan di Televisi (TV) sering kali berseteru bukan karena perbedaan ‘pendapat’, tapi karena perbedaan ‘pendapatan’ (profit making), karena teks dan narasi yang diproduksi di TV akan merujuk pada seberapa besar sih profit making yang dihasilkan? artinya bahwa orientasi pasar (capital gain) sangat kuat di TV,” ucap Akh. Muzakki.
Pernyataan Guru Besar Universitas Sunan Ampel Surabaya ini disampaikan sebagai tanggapan atas pemaparan hasil penelitian PPIM UIN Jakarta tentang potret Islam di televisi, Selasa (25/5). Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) ini pun menyampaikan apresiasinya terhadap riset tersebut.
“Penelitian ini sangat keren, di mana perwajahan agama di TV dianalisis dengan menggunakan basis big data, ini kajian penelitian yang susah dilakukan, penelitian ini belum banyak diilakukan oleh orang-orang yang bergerak di dunia media,” ungkap Muzakki
Muzakki menambahkan, membaca narasi keagamaan di TV juga tidak bisa dilepaskan dari narasi agama di ruang publik yang lebih besar dengan perspektif Zamkaniyah (zaman, dan makan) yaitu waktu dan tempat, sebut saja Era Reformasi di mana kelompok berbasis agama menguat di Indonesia, dan antara tahun 2017-2020 merupakan tahun dimana agama dan politik menguat di Ruang Publik seperti, peristiwa Pilgub DKI Jakarta, kasus penolakan Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, aksi 411, aksi 211, dan menguatnya 3 pilar kaum Kanan yaitu iman-hijrah-jihad, turut mewarnai siaran-siaran di TV.
“Narasi keagamaan di Indonesia ini menguat pada Era Reformasi dan setelahnya, ditandai dengan munculnya gerakan-gerakan keagamaan yang serat akan idiologi, yang diwujudkan dalam pelembagaan berupa lembaga pendidikan, yaitu membuat sekolah dan mengisi konten-konten narasi dimedia sosial (media Pop),” papar Muzakki
Lebih jauh Muzakki memaparkan terkait program-program keagamaan di TV (Islam in the screen) menurutnya, program di TV dewasa ini tidak lain hanya sebuah pertunjukan semata (religiotainment, it’s a show) misalnya saja kepentingan antara edukasi dan hiburan, konversi agama di TV dalam bentuk Fragmented Agencies, antara pendakwah, endorser, dan influencer.
“Saya kira temuan PPIM yang kelima itu benar bahwa narasi keagamaan tidak banyak berpengaruh pada popularitas program agama dibandingkan sosok ustaz dan stasiun TV, masyarakat luas cenderung menyukai sosok ustaz karena statusnya yang juga merangkap sebagai selebriti dibandingkan narasi apa yang ia bawakan, juga pola program TV didominasi dalam bentuk one-man-show (52%) dibanding bentuk Shiff (48%), temuan ini semakin menguatkan bahwa profit making menjadi faktor utama kuatnya narasi keagamaan di TV, dari pada faktor idiologi” ungkap Muzakki
Di akhir sesi diskusi, Muzakki mendorong PPIM UIN Jakarta untuk meneliti lebih jauh terkait bagaimana beragama di tengah consumer culture, dan bagaimana beragama di tengah multiple realities
“Saya kira tatangan penelitian ke depan perlu menggali bagaimana beragama di tengah consumer culture dan multiple realities, karena ini akan mempengaruhi cara orang beragama, misalnya supermarket, berbelanja online, juga sekarang banyak orang yang mencari informasi agama bukan pada kyai, tapi melalui informasi di media sosial” tutup Muzakki di akhir sesi diskusi
Pada webinar hari ini, selain Prof. Akh. Muzaki, Ph.D, hadir sebagai pembahas lainnya yaitu Dr. Mega Hidayati, M.A (Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta). Sedangkan webinar ini disampaikan oleh dua orang peneliti PPIM UIN Jakarta yaitu Fahmi Imam Fauzy, dan Endi Aulia Garadian, dan dimoderatori oleh Iim Halimatusa’diyah, Ph.D (Koordinator Penelitian Merit Indonesia).
Penulis: Tati Rohayati
Editor: M. Nida Fadlan