Dapatkan Segera Buku & Hasil Penelitian PPIM UIN Jakarta Download Sekarang

Riset PPIM: Minim Ruang Dakwah untuk Perempuan di TV


PPIM, Ciputat – Program religi di televisi ikut mengkonstruksi relasi gender di masyarakat. Tidak hanya televisi yang beredar via satelit terrestrial, tapi juga televisi yang berbasis teknologi internet. Pada umumnya, mereka melanggengkan narasi ketimpangan gender, namun mereka juga bisa jadi agen pengarusutamaan kesetaraan.

Hasil penelitian Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta ini dipaparkan peneliti PPIM, Aptiyani Nur Jannah hari ini (8/6). Temuan ini merupakan salah satu bagian dari proyek penelitian Media and Religious Trends in Indonesia (MERIT). Program dakwah keagamaan di televise terdapat ketimpangan dalam memposisikan peran gender secara adil.

“Hampir 90% penceramah di televisi adalah laki-laki, sementara perempuan hanya 10%,” ujar perempuan dengan sapaan Yani itu. Hal itu karena pengelola program kesulitan mencari penceramah perempuan. Namun, temuan lainnya malah menyebutkan bahwa mayoritas pemirsa program keagamaan di televisi adalah perempuan.

Dari sisi narasi ceramah-ceramah keagamaan, yang berkembang justru bersifat melegitimasi subordinasi perempuan. Menurut Inayah Rohmaniyah, Dekan Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogjakarta, yang menjadi pembahas, hal ini juga tidak bisa terlepas dari paham dominasi laki-laki (male domination) di kalangan perempuan. Narasi-narasi lainnya cenderung bias gender. “Kita menemukan narasi yang stereotip gender, meletakkan peran gender yang kaku, dan domestifikasi perempuan yang tidak sedikit,” papar Yani.

Hal ini tidak bisa dilepaskan dari tuntutan bisnis media televisi. Yani mengatakan bahwa rating dan profit masih menjadi pertimbangan utama dalam desain program dari penentuan format acara, pengisi acara, dan penceramah.

 

Melihat Aspek Keluarga

Aspek keluarga juga penting untuk diamati dalam meneliti aspek gender di media. Pembahas lainnya, Rachel Rinaldo dari University of Colorado Boulder, mengatakan perbincangan-perbincangan mengenai keluarga juga harus diperhatikan. “Dari tema keluarga dapat terlihat bagaimana peran gender itu dikonstruksi. Misalnya peran ayah, peran ibu, atau peran anak dalam rumah tangga,” ujar sosiolog asal Amerika ini.

Televisi yang berbasis internet juga kerap menggunakan narasi keluarga dalam membentuk pemahaman ideologi tertentu. “Dalam beberapa penelitian terbaru, pandangan keluarga kerap diwakili kelompok yang antifeminis dan antikesetaraan gender,” kata Rachel. Ia menegaskan, hal ini juga sejalan dengan penelitian lain yang menggambarkan bahwa internet membantu mengekskalasi gerakan ekstremisme maupun gerakan intoleran.

Menurut Rachel, fenomena seperti ini tidak hanya ditemukan di Indonesia. Ia menjelaskan, ketidakadilan dalam mengemas peran gender juga terlihat misalnya di Amerika. “Beberapa negara di Eropa mungkin bisa menghadirkan program televisi yang cenderung inklusif gender,” terang Rachel. Namun, itu tidak terlepas dari pendanaan yang kuat dari negara, sehingga negara mampu mengendalikan media. Untuk kasus TVRI, ia menjelaskan bahwa Indonesia bisa saja punya media negara yang inklusif bila masyarakat terus mendesak perubahan ke arah demikian.

Dominasi Narasi Seksualitas

Inayah menyampaikan, temuan penelitian itu lebih banyak memperlihatkan aspek seksualitas daripada aspek gender. Menurutnya, gender itu teori sosiologi yang melengkapi pendekatan structuralist dan post-structuralist. Ia mengatakan, gender spesifik melihat perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan. Gender berbicara diskriminasi dan akar diskriminasinya. Sedangkan seksualitas adalah hal-hal yang berkaitan tentang perasaan, pikiran, ketertarikan, dan perilaku seksual seseorang terhadap orang lain.

“Narasi perempuan yang dijelaskan dalam penelitian punya batasan laku untuk menikah, istri selamat melayani, ataupun menjaga kehormatan dirinya karena akan menimbulkan fitnah. Itu semua sangat kuat dengan narasi seksualitas,” ujar Inayah. Hal ini sangat relevan dengan studi-studi yang sudah ada sebelumnya.

Satu hal yang perlu digarisbawahi, menurut Inayah, minimnya pengawasan atau pengawas yang punya kesadaran sensitivitas gender. Ia juga menjelaskan tim produksi yang tidak punya sensitivitas gender. Ini yang kemudian memungkinkan lahirnya narasi-narasi tidak adil gender atau diskriminatif terhadap seks tertentu.

Semua ini merupakan proses tarik-menarik yang terjadi antara kebutuhan pasar dan ideologi yang diperjuangkan oleh TV tertentu. “Kita harus lihat juga sejauhmana TV, apalagi TV yang moderat, juga memperjuangkan hal-hal yang terkait dengan relasi gender sehat, maupun yang berkaitan dengan hak-hak perempuan,” ucap Inayah.

Menurut Inayah, penelitian ini juga akan semakin menarik bila mau membandingkan TV yang diusung oleh kelompok moderat dengan kelompok konservatif. Baginya, ada kemungkinan baik TV moderat maupun TV konservatif punya narasi yang tidak berbeda jauh terkait ketidakadilan gender maupun eksposure seksualitas yang cenderung merugikan perempuan. (EAG).

Link video:
Link materi: Representasi dan Konstruksi Gender dalam Dakwah Televisi

Penulis: Endi Aulia Garadian
Editor: Idris Thaha