Dapatkan Segera Buku & Hasil Penelitian PPIM UIN Jakarta Download Sekarang

Menjadi Muslim Indonesia dengan Berkaca pada Bima


Jakarta, PPIM – “Apa artinya menjadi Muslim Indonesia? Satu pertanyaan yang terus dinegosiasikan oleh masyarakat Bima, Sumbawa-Indonesia sejak Islam dan budaya (culture) menyatu menjadi identitas masyarakat Bima. Menyelami tradisi Islam di Bima juga merepresentasikan bagaimana menjadi Muslim Indonesia secara utuh”, dalam buku Being Muslim in Indonesia: Religiosity, Politics and Cultural Diversity in Bima.

Kajian yang sarat akan makna historis dengan pendekatan Antropologi ini, merupakan Disertasi Muhammad Adlin Sila, dosen FISIP UIN Jakarta saat ia menempuh studi Ph.D (Doctor of Philosophy) nya di Department of Anthropology School of Culture, History and Language College of Asia and the Pacific, Australian National University (ANU) tahun 2015. Ia kemudian membagi hasil risetnya dalam acara “Diskusi dan Bedah Buku: Being Muslim in Indonesia: Religiosity, Politics and Cultural Diversity in Bima” atas kerjasama antara Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta, Studia Islamika, Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan, dan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN Jakarta, Kamis (16/9)

Melalui pendekatan antropologi, Adlin mengcapture Islam Indonesia melalui Bima dengan cukup apik, Ia menjelaskan bahwa meskipun umat Islam di Bima bersatu atas nama ‘Islam’, namun ekspresi keislamannya cukup beragam. Terlihat bagaimana Sultan dan Raja Bicara, organisasi sosial, dan politik di Bima mencerminkan sebuah warisan sejarah dan budaya daerah yang cukup signifikan dalam pembentukkan orientasi keagamaan di Bima. Sultan yang tertarik dengan Islam tradisionalis, dan Raja Bicara yang berafiliasi dengan Islam reformis ini berdampak luas pada dinamika Islamisasi dan bagaimana menjadi Muslim di Bima, “being Muslim is not a single trajectory, but influenced by many aspects, and is continuously in the making.” Artinya banyak faktor-faktor lain yang juga turut andil memberikan pengaruh bagaimana menjadi Muslim di Bima, papar Adlin

Meskipun Bima pernah memiliki sejarah kelam, karena keterlibatan beberapa tokoh dalam gerakan jihadis. Namun menariknya, mayoritas praktik Islam Muslim Bima tidak ada hubungannya dengan agenda Islamis untuk menggantikan idiologi negara. Menurut Adlin, menjadi ‘Muslim’ di Bima justru membantu masyarakat lokal beradaptasi dengan dunia modern, dan modernitas ini ditunjukkan dalam kebangkitan perayaan masuknya Islam ke wilayah Bima, dikenal dengan festival “Hanta Ua Pua”.

“Dalam upacara tersebut, umat Islam dari latar belakang Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah menjadi pendukung utama festival tersebut. Biasanya dimulai dengan ritual membaca Barzanji, mirip dengan tradisi Nahdlatul Ulama (NU). Saat festival ini juga para perempuan lokal di Bima memakai rimpu (jilbab lokal) untuk berparade di sepanjang jalan utama, supaya terlihat oleh masyarakat setempat. Mereka dengan bangga menampilkan pakaian tradisional mereka tetapi tetap beradaptasi dengan dunia dan modernitas saat ini” ungkap Adlin

Garis besarnya, buku ini berusaha menawarkan laporan kontemporer tentang pengalaman sehari-hari umat Islam Bima dengan mengeksplorasi cara-cara di mana umat Islam di Bima membangun gagasan tentang diri, orang lain dan komunitas dan cara mereka mengekspresikannya secara publik dalam festival dan ritual, kata Adlin

Pada acara bedah buku yang dimoderatori oleh Dzuriyatun Toyibah (Dosen FISIP UIN Jakarta), turut hadir beberapa nama sebagai pembahas diantaranya Prof. Kathryn Robinson (Australian National University), Prof. Jamhari Makruf (Dewan Penasihat PPIM UIN Jakarta), Prof. Dr. Abdul Mu’ti (UIN Jakarta), Prof. Martin van Bruinessen (utrecht University), Dadi Darmadi, MA (Antropolog, peneliti PPIM UIN Jakarta), dan Fachry Ali (pengamat sosial politik). Mereka memberikan testimoni terhadap buku yang baru saja launching.

Prof. Kathryn Robinson, dosen Australian National University, turut bangga dengan hadirnya buku karya Adlin seraya mengatakan “Saya tentunya sangat senang sekali dengan buku ini, menurut saya buku ini penting untuk melihat penyebaran Islam di bagian Timur Indonesia, di mana Islam dan Kesultanan di Sulawesi ada pengaruh dari Makassar. Terlebih, buku ini didasarkan atas penelitian ke lapangan (ovservation), dengan pendekatan antropologi. Saya menyambut baik buku ini, dan saya bangga sekali, ucap Kathryn

Prof. Jamhari Makruf, dewan penasihat PPIM UIN Jakarta, mengomentari buku ini bahwa konteks Islam di Bima menghadirkan keragaman praktis Islam di Indonesia, dualisme antara kelompok Sultan dan Raja Bicara ini bertemu dalam satu harmoni dalam bentuk fetsival. “Keragaman praktis Islam inilah yang sebenarnya menunjukkan ciri khas Indonesia,” ucap Jamhari

Prof. Dr. Abdul Mu’ti, dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, juga turut mengapresiasi terbitnya buku tersebut “karya ini semakin memperkaya khazanah Indonesia yang memiliki keragaman dan kekayaan budaya, yang berakar kuat di masyarakat. Buku ini menarik, bagaimana agama ketika diamalkan oleh masyarakaat dengan setting budaya yang berbeda-beda, memilki dialektika dan dinamika yang sangat menarik, semuanya menggambarkan bagaimana terjadinya kontestasi, tapi pada saat yang sama juga akulturasi, bahkan akomodasi, dan dalam beberapa hal juga asimilasi antara Islam dengan budya-budaya lokal, dan bagaimana berbagai organisasi Islam memberikan corak dan warna keberagaman Islam Indonesia” papar Mu’ti

Dadi Darmadi, antropolog UIN Jakarta memandang buku ini berkontribusi bagi dunia akademik, di mana argumen besar buku ini yaitu melihat Islam di Bima sebagai jendela untuk melihat Islam di Indonesia, ucap Dadi

Sebagai penutup, Fachry Ali, pengamat bidang sosial dan politik merasa buku ini memperlihatkan harmonisasi antara elit dan alit yaitu Sultan dan Raja Bicara bergabung menjadi ‘local believe’, yang kemudian diekspresikan melalui festival “Hanta Ua Pua”tutup Fachry di akhir diskusi

 

Penulis     : Tati Rohayati
Editor    : M. Nida’ Fadlan