Dapatkan Segera Buku & Hasil Penelitian PPIM UIN Jakarta Download Sekarang

Dr. Nur Rofiah: Kyai dan Nyai Sama Pentingnya kala Pandemi

Share this post

Dr. Nur Rofiah: Kyai dan Nyai Sama Pentingnya kala Pandemi

Jakarta, PPIM – Dr. Nur Rofiah, Bil. Uzm, Dosen Pascasarjana Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an (PTIQ) Jakarta, memaparkan pentingnya perhatian khusus terhadap pesantren di kala pandemi terutama kaitannya dengan dinamika relasi gender. Hal ini ia sampaikan menanggapi hasil temuan penelitian dengan tema “Pesantren dan Pandemi: Bertahan di Tengah Kerentanan” yang dilaksanakan oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta melalui CONVEY Indonesia dan dirilis pada Launching Hasil Penelitian pada Rabu (19/1).

Pengampu Ngaji Keadilan Gender Islam ini memandang perlu perhatian lebih besar pada pesantren karena kondisinya yang lebih rentan di masa pandemi mengingat segala keterbatasannya dibandingkan lembaga pendidikan modern. Karakteristik pesantren yang identik dengan kerumunan menambah resiko penularan sehingga perlu adanya dukungan khusus dari berbagai pihak. Selain itu, ia juga menegaskan pentingnya melihat dinamika relasi gender di pesantren kala pandemi. Relasi gender bukan hanya melihat hubungan antara Kyai dengan Nyai tetapi juga Ustadz dan Ustadzah maupun santriwan dan santriwati.

“Saya melihat dinamika relasi gender dari lensa keadilan hakiki yang berfokus pada persamaan, perbedaan dan keragaman,” paparnya. “Lensa ini melihat persamaan Kyai dan Nyai misalnya sebagai sesama manusia sekaligus dalam kapasitasnya sebagai pimpinan pesantren. Di sisi lain perbedaan dan keragaman dilihat. Ada pergulatan bagaimana peran gender yang konvensional dalam relasi suami istri kemudian mempengaruhi pembagian peran antara keduanya termasuk dalam penanganan pandemi, sehingga meski sama-sama manusia dan pemimpin pesantren, pengalamannya menjadi berbeda.”

Lensa ini juga melihat perbedaan dan keragaman pengalaman antara laki-laki dan perempuan. Terdapat dua pengalaman yang membedakan keduanya. Pertama, pengalaman biologis yang berbeda karena perbedaan sistem reproduksi. Perempuan mengalami menstruasi, hamil, melahirkan, nifas, menyusui yang kesemuanya memakan durasi panjang dan menyebabkan dampak kesakitan. Sedangkan laki-laki pengalaman ketubuhan memberikan dampak yang sama sekali berbeda.

“Sistem reproduksi berkaitan erat dengan sistem kesehatan apalagi di masa pandemi. Akses perempuan dengan sistem reproduksinya harus mendapatkan penanganan khusus dalam pandemi. Perempuan yang sedang hamil atau menstruasi dan terkena Covid misalnya membutuhkan perhatian lebih. Maka walaupun sama-sama santri, sama-sama pimpinan tapi ada pengalaman yang berbeda,” ujarnya. “Ketika melihat keragaman, meskipun sama-sama perempuan, ada keragaman dari segala aspek. Misalkan dari segi usia, Nyai usia muda dan dalam masa reproduksi aktif berbeda dengan Nyai dalam menopause. Pengalaman biologis ini harus dilihat dalam merespon pandemi.”

Kedua, pengalaman sosial dimana perempuan lebih rentan terhadap stigmatisasi, marginalisasi, subordinasi, kekerasan, dan beban ganda. Ada pengalaman khas perempuan yang mungkin dialami Nyai tapi tidak dialami Kyai. Terkait kerentanan pengalaman sosial perempuan pada pesantren, Kyai misalnya diasumsikan lebih segalanya dibandingkan Nyai baik keilmuannya atau kepemimpinannya. Sehingga perlu dilihat sejauh mana keterlibatan Nyai dalam penanganan Covid 19. Dinamika kepemimpinan di pesantren juga perlu dilihat. “Pesantren yang dipimpin oleh Kyai dan Nyai tentu berbeda dengan yang dipimpin hanya oleh Nyai saja,” tambahnya.

Pembagian wilayah dan peran yang rigid antar gender juga berpengaruh pada penanganan pandemi. Perempuan dilekatkan pada wilayah domestik dan laki-laki di wilayah publik membedakan perannya dalam merespon Covid19. Dua kemungkinan bisa terjadi berdasarkan relasi gender yang timpang. Pertama, Kyai yang berperan penuh dalam kepemimpinan termasuk dalam menangani pandemi. Keputusan mutlak berada di Kyai dan Nyai mengikuti saja.  Kedua, Nyai juga ikut berperan dalam batasan yang ditentukan Kyai. Nyai turut andil hanya jika diizankan Kyai misalnya.

“Contohnya dalam suatu acara penanganan pandemi, Kyai bisa ikut acara dari awal sampai akhir. Sedangkan Nyai, dalam peran sosialnya sebagai ibu, bertanggung jawab di belakang acara memastikan penyediaan konsumsi dan jamuan peserta. Sehingga mungkin ia akan termajinalkan dari informasi tentang pandemi pada acara tersebut,” tuturnya.

Maka dinamika relasi gender di pesantren perlu didasarkan pada relasi keadilan gender. Penanganan pandemi harus memperhatikan relasi gender yang adil. “Nyai dan Kyai sama pentingnya di pesantren. Keduanya setara. Kyai dan Nyai benar-benar menjadi subjek yang terlibat penuh dalam menangani pandemi,” pungkasnya.

Penulis: Aptiani Nur Jannah