Jakarta, PPIM – Hasil survei Pusat Pengajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta pada bulan Januari hingga Oktober 2021 lalu menemukan sebanyak 70,5% santri telah mendapat vaksinasi. Dari survei yang sama juga menemukan 24,4% santri masih meyakini bahwa sistem demokrasi tidak bisa mengatasi krisis pandemi COVID-19 sehingga lebih baik diganti dengan sistem khilafah.
PPIM UIN Jakarta resmi meluncurkan hasil survey di 15 Pesantren di wilayah Jakarta, Banten, dan Jawa Barat dengan tema “Pesantren & Pandemi: Bertahan Di Tengah Kerentanan” pada Rabu 19 Januari 2022 lalu melalui platform Zoom Meeting dan Youtube. Acara peluncuran survei dibuka dengan Welcoming Speech oleh Prof. Ismatu Ropi, Ph.D. sebagai Direktur Eksekutif PPIM UIN Jakarta. Peluncuran survei ini dimoderatori oleh Prof. Jamhari Makruf, Ph.D selaku Team Leader CONVEY Indonesia. Acara dimulai dengan pemaparan hasil survei oleh kedua peneliti PPIM UIN Jakarta, drg. Laifa Hendarmin, Ph.D, dan Dr. Ida Rosyidah, M.A. Mereka menemukan problematika yang terjadi pada santri di pesantren selama pandemi COVID-19. Di antaranya dalam bidang kesehatan 52,1% santri tidak yakin rokok membuat seseorang lebih rentan terinfeksi COVID-19. 61,7% santri tidak yakin SARS-CoV2 varian delta lebih menular dari pada varian virus corona lainnya. 70,5% santri telah mendapat vaksinasi. Namun, berdasarkan responden yang belum vaksin, sebanyak 36% santri mengaku ragu-ragu dan tidak berminat mengikuti vaksinasi. 5% santri yang menolak vaksin karena alasan agama. Disisi lain, terdapat beberapa gejala yang dialami, antara lain 17% santri sulit tidur, 13,9% santri sulit berkonsentrasi, 13,3% santri kurang nafsu makan atau terlalu banyak makan, 10,7% santri kurang percaya diri atau merasa sebagai manusia gagal, bahkan 3% santri memiliki keinginan bunuh diri. Dalam Keagamaan, ditemukan 49,7% santri masih meyakini bahwa penanganan jenazah dengan protokol COVID-19 tidak sesuai syariat Islam. 85,3% Keimanan dan Ketakwaan santri kepada Allah swt mengalami peningkatan selama pandemi. Dalam hal kepercayaan terhadap pemerintah dan institusi politik, masyarakat Pesantren memiliki kepercayaan yang rendah terhadap Dewan Perwakilan Rakyat (33,4%) dan Partai Politik (27,5%). Sebagai akibat dari adanya ketidakpercayaan terhadap pemerintah, sebanyak 24,4% responden meyakini bahwa sistem demokrasi tidak bisa mengatasi krisis pandemi COVID-19 sehingga lebih baik diganti dengan sistem khilafah. Adapun sebanyak 64,8% responden menilai bahwa kesulitan Indonesia menghadapi pandemi COVID-19 disebabkan oleh sistem dan pemimpin yang tidak kompeten.
Temuan survei di atas sangat menarik untuk diperbincangkan oleh kelima narasumber. Narasumber pertama-Dr. H. Waryono Abdul Ghofur, M.Ag selaku Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kementerian Agama RI. Ia menyampaikan rasa terima kasih terhadap PPIM UIN Jakarta atas survey yang sudah dilakukan, meski survey ini masif minim hanya di 15 Pesantren di wilayah Jawa Barat, Banten, dan DKI Jakarta. Jumlah Pesantren yang ada di Indonesia sekitar 28.000 lebih. Dinamika yang dialami Pesantren sangat beragam, mulai banyaknya pimpinan pesantren meninggal dunia, santri dipulangkan ke rumahnya masing-masing dan kembali lagi ke Pesantren secara bertahap hingga adaptasi pembelajaran secara virtual. Lebih lanjut, ia meminta maaf karena bantuan dari pemerintah sebesar 2,5 triliun disalurkan ke Sabang sampai Merauke secara maksimal hanya mendapat Rp 25juta- Rp 50 juta tergantung banyaknya santri yang mukim.
Narasumber kedua- Prof. Yayi Suryo Prabandari, Ph.D selaku Kepala Departemen Perilaku Kesehatan, Lingkungan dan Kedokteran Sosial, UGM mengkaji hasil temuan survey PPIM UIN Jakarta. Masuk virus Covid-19 di Indonesia adalah penyakit baru dimana masyarakat belum siap untuk menghadapinya, termasuk sekolah dan Pesantren. Infromasi saat itu masih belum jelas hingga munculnya surat edaran untuk melakukan pembelajaran online. Pada tahun 2021 vaksin mulai dilakukan meski sampai saat ini mutasi Covid-19 selalu muncul dari Delta hingga varian Omicron. Harapannya pada tahun 2022 semoga tidak terjadi gelombang ketiga, pengendalian terus dilakukan, komunikasi, dan strategi lebih matang termasuk juga konsolidasi.
Narasumber ketiga-Dr. Ace Hasan Syadzily, M.Si. selaku Dewan Perwakilan Rakyat – RI Komisi VIII mengapresiasi setingi-tingginya mengenai hasil temuan survei Pesantren dan Pandemi. Riset ini tentu dapat menggambarkan baik secara kuantitatif maupun kualitatif secara etnografis tentang “bagaimana ketahanan Pesantren di tengah Pandemi Covid-19?” Hasil ini dapat dijadikan sebagai rumusan kebijakan dalam menanggulangi penyebaran Covid-19. Setiap pembuatan kebijakan pemerintah tidak terlepas dari sumber riset. Riset yang dilakukan oleh PPIM UIN Jakarta sangat menarik dimana negara hadir untuk memberikan kebutuhan Pesantren benar-benar terpenuhi.
Narasumber keempat-Dr. Nur Rofiah, Bil. Uzm selaku Dosen Pascasarjana Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an (PTIQ) Jakarta dalam relasi gender di Pesantren tidak terbatas oleh kiai dan nyai, tetapi ada juga santri laki-laki dan perempuan serta ustaz dan ustazah untuk dilihat dinamika selama pandemi. Untuk dapat mengukur relasi antara kiai dan nyai di Pesantren, Nur Rofiah memberikan sumbangsi ide pemikirannya dengan menambahkan “lensa keadilan hakiki”. Ia menambahkan adanya relasi qiwamah-wilayah apakah keputusan sesuatu mutlak dari kiai nya tanpa melibatkan nyai atau adanya diskusi terlebih dahulu sebelum mengeluarkan suatu keputusan.
Terakhir narasumber kelima- Gus Romzi Ahmad selaku Asisten Staf Khusus Presiden Republik Indonesia melaporkan bahwa sebetulnya Pesantren kooperatif dalam penanganan wabah selama pandemic. Ada beberapa masalah yang sudah di highlight. Pertama transparansi, ternyata banyak Pesantren tidak mengaku saat salah satu santrinya terpapar Covid-19. Kedua pendidikan, Pesantren akhirnya menyadari betapa pentingnya teknologi saat pembelajaran masa pandemi. ketiga kejujuran, tidak semua Pesantren menjalankan rutinitas seperti olahraga, berjemur, makan teratur, dan tidur tepat waktu serta tidak adanya sarana bimbingan konseling. keempat kepemimpinan, penelitian di Liverpol menunjukkan bahwa pemimpin perempuan jauh lebih baik daripada laki-laki. Sementara saat ini Pesantren lebih didominasi oleh pemimpin laki-laki, maka yang terjadi lebih banyak tersendat.
Penulis: Alvin Noor Sahab