Jakarta – Direktur Eksekutif Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta, Prof. Drs. Ismatu Ropi, M.A., Ph.D., menyampaikan orasi ilmiahnya mengenai kehidupan keagamaan khususnya di Indonesia dalam pengukuhan gelar kehormatan sebagai Guru Besar Bidang Ilmu Perbadingan Agama yang diperolehnya dari Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta (17/5).
Dalam orasinya, Ismatu merespon fenomena dua dasawarsa terakhir dimana umat beragama menjadi cenderung mudah marah, anti perbedaan dan mudah memberi label sesat kepada kelompok yang berbeda. Kepedihan dan rasa malu yang ditimbulkan oleh pembantaian beberapa orang Ahmadiyah di Banten sekitar lima belas tahun lalu masih terngiang.
Belum lagi penderitaan sekelompok pengikut Syi’ah di Madura yang diusir dari rumah mereka sendiri karena dituduh sesat dan banyak contoh kenestapaan lain dalam relasi sosial keagamaan yang begitu menyedihkan. Akusisi dan persekusi terhadap orang atau kelompok yang berbeda cara pandang ini dalam studi agama-agama disebut dengan istilah heresiologi.
“Heresiologi merepresentasikan sebuah model kecenderungan atau prilaku yang dilakukan oleh pemimpin agama dan/atau penguasa dalam merespon kemunculan ajaran-ajaran atau gerakan-gerakan yang dianggap berbeda dari nomenklatur ortodoksi berkaitan dengan konsep dan atribut keagamaan seperti Tuhan, eksistensi Nabi dan Kitab Suci, inovasi ajaran agama,” demikian ungkap Ismatu.
Heresiologi merupakan manifestasi dari pergumulan yang terus menerus terjadi antara tradisi keagamaan yang dianggap baku (ortodoks) dengan cara pandang atau gerakan yang dianggap berbeda (heterodoks). Dalam sejarah, isu tentang kontestasi gerakan ortodoks dan heterodoks merupakan fitur utama dalam perjalanan berbagai agama, termasuk juga Islam. Terjadi di berbagai belahan dunia, termasuk juga di Indonesia.
Dalam praktiknya, ortodoksi merupakan hasil ortodoksifikasi dimana sebuah agama melalui proses pemapanan atau institusionalisasi dan standarisasi menyangkut ajaran, dogma, praktik-praktik keagamaan yang dilakukan oleh elit agama untuk mereservasi klaim kebenaran dari agama tersebut, atau mereservasi klaim kelompok yang dianggap paling dekat dengan keselamatan. Apakah ini religius? Menurut Ismatu, ini salah satu masalahnya.
Ketika sebuah proses ortodoksifikasi dilakukan oleh elit agama, konteks sosial politik tentu menjadi bingkainya. Di sinilah elite politik dipercaya berperan mendorong terjadinya ortodoksifikasi oleh elit agama sebagai bagian dari upaya untuk menjaga ketertiban dan keseragaman masyarakat. Respon terhadap pemikiran atau gerakan heterodoks dipercaya sejak awal bukan semata-mata untuk menjaga ‘kemurnian’ agama melainkan juga sangat politis dan sebagai alat hegemoni bagi penguasa. Pada akhirnya, terbangun kolaborasi yang saling menguntungkan. Karenanya, sejarah agama-agama mencatat, isu yang berkenaan dengan pemikiran atau gerakan heterodoks kerap melekat dengan keinginan untuk mengukuhkan pengaruh politik atau memberangus kelompok yang dianggap membangkang otoritas negara.
Ismatu menjelaskan, dalam studi heresiologi terdapat ukuran-ukuran yang dikembangkan kelompok ortodoks untuk menjadi kriteria utama dalam menilai mana ajaran yang kurus dan mana yang menyimpang. Ada istilah-istilah kunci dalam studi ini, seperti ‘heresy’, ‘apostasy’, ‘conversion’, ‘schism’, ‘maupun ‘blasphemy’, yang semuanya merujuk pada pemikiran atau perilaku menyimpang dari cara kebanyakan. Pada awalnya, konsep-konsep tersebut sangatlah cair, namun seiring dengan perkembangan zaman konsep menjadi semakin rumit dan luas.
Keberadaan konsep-konsep itu kerap menimbulkan kebingungan dan konflik kepanjangan dan dapat menjadi sumber utama bagi upaya pemberhangusan atas perbedaan. Di sisi lain, perbedaan yang diusung kelompok heterodoks terus bermunculan dikarenakan berbagai alasan, seperti pembaruan internal pemikiran keagamaan sesuai tuntutan zaman sampai pada keinginan menawarkan model ‘agama’ atau doktrin baru yang berbeda. Masyarakat pun tergoda untuk bergabung ke kelompok heterodoks dengan alasan agama yang dianut sebelumnya gagal menjawab persoalan ril dalam kehidupan, terlalu rigid dan mapan hingga akhirnya ketinggalan zaman.
Di Indonesia, kontestasi kelompok ortodoks dengan kelompok heterodoks terutama kelompok mistik Islam, pernah terjadi. Bagaimana kelompok mayoritas seolah menjadi beringas, melihat minoritas dengan mata yang ganas. Menjadikan mereka musuh yang layak ditindas. Sebagai contoh, kasus Hamzah Fansuri dan Nurruddin ar-Raniry pada abad ke-17, kasus Haji Ahmad Mutamakin dalam Serat Cabolek, dan kisah Syaikh Siti Jenar yang heterodoks dihakimi dan kemudian dihukum mati oleh para ulama Wali Songo yang merepresentasi ulama ortodoks.
Pertentangan paham ortodoks dan heterodoks ini, kata Ismatu, memang meninggalkan ‘sisi gelap’ dalam sejarah sosial keagamaan di tanah air dan ternyata terus berlanjut hingga sekarang dengan motif yang mungkin sedikit berbeda.
“Di sini, negara atau pemerintah harus berada di posisi yang netral dengan sistem yang sepenuhnya adil dan mengayomi bagi semua,” ujar Ismatu.
Kadang kala, negara secara sadar atau tidak sadar memang terkesan ikut mensponsori salah satu model ortodoksi sebagai public morality. Seperti kebijakan yang disusun pemerintah dengan nama Pedoman Penanganan Aliran dan Gerakan Keagamaan ‘Bermasalah’ di Indonesia yang jelas melindungi kepentingan kelompok ortodoks dan melestarikan nilai-nilainya dalam sistem negara.
Ismatu menambahkan, penting untuk kita sama-sama mendorong pemerintah dan pengadilan untuk bersikap proporsional dalam mengelola urusan agama karena agar tidak semakin banyak orang yang bersikap apatis dan berpendapat bahwa dominasi nilai berdasarkan norma mayoritas kelompok ortodoks menjadi landasan bagi terjadinya intoleransi terhadap minoritas dan heterodoks. Ismatu juga menekankan bahwa Indonesia adalah rumah untuk semua.
Pengukuhan gelar guru besar Prof. Drs. Ismatu Ropi, M.A., Ph.D. ini dilaksanakan bersamaan dengan pengukuhan gelar Prof. Kusmana, S.Ag., M.A., Ph.D sebagai Guru Besar Bidang Ilmu Tafsir yang juga merupakan dosen Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Di akhir sesi pengukuhan, Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Amany Lubis, M.A., dalam pidatonya mengungkapkan, “Kehadiran Prof. Kusmana dalam bidang Ilmu Tafsir dan Prof. Ismatu Ropi dalam bidang ilmu Perbandingan Agama diharapkan menjadi magnet bagi kajian Islam atas nama Fakultas Ushuluddin yang memiliki tradisi pemikiran Islam yang kuat dan dipadu dengan kemodernan serta keindonesiaan.”
Acara ini dapat disaksikan secara online di https://youtu.be/CzsvAnU3-Uo
Penulis: Zhella Apriesta
Editor: Idris Thaha