Dapatkan Segera Buku & Hasil Penelitian PPIM UIN Jakarta Download Sekarang

Sosok Azyumardi Azra di Mata Keluarga dan Kolega


Jakarta, PPIM – Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta menggelar do’a bersama (tahlil) hari ketiga wafatnya Prof. Dr. Azyumardi Azra, M.Phil., M.A., CBE di rumah duka Puri Laras, Ciputat setelah paginya almarhum dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata, Jakarta Selatan (20/9).

Kak Edi, begitu para kolega PPIM menyapa Azyumardi Azra, wafat pada Minggu, 18 September 2022, di usianya yang ke-67. Ia sedianya dijadwalkan menjadi pembicara di seminar: “Persidangan Antarbangsa: Kosmopolitan Islam” di Kajang Malaysia yang digelar oleh Angkatan Belia Islam Malaysia (ABIM) pada Sabtu (17/9). Namun, dalam perjalanan di pesawat Azra mengalami serangan jantung, dan keesokan harinya menghembuskan nafas terakhir di RS. Serdang, Selangor, Malaysia.

Kabar meninggalnya Azra tentu menjadi duka mendalam tidak hanya bagi PPIM UIN Jakarta tapi juga bangsa Indonesia dan dunia. Azra merupakan cendekiawan Muslim Indonesia yang memiliki integritas tinggi, Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (1998-2006), sejarawan, dan ketua Dewan Pers Indonesia (2022-2025). Azra juga satu-satunya orang Indonesia yang memiliki gelar ‘Sir’ karena mendapat gelar kehormatan CBE (Commander of the Most Excellent Order of British Empire) dari Ratu Elizabeth II, Kerajaan Inggris tahun 2010. Kiprahnya yang mendunia sudah tidak diragukan lagi, banyak karya yang ditorehkan untuk bangsa, negara, dan agama.

Gelaran doa bersama ini dilengkapi dengan pernyataan kesan sosok Azra dari istri, anak-anak, dan keluarga lainnya. Firman El-Amny Azra, anak kedua almarhum, mengenang ayahnya sebagai sosok pekerja keras dan memiliki konsistensi tinggi.

“Dari ayah, patut dicontoh adalah kerja keras dan konsistensi. Beliau punya kebiasaan bangun jam tiga pagi, salat tahajud, kemudian salat subuh. Setelahnya, mengetik/menulis apapun untuk kolom koran, riset, jurnal, dan buku. Aktivitas itu rutin ia lakukan. Sehingga, tidak heran jika tulisan dan karya-karyanya terus lahir, di tengah padatnya menghadiri seminar, diundang di stasiun TV, dan lainnya,” kata Firman.

Sisi kemanusiaan Azra juga diungkap. Di tengah kesuksesan yang telah digapainya, Firman menyebut ayahnya adalah sosok yang sangat sederhana. “Ayah jarang sekali membeli pakaian, bajunya itu-itu saja, malahan seringkali beliau memakai kaos dan baju-baju gratisan dari stasiun-stasiun TV di mana beliau menjadi narasumber,” tutur Firman.

Selanjutnya Emily Sakina Azra, anak bungsu, dan satu-satunya anak perempuan Prof. Azra turut berbagi kenangan semasa kebersamaannya dengan sang ayah. Menurut Meli, panggilan sang Ayah kepadanya, ada tiga (3) hal pelajaran yang dapat diambil dari sosok ayahnya yakni: sense of responsibility (rasa tanggung jawab), humility (kesederhanaan), dan leadership (kepemimpinan).

“Ayah itu kesehariannya jam 5 sore matiin lampu, hidupnya sangat disiplin, terlebih saat usia 26 tahun divonis diabetes, makan tepat waktu, olahraga, sehingga sampai usia 67 tahun ia bisa survive meski dalam keadaan sakit” kata Meli

Selain itu, Meli juga mengatakan bahwa ayahnya sangat mandiri, dan tidak mau merepotkan orang lain. Pakaian yang telah dipakainya selalu dicucinya sendiri. Hal itu terlihat di kamar mandi banyak digantung baju-baju yang sudah dicucinya sendiri sambil mandi.

Azra juga sosok pemberani. Meli menambahkan bahwa, sekitar enam bulan yang lalu, ayahnya pernah melontarkan kritik keras kepada pemerintah, ini tertuang di dalam tulisan yang dikirim kepadanya. Ketika ditanya apa tidak takut, ayahnya menjawab “I’m done”. Meli kemudian bertanya apa maksudnya dan dijawab oleh ayahnya bahwa beliau sudah selesai dengan semua urusan kehidupan ini, tidak lagi mengejar jabatan, tidak lagi mengejar uang.

Selain Firman dan Meli, istri dari Azra, Ipah Farihah turut memberikan testimoni. Ia mengenang suaminya sebagai sosok pekerja keras namun selalu memberikan perhatian penting terhadap kehidupan di rumah. Di tengah kesibukannya, Azra berbagi peran dengan Ipah untuk mengurusi persoalan rumah tangga dan umat.

“Sejak awal saya tahu kalau suami saya sibuk sekali memenuhi undangan di luar. Oleh karena itu, saya berjanji kepada beliau untuk sepenuhnya mengabdi mengurus urusan domestik. Hal itu saya lakukan agar suami saya bisa memberi sumbangsih yang besar untuk bangsa ini,” tutur Ipah.

Kesan Azra sebagai pekerja keras juga diamini oleh Armia, keponakan Azra. Ma’ Edi sapaannya sebagai paman, merupakan sosok pekerja keras, namun bukan yang money oriented. Ma’ Edi selalu mengatakan, “bekerjalah dengan maksimal, rezeki akan datang”.

Kehangatan di dalam keluarga adalah modal penting bagi kesuksesan Azra. Armia menyaksikan bahwa Azra sangat bangga dengan keempat anaknya dan juga sangat menyayangi istrinya. Di sesi akhir, Armia pernah bertanya kepada Azra mengenai apa yang membuat bahagia dalam hidup ini dan dijawab olehnya, “mensyukuri apa yang kita punya”.

 

Azra di Mata Kolega PPIM

Acara kemudian diakhiri dengan berbagi kenangan oleh Prof. Saiful Mujani dan Prof. Jamhari, dua figur senior di PPIM. Bahwa, banyak yang sudah dilakukan oleh Prof. Azra untuk PPIM UIN Jakarta dan Studia Islamika, karena PPIM seperti rumah kedua bagi Prof. Azra.

Saiful Mujani mengenai Azra sebagai sosok penting yang berada di balik kesuksesan PPIM dan ikonnya, Studia Islamika. Sepulang studi dari Amerika di awal 1990an, para pimpinan IAIN Jakarta saat itu Prof. Quraish Shihab dan Prof. Harun Nasution memintanya untuk melakukan kerja brilian untuk almamaternya. Azra pun memilih untuk memulai mengenalkan kajian Islam Indonesia melalui jurnal ilmiah.

“Azra membangkitkan gairah kajian keislaman yang belum ramai saat itu. Studia Islamika yang sudah digagas Pak Harun sejak 1976, dibuat menjadi referensi berkelas dunia oleh Kak Edi,” kenang Guru Besar Ilmu Politik UIN Jakarta ini.

Sekretaris Dewan Penasihat PPIM, Jamhari, menambahkan bahwa Azra adalah sosok yang jeli melihat kapasitas koleganya. Ia tidak segan untuk mempromosikan junior-juniornya demi membesarkan lembaga yang dipimpinnya yaitu UIN Jakarta. Jamhari pun mengenang bagaimana Azra mengakomodasi dirinya sepulang studi dari Australia.

“Kak Edi melarang saya untuk mengasong (mengajar di tempat lain) dan mendorong saya untuk menjadikan UIN sebagai gula yang akan didatangi semut-semut. Kamu bikin lembaga yang bagus, nanti saya tanda tangani,” kenang Wakil Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia ini.

Selamat jalan, Sir Azra.

 

Penulis: Tati Rohayati

Editor: M. Nida’ Fadlan