Dapatkan Segera Buku & Hasil Penelitian PPIM UIN Jakarta Download Sekarang

Haula Noor: Keluarga Ciptakan Agen Teroris di Indonesia

Share this post

Haula Noor: Keluarga Ciptakan Agen Teroris di Indonesia

Jakarta, PPIM – “Dalam beberapa kasus, selain sosial media, jaringan (network), dan pendidikan, keluarga menjadi faktor signifikan dalam pembentukan sikap dan gerakan teroris di Indonesia. Mereka, keluarga ‘jihadis’ atau ‘teroris’ menyiapkan kondisi yang siap untuk melakukan transmisi nilai dan perilaku loyal (fidelity) terhadap pemimpin, organisasi, dan ideologi radikal,” ucap Haula Noor, Ph.D di Gedung PPIM UIN Jakarta pada Jumat (30/9).

Pernyataan Dosen Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) tersebut disampaikan pada PPIM Seminar Seri ke-42 “Keluarga dan Peranannya dalam Pembentukan Terorisme di Indonesia”. Tema tersebut tersebut merupakan salah satu temuan riset disertasi Haula saat menempuh Ph.D nya di Department of Political and Social Change, Australian National University (ANU).

Haula meriset 31 keluarga teroris di Indonesia dengan 76 responden, dan menemukan tiga model keluarga yang berkontribusi besar pada terciptanya kondisi sikap dan paham radikal. “Ada banyak keluarga di Indonesia yang merupakan aktivis militan, mereka berada di organisasi ekstremisme kekerasan, kemudian anaknya mengikuti jejak orang tuanya, tapi ada juga keluarga yang tidak memiliki latar belakang teroris, namun anaknya teroris,” papar Haula.

Menurutnya, keluarga berperan penting dalam menciptakan kondisi radikalisasi tahap awal. “Jadi, anggota keluarga itu tidak semerta-merta langsung menjadikan seseorang teroris, tapi keluarga berperan dalam menciptakan kondisi untuk early radicalisation, radikalisasi tahap awal,” ungkapnya.

Proses keterpaparan radikalisme itu terjadi melalui transmitting to values, perilaku dalam bentuk ‘loyalty atau fidelity’ yakni kesetiaan yang sudah siap di dalam diri individu. Hal ini menjadi pengaruh yang kuat apakah seseorang menjadi ataukah tidak menjadi jihadis. Haula menyimpulkan bahwa situasi ini sangat tergantung pada kondisi yang diciptakan dan loyalitas seperti apa yang akhirnya diciptakan oleh keluarga.

“Namun loyalitas tidak akan tercipta jika tidak ada ‘well-functioning’, keluarga yang berfungsi. Keluarga yang mengerti akan peran-peran di dalam sebuah keluarga, kedua orang tua itu aware dengan organisasi yang dimiliki, ideologi mereka, apa yang harus dilakukan dengan ideologi-ideologi tersebut. Sedangkan bagi keluarga yang tidak berfungsi (disfunctioning), ini akan menciptakan kondisi individu yang rentan terhadap nilai-nilai tertentu, termasuk nilai ekstremisme kekerasan dari luar,” papar Haula

Atas kerentanan tersebut, Haula mengajak seluruh masyarakat bekerja sama dengan pemerintah, khususnya Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), dalam program deradikalisasi.

“PR besar kita sekarang adalah masih banyak anak-anak teroris yang tinggal di camp-camp Syria, anak-anak hasil perkawinan campuran (children of international collaboration from marriage-links) yang sekolah dan pembelajarannya masih dikelola oleh ummahat yang berafiliasi dengan gerakan radikal, dan tentu kondisi ini akan memunculkan skenario-skenario terorisme baru yang akan tetap terjadi,” pungkas Haula.

Adapun informasi lengkap seminar bisa diakses di link berikut: https://www.youtube.com/watch?v=X–Dbqj2Sr4

 

Penulis: Tati Rohayati
Editor: M. Nida’ Fadlan