Dapatkan Segera Buku & Hasil Penelitian PPIM UIN Jakarta Download Sekarang

Raih Profesor, Hamid Nasuhi Soroti Tasawuf Versus Syariat

Share this post

Raih Profesor, Hamid Nasuhi Soroti Tasawuf Versus Syariat

Jakarta, PPIM – Hamid Nasuhi, Direktur Advokasi & Knowledge Management PPIM UIN Jakarta dikukuhkan sebagai profesor dalam bidang tasawuf Fakultas Ushuluddin oleh Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Asep Saepudin Jahar di Gedung Auditorium Harun Nasution, Selasa (21/3). Sebelum dilantik Hamid Nasuhi menyampaikan orasi ilmiahnya yang berjudul “Usaha Mendekatkan Syariat dan Tasawuf di Jawa Abad Ke-18: Pelajaran dari Serat Cabolek dan Serat Dewaruci Karya Yasadipura I”

Di awal orasinya, pria kelahiran Demak, Jawa Tengah, ini menyampaikan rasa syukur atas pencapaian gelar akademik tertingginya seraya mengatakan bahwa pencapaian ini tidak pernah terbayangkan sebelumnya

“Sungguh merupakan anugerah bagi saya pribadi, dan juga keluarga besar kami, dapat mencapai jabatan fungsional tertinggi sebagai guru besar” ungkap Hamid penuh bahagia

Hamid menyoroti perdebatan antara syariat dan tasawuf yang terjadi di Jawa abad ke-18 melalui Serat Cabolek dan Serat Dewaruci karya pujangga Keraton Surakarta R. Ng. Yasadipura I. Menurutnya, tasawuf di Jawa pada masa silam kerap kali bersitegang dengan hukum syariah. Keduanya seringkali berkontestasi, karena ajaran tasawuf banyak disalahpahami, dan dianggap membawa ajaran penuh misteri, yang berujung pada sikap asosial.

“Terkait tasawuf, ada kontestasi dan ketegangan (tension) antara kubu para sufi dan kubu para ulama yang berpegang teguh kepada supremasi syariat (fiqh), hal ini terjadi tidak hanya di Timur Tengah, tapi juga di wilayah-wilayah Muslim lain termasuk Nusantara” papar Hamid.

Lebih jauh Hamid menjelaskan bahwa benturan keras antara tasawuf dan syariah terlihat pada beberapa kasus seperti, Al-Hallaj atau Syekh Siti Jenar yang dihukum mati pada masa Sultan Demak, Ki Panggung dihukum bakar oleh Sultan Demak, Ki Bebeluk yang ditenggelamkan di sungai pada masa Pajang, serta Syekh Among Raja dihukum mati oleh raja Maratam. Namun uniknya, menurut Hamid kasus Haji Ahmad Mutamakin, seorang kiai kontroversial yang dituduh mengajarkan ilmu hakikat (ilmu kasunyatan) kepada orang-orang awam yang kemudian menimbulkan kehebohan di tengah masyarakat pesisir utara Jawa, mendapat perlakukan istimewa dari Raja Pakubuwana II

“Kasus unik tergambar dalam Serat Cabolek. Haji Ahmad Mutamakin sebagai kubu tasawuf mendapat pengampunan dari Raja Pakubuwana II, namun pengampunan tersebut tidak serta merta menghilangkan ketegangan dan kekisruhan antara kedua kubu. Ketegangan tetap terjadi selama negara tidak mampu mengatasinya” papar Hamid

Sementara Ketib Anom Kudus sebagai kubu syariah, melakukan protes atas ajaran sesat yang dibawa Haji Ahmad Mutamakin karena dianggap membahayakan Islam secara umum. Para ulama juga meminta kepada Raja Amangkurat IV untuk mengadilinya. Perdebatan kedua kubu terus berlangsung lama, hingga akhirnya terbit keputusan raja yang berisi keduanya mendapat pengampunan dari Raja dan kasus dinyatakan selesai, dan bubar dengan ditandai dengan Raja salat Jumat bersama para ulama di masjid

Di sesi akhir orasinya, Hamid menemukan bahwa kontestasi antara syariat dan tasawuf akan melebur selama Raja atau pemimpin hadir memberikan solusi.

“Mengambil pelajaran dari Serat Cabolek, bahwa penting kehadiran negara dalam menyelesaikan konflik yang terjadi di masyarakat, karena fungsi terpenting dari negara adalah menjaga keamanan dan memelihara ketertiban sosial, sebagaimana tergambar dari kasus dua kubu, yang kemudian tercipta rekonsiliasi sempurna” tutup Hamid di akhir orasinya.

Selain Hamid Nasuhi, pengukuhan Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta hari ini, Rektor UIN Syarif Hidayatulah Jakarta, Asep Saepudin Jahar juga mengukuhkan Bambang Irawan, sebagai Guru Besar Bidang Ilmu Tasawuf Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

 

Penulis: Tati Rohayati