Ada fakta menarik dari kasus pemboman di tiga gereja—Gereja Katolik Santa Maria Tak Bercela, GKI Diponegoro, dan Gereja Pantekosta Pusat— di Surabaya pada 2018 lalu: keluarga yang melakukan pemboman tersebut, terdiri dari Dita Oepriarto selaku suami beserta istrinya Puji Kuswati, tidak mengirimkan anak-anaknya ke sekolah formal. Dapat dikatakan anak-anak para pelaku pemboman yang berafiliasi dengan Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) dan Jamaah Ansharut Daulah (JAD) itu melakukan homeschooling (Sekolahrumah) dalam pengertian yang paling umum.
Kasus yang sama juga bisa ditemukan pada keluarga Anton Febryanto, pelaku bom bunuh diri di Rusunawa Wonocolo, Surabaya, yang berafiliasi dengan ISIS, yang juga berteman dengan keluarga Dita Oepriarto. Anton juga tidak mengirimkan anak-anaknya, yang berjumlah 4 orang ke sekolah formal. Kasus terorisme dengan pelaku yang tidak mengirimkan anak-anaknya ke sekolah formal dan bahkan melibatkannya dalam terorisme menjadi catatan penting. Kasus Surabaya tersebut memberikan kesadaran sekaligus mengungkapkan fakta bahwa homeschooling sebagai layanan pendidikan alternatif yang sedang tumbuh di Indonesia, memiliki potensi kerentanan terhadap paparan pandangan keagamaan radikal.
Untuk merespons fakta tersebut, pada 2020, Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta, melalui program Countering Violent Extremism for Youth (CONVEY), melakukan riset terkait homeschooling. Sejumlah pertanyaan yang ingin dijawab riset ini meliputi: Bagaimana motivasi pelaku homeschooling di Indonesia? Apa definisi dan tipologi homeschooling di Indonesia? Bagaimana homeschooling memiliki ketahanan dan kerentanan terhadap paparan intoleransi, radikalisme, dan ekstremisme dilihat dari kurikulum, aktor, bacaan, media, network, dan lainnya? Bagaimana regulasi dan implementasi kebijakan tentang homeschooling di Indonesia?
Istilah homeschooling sendiri dalam riset PPIM UIN Jakarta ini merujuk pengertian dari Permendikbud Nomor 192 Tahun 2014 tentang Sekolahrumah yaitu: “proses layanan pendidikan secara sadar dan terencana dilakukan oleh orang tua/keluarga di rumah atau tempat-tempat lain dalam bentuk tunggal, majemuk, dan komunitas di mana proses pembelajaran dapat berlangsung dalam suasana yang kondusif dengan tujuan agar setiap potensi peserta didik yang unik dapat berkembang secara maksimal”.
Ada sejumlah alasan mengapa riset ini penting dilakukan. Pertama, pendidikan apa pun model dan bentuknya merupakan lahan strategis dalam proses transmisi nilai-nilai termasuk nilai keagamaan. Kedua, homeschooling yang memiliki fleksibilitas dalam pembelajaran, menjadikannya memiliki ketahanan dan kerentanan bagi berlangsungnya proses transmisi dan kultivasi nilai-nilai keagamaan radikal. Hal ini sejalan dengan temuan beberapa lembaga riset lain bahwa dunia pendidikan tidak bersih dari paham intoleran dan radikal (PPIM, 2017 dan 2018; Maarif Institute, 2018; PUSPIDEP, 2017; Wahid Institute, 2016).
Ketiga, homeschooling memiliki potensi untuk menciptakan “spiral pengucilan diri” (spiral of encapsulations) yang secara bertahap akan semakin menjauhkan anak-anak dari nilai-nilai umum (common values) lain yang membuka cakrawala berpikirnya (Porta, 1995). Karena itu, tidak menutup kemungkinan bahwa homeschooling bisa menjadi tanah subur bagi tumbuh dan berkembangnya paham intoleransi, radikalisme, dan ekstremisme.
Riset PPIM UIN Jakarta ini menyasar homeschooling di wilayah-wilayah yang memiliki akar historis gerakan islamisme, intoleransi, dan radikalisme, di antaranya Jakarta, Depok, Tangerang Selatan, Bandung, Solo, Surabaya, dan Padang. Dari tujuh wilayah yang menjadi sasaran riset, tim peneliti mewawancarai sejumlah homeschooling yang cukup variatif, baik homeschooling dengan tipe agama dan non-agama, maupun homeschooling jenis tunggal, majemuk, dan komunitas. Pembagian tersebut merujuk pengertian dari Permendikbud Nomor 129 Tahun 2017 tentang Sekolahrumah.
Tipologi Homeschooling
Jenis Homeschooling
Ada beberapa temuan dari riset homechooling ini. Pertama, dari 53 homeschooling di tujuh wilayah riset, dapat dikategorikan homeschooling berikut ini: 22 homeschooling non agama, 4 homeschooling Kristen, 17 homeschooling salafi inklusif, dan 10 homeschooling salafi eksklusif. Adapun homeschooling berbasis non agama diartikan sebagai homeschooling yang tidak menempatkan agama sebagai tujuan pembelajaran namun lebih kepada pengembangan minat, bakat, dan kebutuhan anak. Sedangkan untuk homeschooling berbasis agama yaitu homeschooling yang menempatkan agama baik Kristen maupun Islam, sebagai bagian paling utama dalam program pendidikan. Sementara homeschooling Islam memiliki dua model, yaitu salafi inklusif, dan salafi eksklusif.
Temuan kedua adalah terdapat permasalahan di dalam regulasi atau aturan pemerintah terkait homeschooling, di antaranya tidak ada aturan teknis dan petunjuk pelaksanaan sebagai implementasi regulasi Permendikbud Nomor 192 Tahun 2014. Kemudian tidak ada database homeschooling, dan tidak ada bagian pada Dinas Pendidikan Kota/Kabupaten yang bertugas khusus melakukan monitoring dan evaluasi terhadap penyelenggaraan pendidikan oleh homechooling komunitas, serta kurangnya penjaminan mutu pelakasanaan.
Temuan lain dari riset ini adalah fakta bahwa homeschooling juga memiliki daya tahan dan daya rentan. Daya tahannya adalah bahwa pada homeschooling “berbasis non-agama”, dan “berbasis Islam Salafi-Inklusif”, baik homeschooling majemuk maupun homeschooling komunitas, terdapat ketahanan diri dari “spiral pengucilan diri” (spiral of encapsulations) karena memiliki saluran bagi siswa untuk bersosialisasi dengan komunitasnya. Sebagian malah mendorong siswanya memiliki keterlibatan dengan kegiatan-kegiatan sosial yang dilakukan komunitasnya. Akan tetapi, untuk HS Tunggal, aspek sosialisasi ini tidak memiliki saluran, sehingga rentan terhadap “spiral pengucilan diri”.
Sedangkan daya rentan dari homeschooling adalah pada homeschooling “berbasis Islam Salafi-Eksklusif”, di mana kerentanan bagi siswa untuk mengalami “spiral pengucilan diri” lebih besar karena saluran untuk memiliki keterlibatan dengan komunitas sangat rendah. Lebih rendah lagi pada homeschooling tunggal “Islamic-based salafi-eksklusif”, yang juga tidak memperkenalkan keragaman pada siswanya. Dalam konteks perkembangan seperti ini, homeschooling tersebut memiliki tingkat kerentanan lebih besar terhadap ideologi-keagamaan yang bercorak radikal.
Berdasarkan temuan-temuan itu, PPIM UIN Jakarta memberikan sejumlah catatan bagi perbaikan homeschooling ke depan: (1) Perlu adanya Petunjuk Teknis dan Petunjuk Pelaksanaan sebagai turunan dari Permendikbud 129/2014; (2) Perbaikan mekanisme pendaftaran HS tunggal dan majemuk dengan menggunakan one-single online submission oleh Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota sehingga pihak pemerintah memiliki database; (3) Monitoring dan evaluasi dari Dinas Pendidikan Kota/Kabupaten terhadap penyelenggaraan pendidikan oleh homeschooling Komunitas (termasuk perijinan, kurikulum, pendidik, sarana prasarana, dan lingkungan); (3)Perlunya penjaminan mutu pelaksanaan; (4) Mewajibkan siswa-siswa homeschooling bersosialisasi, bergaul serta berinteraksi dengan kelompok dari pelbagai latar belakang untuk menyemaikan nilai toleransi dan kebangsaan.
Silakan akses laporan risetnya di sini.
(26/10/23)
Penulis: Tati Rohayati, M.Hum
Editor: Testriono, M.A., Ph.D.