Dapatkan Segera Buku & Hasil Penelitian PPIM UIN Jakarta Download Sekarang

Mocoan Lontar Yusup Milenial, Pewarisan dan Ruang Dialog Antargenerasi


Upaya preservasi dan revitalisasi warisan budaya di Indonesia dibentuk atas imaji romantisme masa lalu dan juga praktik eksotisasi semata. Sebab itu, warisan budaya kerap dicerabut dari lokus budayanya. Mereka dianggap kuno, ajek, dan lekang oleh dinamika masa. Ini menjadikan masyarakat Indonesia sering gagap dalam memahami warisan leluhur mereka.

Demikian juga dengan naskah kuno, sebagai bagian dari warisan budaya. Naskah kuno, baik yang tersebar dalam masyarakat maupun yang disimpan dalam skriptorium, melulu dibaca hanya sebagai leluri yang perlu diwariskan. Akan tetapi, pemahaman atas keterbacaan isi naskah kuno hampir nihil.

Namun, tidak begitu dengan naskah kuno yang hidup di tengah masyarakat Osing atau Using. Hingga kini, naskah kuno yang tumbuh di Banyuwangi ini masih dipraktikkan sebagai living manuscript. Senin, 11 Desember 2023 lalu, dalam seminar bertajuk “Manuskrip dan Realitas Budaya Nusantara” yang digelar oleh Dreamsea (Digital Repository of Endangered and Affected Manuscripts in Southeast Asia) bekerja sama dengan Laboratorium Filologi di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, gagasan living manuscript didedah oleh Tommy Christomy.

Living manuscript mengupayakan pendekatan yang lebih holistik terhadap manuskrip. Yaitu, dengan membaca relasi resiprokal manuskrip dengan masyarakat pendukungnya. Aspek historisitas, kontekstualisasi, dan performatif manuskrip menjadi penting bagi living manuscript, yang juga diakrabi sebagai etnofilologi. Lebih lanjut lagi, Tommy dalam Signs of the Wali: Narratives at the Sacred Sites in Pamijahan, West Java (2008) mencatat bahwa etnofilologi menekankan pendekatan pascakolonialisme guna membuka kerangka baru dalam kajian filologi. Etnofilologi membagi pemahaman yang lebih baik menyoal artefak, narasi yang ditransmisikan, dan fungsinya dalam pandangan pemilik naskah kuno. Artinya, naskah kuno dibacakan lebih luas untuk khalayak dan menjadi praktik keseharian sebagai ritual.

Masyarakat Osing di Banyuwangi memiliki tradisi melantunkan Lontar Yusup, salah satu naskah kuno yang mereka miliki. Tradisi ini disebut dengan mocoan. Sampai saat ini, mocoan masih sintas dan diwariskan antargenerasi. Lontar Yusup berbentuk puisi naratif dengan beraksarakan pegon. Secara singkat, Lontar Yusup berkisah tentang perjalanan hidup Nabi Yusuf as hingga mendiami Banyuwangi.

Mocoan ditembangkan dalam kegiatan rutin atau dalam ritual yang bersifat sakral. Dalam kegiatan rutin, mocoan dilantunkan secara berkala tiap dua minggu. Beranjangsana dari satu rumah ke rumah para anggota komunitas mocoan secara bergiliran. Lontar Yusup tidak dibaca secara jangkap dalam kegiatan ini. Adapun sebagai ritual, naskah Lontar Yusup lengkap dibacakan hingga khatam sepanjang malam. Ditembangkan pada bersih desa dan ritual daur hidup manusia, seperti kelahiran, khitanan, dan pernikahan. Selain itu, mocoan juga difungsikan sebagai media transenden yang menghubungkan mereka dengan Tuhan guna meminta keberkatan hidup. Masyarakat Osing meyakini, dengan menjalankan mocoan, harapan dan keinginan mereka bisa dikabulkan.

Kepemilikan dan Penyalinan Lontar Yusup

Lontar Yusup dimiliki dan dikoleksi oleh perseorangan. Serta, diwariskan dalam galur keluarga. Keluarga Adi Purwadi, 63, yang akrab disapa dengan Kang Pur, adalah salah satu pemilik Lontar Yusup. Kang Pur sendiri merupakan penembang mocoan. Kakek Kang Pur, Mbah Sumarto, merupakan guru mocoan. Jadi, tidak mengherankan jika ia menjadi salah satu pegiat mocoan di Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, mukim para leluhur masyarakat Osing.

Lontar Yusup milik Kang Pur adalah naskah keempat dalam genealogi keluarganya. Tersurat dalam kolofon naskah, Lontar Yusup ini disalin oleh Carik Janah, yang tinggal di Cungking, dengan tarikh Jawa 1829. Kang Pur mendapatkan naskah kuno ini dari sang bapak, Pak Rejan.

Saat ini, Lontar Yusup Kang Pur menjadi Lontar Yusup tertua di Banyuwangi. Naskah kuno ini disimpan di rumah Kang Pur yang dibangun sekitar tahun 1980-an. Lontar Yusup miliknya disimpan dalam kantong kain kafan dan diletakkan pada lemari teratas.

Kang Pur tidak melakukan perawatan khusus terhadap naskah ini. Dia paham betul bahwa naskah yang ia miliki merupakan warisan leluhur yang berharga. Kang Pur menuturkan, Lontar Yusup-nya menjadi awet berkat kerap ditembangkan. Lontar Yusup milik Kang Pur kerap digunakan dalam mocoan, baik saat latihan maupun waktu digelar ritual. Meskipun demikian, Lontar Yusup Kang Pur kerap dipinjam untuk diteliti ataupun dijadikan baboban, dijadikan sebagai naskah sumber untuk disalin kembali. Mengingat, Lontar Yusup masih terus disalin oleh Senari, yang juga mukim di Desa Kemiren. Ia menjadi penyalin Lontar Yusup satu-satunya di Banyuwangi. Ini karena hanya Senari yang bisa menulis pegon berbahasa Jawa-Osing. Senari sendiri bukan penembang. Ia juga tidak bergabung dalam komunitas mocoan. Senari melakukan penyalinan manakala ada permintaan saja.

Pewarisan Tembang Mocoan

Kang Pur adalah satu dari segelintir orang tersisa yang masih bisa menembangkan mocoan. Di antara para sesepuh, Kang Pur memiliki kemampuan pedagogis untuk mengajarkan tembang mocoan kepada generasi muda. Untuk itu, Wiwin Indiarti, 45, dosen Universitas PGRI Banyuwangi, berkolaborasi dengan Kang Pur menggembleng pemuda adat Osing untuk belajar mocoan lontar Yusup.

Menjadi penembang tidak dipelajari secara formal. Namun, diwariskan secara turun-temurun dalam lingkup keluarga. Awalnya, penembang di Kemiren, misalnya keluarga Kang Pur, diwariskan hanya kepada galur keluarga. Namun, pada kurun waktu 1980-an, penembang dibuka bagi siapa pun. Saat itu, bapak Kang Pur membentuk kelompok mocoan Reboan dan Kamisan. Aktivitas yang terjaga secara rutin ini menjadikan masyarakat terjaga dalam aktivitas rutin ini. Kala itu, mocoan masih dilakukan dengan cara menghafal tembang.

Penyematan nama Reboan dan Kamisan tidak didasarkan pada pertimbangan hari baik atau keberkatan tertentu. Akan tetapi, waktu Selasa dan Rabu malam ini menjadi waktu paling lenggang bagi mereka. Di sisi lain, mocoan Reboan banyak diikuti oleh para sesepuh dengan usia di atas 50 tahun, sedangkan mocoan Kamisan lebih kurang berusia 40 tahun.

Preservasi dan Revitalisasi Tradisi Mocoan di Banyuwangi

Tahun 2017 menjadi penanda bagi usaha pelestarian tradisi mocoan lontar Yusup. Mbak Wiwin bersama Barisan Pemuda Adat Nusantara Osing mulai merintis sekolah adat di Banyuwangi. Program ini merupakan bagian dari usaha preservasi dan revitalisasi adat dan tradisi Osing di Banyuwangi.

Usaha ini dimulai oleh Mbak Wiwin dengan cara menyusun dan mengodifikasi naskah-naskah kuno di Banyuwangi. Mulailah, ia berkenalan dengan Lontar Yusup. Lantas, Mbak Wiwin mulai mentransliterasikan dan menerjemahkan naskah kuno ini. Kemudian, Mbak Wiwin menggunakan hasil kerja kolektif ini sebagai buku ajar. Di sisi lain, Mbak Wiwin juga merumuskan pendidikan dasar bagi pemuda untuk belajar tembang mocoan.

Akhirnya, mocoan menemukan gaungnya pada tahun 2018 dengan dibentuknya Mocoan Lontar Yusup Milenial. Pelatihan tembang dasar mocoan bagi anak-anak muda adat Osing dilakukan. Bagi Mbak Wiwin, Mocoan Lontar Yusup Milenial lahir dari kegelisahannya atas ketercerabutan pemuda adat Osing dari tradisi mocoan. Mengingat bahwa mocoan hanya ditembangkan oleh sesepuh adat Osing. Kehadiran Mocoan Lontar Yusup Milenial sekaligus dijadikan sebagai upaya preservasi naskah kuno beserta tradisi yang menyertainya.

Sebagai bagian dari masyarakat adat Osing, Mbak Wiwin lantas menjalin komunikasi dengan Kang Pur untuk membuka kelas pengajaran tembang mocoan. Kala itu, lebih kurang 30 pemuda adat Osing mengikuti pelatihan menembang Lontar Yusup. Pengajaran berlangsung secara semiformal. Alih-alih membaca Lontar Yusup, Kang Pur mempraktikkan penembangan mocoan secara langsung. Perlahan, mereka diminta untuk mengikuti alunan nada yang dicontohkan oleh Kang Pur. Latihan ini dilakukan secara bertahap. Mulai dari penguasaan nada empat tembang dasar, tembang variasi, hingga penguasaan pembacaan pegon.

Secara semiotik, penggunaan ‘milenial’ dalam Mocoan Lontar Yusup Milenial mengarah kepada anak-anak muda usia milenial. Kelompok usia ini  menjadi target karena tidak hanya identik dengan usia produktif, tetapi juga paham atas literasi teknologi dengan membuat laman YouTube, @mocoanlontaryusupmilenial5781, dan Instagram, @mlymilenial. Dua laman ini banyak menginformasikan kegiatan latihan yang dilakukan oleh Mocoan Lontar Yusup Milenial.

Sampai tahun 2019–2020, Mocoan Lontar Yusup Milenial masih aktif melakukan rekrutmen anggota sekaligus melaksanakan latihan rutin. Kemudian, tahun 2021 hingga saat ini, latihan penembangan mocoan telah dinaungi dalam Pesinauan Sekolah Adat Osing, @pesinauan.osing. Satu ruang kolektif untuk belajar seni tradisi Banyuwangi di Sawah Art Space. Di sini, dihimpun pembelajaran adat Osing yang lebih beragam. Sebab itu, anak-anak muda adat Osing dapat memilih seni dan tradisi yang ingin mereka pelajari. Sekaligus, menjadi ruang dialog antargenerasi untuk membincangkan adat dan tradisi masyarakat adat Osing.

Komunitas Tradisi Berbasis Pemuda

Kehadiran komunitas penembangan naskah berbasis anak muda memberi warna baru dalam tradisi mocoan di Desa Kemiren. Mocoan anak muda membuka peluang bagi adanya ruang dialog antargenerasi dalam kalangan masyarakat adat Osing. Terutama, saat pagelaran ritual mocoan. Keberadaan Mocoan Lontar Yusup Milenial jelas menjadi isyarat dan membuktikan bahwa upaya pelestarian tradisi melalui intervensi generasi milenial menitikberatkan pada aspek pemahaman dan kesadaran atas budaya mereka sendiri. Yakni, pengetahuan terhadap tradisi mocoan lontar Yusup yang merupakan tradisi dan identitas masyarakat Osing di Banyuwangi.

Bagi masyarakat Osing, mocoan lontar Yusup diupayakan untuk dirawat dan dilestarikan. Mocoan tidak hanya sekadar merepresentasikan keberaksaraan dan keberlisanan dalam keseharian masyarakat Osing, tetapi juga menjadi living manuscript yang terus dihidupi. Sebab, mocoan terus ditembangkan pada ritual tertentu.

Komunitas berbasis anak muda menjadi ruang dialog lintas generasi yang mampu meretas kebekuan. Kemudian, mampu membangkitkan kesadaran masyarakat adat Osing terhadap tradisi yang mereka miliki. Saat ini, eksistensi mocoan bisa saja terputus. Namun, kesadaran yang bertumbuh di kalangan masyarakat Osing ini membuat mocoan tetap hidup dengan dayanya. Mengingat, mereka tidak pasif terhadap tradisinya.

Dalam realitas keseharian masyarakat adat Osing, Lontar Yusup tetap hidup. Naskah kuno ini melekat dengan aktivitas masyarakatnya. Begitu juga dengan mocoan. Mereka menjadi bagian hidup masyarakat Osing. Mengisi ruang-ruang kecil dan sunyi dengan menempati tradisi yang dihidupi oleh masyarakat pendukungnya. Mereka terus mengada bagi masyarakat Osing di Banyuwangi hingga kini.