KHITAH pendidikan tidak terlepas dari upaya untuk menghargai kebebasan individu untuk berkembang. Seperti yang diusulkan filsuf Jean-Jacques Rousseau, eksosistem pendidikan harus didesain pemerintah untuk mengakomodasi prinsip itu.
Kurikulum Merdeka yang disiapkan sejak 2020 dan baru diresmikan menjadi kurikulum nasional sejak 27 Maret lalu sejatinya berupaya mengakomodasi apa yang diusulkan Rousseau itu. Terdapat tiga tahun masa transisi ke depan untuk kurikulum yang mengacu pada Permendikbud-Ristek Nomor 12 Tahun 2024 tentang Kurikulum pada Pendidikan Anak Usia Dini, Jenjang Pendidikan Dasar, dan Jenjang Pendidikan Menengah itu. Namun, masyarakat perlu memantau secara reguler upaya transisinya karena sering terjadi ambivalensi antara teori dan lapangan.
Sebagai basis filosofis, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim telah memberikan arahan jelas bahwa Kurikulum Merdeka pro kepada guru, siswa, dan kreativitas. Dari segi orientasi, upaya Kemendikbud-Ristek patut mendapat dukungan. Salah satu elemen penting dalam Kurikulum Merdeka itu ialah upaya untuk meningkatkan kreativitas siswa sehingga pembelajaran tidak satu arah. Pembelajaran ditujukan untuk mencetak sumber daya manusia yang kreatif, fleksibel, dinamis, dan berkualitas.
Islah pendidikan
Sebagai negara berkembang, Indonesia sebenarnya cukup sukses dalam upaya meningkatkan partisipasi sekolah dan kemampuan melek huruf dasar. Pada 1960, angka melek huruf dasar anak Indonesia berada pada angka sekitar 42%, kemudian menjadi 90% pada 2000, dan meningkat menjadi 96% pada 2020. Di banyak negara berkembang, seperti negara-negara di Asia Selatan atau Afrika, angka partisipasi sekolah dasar memang meningkat, tetapi angka melek huruf mengalami stagnansi.
Namun, kita harus mengakui bahwa sistem pendidikan di Indonesia masih lemah. Hasil PISA Indonesia dari 2000 hingga 2018 menunjukkan profil pembelajaran yang datar dalam literasi membaca, matematika, dan sains. Hanya 40% anak Indonesia usia 15 tahun yang memenuhi standar literasi minimum PISA.
Mengapa sistem pendidikan Indonesia gagal meningkatkan pembelajaran siswa? Jawabannya bukan karena kurangnya usaha. Selama dua dekade terakhir, pemerintah telah melakukan sejumlah reformasi besar yang memakan biaya besar, seperti amanat konstitusi untuk mengalokasikan minimal 20% APBN untuk pendidikan, memperluas akses ke sekolah menengah pertama, meningkatkan subsidi sekolah, dan sertifikasi guru.
Banyak penjelasan yang ditawarkan untuk menggambarkan realitas pendidikan itu. Salah satu yang patut diketengahkan ialah berbagai reformasi pendidikan yang telah dilakukan itu baru menyentuh proksimal belajar siswa. Sementara itu, unsur-unsur penting lainnya dalam pendidikan belum tersentuh maksimal.
Sebagai ilustrasi, salah satu reformasi pendidikan termahal di Indonesia dalam dua terakhir ini ialah program sertifikasi guru. Program itu diperuntukkan memotivasi guru agar meningkatkan kompetensi mereka dengan memberikan kenaikan gaji yang signifikan.
Guru yang telah menerima tunjangan wajib menggunakan sebagian uang mereka untuk mengikuti pengembangan keprofesian lebih lanjut.
Hal itu dapat mengembangkan kompetensi guru secara berkesinambungan, dan pada akhirnya meningkatkan kualitas belajar-mengajar. Sayangnya, asumsi tersebut terbukti salah, tambahan tunjangan guru tidak memberikan pengaruh apa-apa terhadap pembelajaran siswa.
Program itu lebih mengarahkan ke sumber daya keuangan, tidak mengubah elemen lain dalam sistem. Kurikulum yang diamanatkan pemerintah masih mendorong pembelajaran satu arah untuk menyelesaikan silabus. Kurikulum Merdeka yang baru diresmikan sebagai kurikulum nasional diharapkan menjadi islah bagi reformasi pendidikan sebelumnya dan mampu menembus target nasional pendidikan yang tidak hanya menyentuh proksimal belajar siswa, tetapi juga aspek kreativitas pembelajar.
Adaptasi dengan era demokrasi
Untuk meningkatkan pembelajaran siswa, reformasi pendidikan perlu mengatasi akar rendahnya kinerja yang lebih dalam dan sistemis dari sejarah. Layaknya negara-negara pascakolonial, pendidikan diarahkan untuk pembangunan bangsa.
Hal itu berbeda pada awal abad ke-20, ketika perluasan pendidikan dipandang negatif sebagai pendidikan berlebih (over-education) karena dapat menciptakan masyarakat anomi yang menimbulkan kekacauan dan potensi pengangguran. Sejak pertengahan abad ke-20, pendidikan dilihat sebagai modal utama yang bersifat universal dan menguntungkan, baik sebagai individu maupun masyarakat.
Model masyarakat statis tertutup yang tercipta dari orientasi pendidikan pada masa itu memicu dua perang dunia yang menghancurkan, depresi besar, dan praktik genosida. Elite nasional berpendidikan tinggi yang terbatas pada akhirnya dikalahkan sebagian masyarakat liberal dan terbuka. Kepentingan pembangunan nasional dalam Kurikulum Merdeka sebenarnya menguatkan orientasi historis itu.
Dalam sejarah pendidikan Indonesia, pada masa revolusi hingga 1960-an, pendidikan ditujukan untuk menyebarluaskan bahasa Indonesia dan mengembangkan rasa identitas nasional di antara kelompok budaya yang beragam. Setelah itu, pada masa ‘Orde Baru’ yang berlangsung selama 32 tahun, semangat pendidikan diarahkan ke indoktrinasi ideologi negara.
Karena itu, interpretasi resmi terhadap ideologi negara dalam pendidikan dapat ditelusuri melalui kurikulum dan kegiatan tambahan di luar jam sekolah. Program penataran atau lokakarya intensif dan perlombaan ‘cerdas cermat’ banyak didukung untuk menguji hafalan ideologi negara.
Pada masa itu, sekolah diharapkan dapat menumbuhkan nilai-nilai kekeluargaan yang mendukung nilai-nilai keharmonisan sosial dan kepatuhan. Nilai-nilai konformitas seperti ibuisme muncul pada ekosistem pendidikan yang dibentuk ‘Orde Baru’ itu. Diskursus mengenai isu-isu yang berkaitan dengan hubungan antaragama, antaretnik, atau yang berkaitan dengan SARA dilarang keras.
Dengan orientasi semacam itu, pendidikan memenuhi kebutuhan ekonomi, seperti kebutuhan tenaga profesional serta manajer, baik di kalangan pemerintah maupun sektor swasta. Hal itu dipenuhi dengan mekanisme penyortiran yang mengidentifikasi siswa paling berbakat dan memberikan mereka akses ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi.
Sejak tumbangnya Orde Baru, Indonesia mengalami era demokrasi dan desentralisasi. Karena itu, pendidikan perlu diarahkan ke penghargaan kebebasan siswa sebagai individu dengan kecenderungan alami mereka. Semua murid harus dipandang secara egaliter dalam hal perkembangan. Pendekatan holistis dalam menyediakan infrastruktur pendidikan yang inklusif dengan menekankan pada individu dalam mengambil tanggung jawab atas pengembangan diri mereka menjadi urgen.
Dengan Kurikulum Merdeka, para murid diharapkan mendapat pendidikan yang tidak lagi memproduksi murid yang hanya meniru apa yang dijelaskan guru, atau hanya menulis ulang dalam buku, tetapi juga dapat mengembangkan kreativitas mereka.
Mengharapkan transisi yang efektif
Di atas kertas, tujuan pendidikan Kurikulum Merdeka cukup mulia. Namun, seperti banyak terjadi pada banyak hal, dunia abstraksi tidak selalu ekuivalen dengan penerapannya di lapangan. Tentu, kita tidak mengharapkan Kurikulum Merdeka hanya menjadi legasi seorang mendikbud-ristek, tetapi juga diharapkan benar-benar berdampak pada lingkungan pendidikan Indonesia.
Ada beberapa catatan untuk dipantau terus-menerus agar Kurikulum Merdeka benar-benar berdampak. Di antaranya, persoalan ketimpangan guru-murid agar dapat mengikuti standar internasional, yaitu 20 murid per guru. Kemudian, salah satu kompenen utama Kurikulum Merdeka ialah kepemimpinan sekolah. Jika meninjau landasan akademik Kurikulum Merdeka, para arsiteknya meyakini bahwa kepemimpinan sekolah merupakan faktor terpenting dalam transformasi sekolah. Reformasi seleksi dan pelatihan calon kepala sekolah melalui program guru penggerak perlu terus ditinjau.
Sebelum kurikulum ini, kriteria utama menjadi kepala sekolah ialah senioritas. Usia, pengalaman, dan pangkat sangat berpengaruh dalam pemilihan calon dan pengangkatan mereka sebagai kepala sekolah. Dengan kebijakan guru penggerak, pemilihan calon kepala sekolah terutama didasarkan pada minat guru terhadap pembelajaran siswa dan potensi mereka untuk menjadi agen perubahan. Kurikulum guru penggerak berfokus pada kepemimpinan instruksional.
Tujuannya menumbuhkan komitmen belajar siswa dan pola pikir yang memandang segala hambatan dalam peningkatan pembelajaran sebagai masalah yang harus dipecahkan. Kurikulum pelatihan juga berupaya mengembangkan kecerdikan guru dalam memecahkan masalah pembelajaran.
Hal itu penting karena ketika para guru menjadi kepala sekolah, mereka memanfaatkan sumber daya yang tersedia jika dibandingkan dengan bergantung pada arahan atau program pemerintah untuk menyediakan sumber daya tersebut. Target itu tentu akan menghadapi tantangan dari warisan legalistik dari budaya sebelumnya yang cukup intensif.
Terdapat masa transisi hingga maksimal tiga tahun ke depan untuk menerapkan Kurikulum Merdeka itu. Sekitar 20% sekolah belum menerapkan Kurikulum Merdeka. Hingga saat ini terdapat sekitar 300 ribu sekolah atau sekitar 80%, termasuk 6.000 sekolah di daerah tertinggal, yang sudah mulai menerapkan Kurikulum Merdeka.
Dalam hal ini, ada optimisme yang muncul dari Kurikulum Merdeka. Hal yang cukup membedakan juga dengan kurikulum sebelumnya, penerapan Kurikulum Merdeka dilakukan tidak terburu-buru, tetapi dengan tahapan yang agaknya terukur.
Hanya saja, Kemendikbud-Ristek perlu lebih serius untuk menghilangkan hambatan-hambatan klasik administrasi, serta kesenjangan komunikasi antarlembaga. Kesiapan sekolah dan sumber daya dalam memahami Kurikulum Merdeka perlu selalu diperhatikan. Jangan sampai persoalan-persoalan klasik menjadi anomali kemajuan reformasi pendidikan itu.