Jakarta – Bulan Ramadan sebentar lagi akan berakhir. Namun, di sepanjang bulan suci ini, kita masih sering melihat berbagai macam makanan jajanan yang dijual untuk berbuka puasa, yang sering disebut takjil, atau kadang-kadang ditulis ta’jil. Fenomena yang dikenal sebagai “war takjil” juga mulai ramai diberitakan di media sosial, di mana orang berlomba-lomba untuk mendapatkan takjil, takut kehabisan. Takjil yang populer biasanya mencakup kolak, gorengan, es buah, dan lain sebagainya.
Namun, tahukah Anda bahwa kata “takjil” sebenarnya berasal dari bahasa Arab “ta’jilun”, yang artinya adalah menyegerakan? Orang-orang yang akrab dengan khazanah dan gramatika bahasa Arab yang diajarkan di banyak pesantren di Jawa biasanya menghubungkan asal kata takjil ini dengan akar kata ‘ajjala-yu’ajjilu-ta’jilan. Hal ini sejalan dengan hadis riwayat Bukhari dan Muslim yang mengatakan bahwa berbuka puasa sesegera mungkin adalah perbuatan yang baik.
Jadi, sebenarnya takjil lebih dari sekadar makanan atau hidangan berbuka puasa. Ia adalah sebuah kondisi penyegeraan yang merujuk pada upaya menyegerakan berbuka puasa. Dengan kata lain, takjil adalah sikap dan usaha untuk mempercepat waktu berbuka, bukan hanya sekadar tentang makanan. Secara antropologis, penggunaan bahasa Arab dalam konteks ini mencerminkan peran bahasa sebagai pembentuk identitas kultural dalam masyarakat dalam menjalankan praktik keagamaan. Bahasa Arab tidak hanya menjadi alat komunikasi, tetapi juga menjadi simbol identitas agama dan budaya.
Dalam tradisi Islam, kewajiban beribadah puasa di bulan Ramadan berasal dari perintah Tuhan dalam kitab suci al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 183: “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” Namun, meskipun semua umat Islam menjalankan puasa wajib di bulan Ramadan, cara pelaksanaannya bisa beragam tergantung pada konteks masyarakatnya.
Pertanyaannya: mengapa begitu banyak variasi dalam ekspresi budaya dan bahasa, meskipun berasal dari firman Tuhan yang sama? Sebagaimana dikatakan oleh Dick Hartoko, seorang budayawan dan rohaniawan terkemuka, bahwa kitab suci atau teks yang disucikan, sejauh ia ditafsirkan, maka ia merupakan bagian dari kebudayaan. Pandangan ini cukup membantu kita memahami kompleksitas agama, bahasa, dan budaya ini dengan lebih baik.
Dalam tradisi Islam, kewajiban beribadah puasa di bulan Ramadan berasal dari perintah Tuhan dalam kitab suci al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 183: “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” Namun, meskipun semua umat Islam menjalankan puasa wajib di bulan Ramadan, cara pelaksanaannya bisa beragam tergantung pada konteks masyarakatnya.
Pertanyaannya: mengapa begitu banyak variasi dalam ekspresi budaya dan bahasa, meskipun berasal dari firman Tuhan yang sama? Sebagaimana dikatakan oleh Dick Hartoko, seorang budayawan dan rohaniawan terkemuka, bahwa kitab suci atau teks yang disucikan, sejauh ia ditafsirkan, maka ia merupakan bagian dari kebudayaan. Pandangan ini cukup membantu kita memahami kompleksitas agama, bahasa, dan budaya ini dengan lebih baik.
Di Arab Saudi, misalnya, berpuasa di bulan Ramadan disebut shiyâmu Ramadan atau hanya shaum saja, sementara waktu berbuka puasa dikenal dengan istilah iftar. Di Amerika Serikat, ibadah puasa disebut fasting in Ramadan, dan saat berbuka puasa disebut iftar, atau breaking the fast. Di Indonesia, kita mengenal istilah puasa Ramadan dan saat berbuka puasa disebut buka puasa, atau populer disebut “bukber” jika dilakukan bersama-sama.
Di Jawa Barat, tradisi ngabuburit sangat populer, yakni beraktifitas santai sambil menunggu waktu berbuka puasa. Ada juga tradisi kultum, singkatan dari kuliah tujuh menit, yang merupakan ceramah keagamaan singkat yang dilakukan di antara salat Isya dan salat tarawih. Dan masih banyak lagi ekspresi kebudayaan lainnya yang menjadi bagian dari praktik keagamaan dalam masyarakat kita yang unik dan beragam.
Kembali lagi ke persoalan takjil di bulan puasa Ramadan. Secara sosiolinguistik, teks dan konteks yang khas Indonesia ini menunjukkan adanya interaksi yang kompleks antara bahasa (Arab) dan ajaran agama Islam yang dipraktikkan dalam berbagai konteks. Bahasa dan agama saling terkait dan memengaruhi satu sama lain dalam konteks keagamaan dan kebudayaan yang beragam.
*) Dadi Darmadi, Dosen Antropologi Agama, Fakultas Ushuluddin,
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Source: https://www.detik.com/hikmah/khazanah/d-7292542/takjil.