Dapatkan Segera Buku & Hasil Penelitian PPIM UIN Jakarta Download Sekarang

Prof. Nasaruddin Umar: Memperbaiki Lingkungan, Memperbaiki Teologi Masyarakat

Pemerintahan Prabowo Subianto bersama Prof. Nasaruddin Umar mendukung gerakan Islam Hijau untuk kebijakan lingkungan berkelanjutan.

Jakarta, 8 April 2024 -Kerusakan lingkungan adalah akibat dari ketidakharmonisan hubungan manusia dengan alam.  Kecenderungan manusia menjadikan alam sebagai objek merupakan salah satu penyebab hujan yang mestinya menumbuhkan justru meluluhlantakkan, angin yang menyejukan justru membinasakan, serta tanah yang menyuburkan menjadi menghancurkan. Alih-alih memperbaiki kerusakan di hilir, Imam Besar Masjid Istiqlal Prof. Nasaruddin Umar menyebut yang perlu dilakukan mendesak adalah memperbaiki hulunya, yakni memperbaiki manusianya.

“Ingat (kata) Max Weber. Tidak mungkin kita bisa merubah satu perilaku masyarakat tanpa merubah sistem etika masyarakat itu. Dan mustahil kita bisa merubah sistem etika tanpa merubah sistem teologi masyarakat. Jadi kalau tidak mulai dari teologi, tidak ada efek,” kata Guru Besar bidang Tafsir UIN Jakarta tersebut ditemui Senin 8 April 2024 di Masjid Istiqlal, Jakarta.

Bahwa alam semesta ini ditundukkan Allah untuk manusia tidak berarti berhak diperlakukan semena-mena oleh manusia. Sebaliknya, manusia harus menghormati bahkan mensucikan alam. Alam semesta, menurut Prof. Nasaruddin Umar, adalah perwujudan Tuhan Yang Maha Suci.

Baca Juga: PPIM UIN Jakarta Bertemu dengan Prof. Dr. Haedar Nashir untuk Bahas Peran Muhammadiyah dalam Pelestarian Lingkungan

“Alam semesta ini dari Allah. Kalau Allah itu Maha Sakral, seharusnya bumi ini juga sakral. Kalau Allah itu Maha Suci, seharusnya lingkungan ini juga suci. Karena hakikatnya ini adalah perwujudan Allah, manifestasinya Allah,” kata Nasaruddin Umar.

Masyarakat modern sepatutnya mencontoh perlakuan masyarakat tradisional pada alam.  Alam dijadikannya sahabat, bukan peladen (hamba) hawa nafsu sehingga melampaui daya dukungnya. Nasaruddin mencontohkan bagaimana masyarakat Bulukumba di Sulawesi Selatan meramal cuaca untuk melaut.

Dia pergi melaut, tenggelamkan kakinya sampai di lutut. Empat menit dia tahu di depan itu ada perubahan cuaca yang sangat besar. Ketinggian gelombangnya di atas 2,5 meter. Enggak usah melaut,” Pengetahuan masyarakat tersebut diperoleh karena persahabatan mereka dengan laut (alam) yang harmonis, “Bagaimana caranya bersahabat dengan laut? Diadakan upacara laut. “Kami melakukan upacara laut bukan menyembah laut. Persahabatan saya dengan laut begini, tidak upacaranya kan. Ini saya tidak menyembah dia,” demikian penjelasan orang Bulukumba yang pernah diwawancarai peneliti.

Baca Juga: Ramadhan dan Krisis Ekologi: Mengapa Tema Ini Jarang Muncul di Acara TV?

Pola hubungan manusia dengan alam juga menjadi sorotan Prof. Nasaruddin Umar, yakni kecenderungan maskulinitas dalam mengelola alam. Ia mengatakan, lebih banyak pendekatan rasional yang justru mengesampingkan emosional adalah contohnya.

Jadi (jika) kita mengeksploitasi alam melampaui daya dukungnya, (maka) itu pemerkosaan, itu pendzaliman (terhadap) alam semesta. Jadi wajar kalau bumi ini juga dendam. Kok, kenapa alam semesta ini tidak mau bersahabat dengan kita? Karena, jangan salah, konsep kekhalifahan (artinya) kami tundukkan apa yang di langit dan di bumi, selama engkau menjadi khalifah yang benar. Tapi kalau kamu tidak menjadi khalifah yang benar,” kata Nasaruddin Umar kepada peneliti Pusat Pengkajian Islam Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta.

Nasaruddin Umar menambahkan, konsep feminisme sendiri tercermin dalam sifat Allah SWT. sebagai pencipta alam. Penggunaan kata ‘Rabb al-a’lamin’ misalnya, yang artinya Tuhan semesta alam, bukan kata ‘Ilah al-a’lamin’ penguasa semesta alam.

“Tuhan itu lebih menonjol sebagai Rabbul Alamin. Bukan Ilahul Alamin. Ilahul Alamin itu artinya raja diraja yang berkuasa mutlak. Tapi kalau Rabbul Alamin, pengasuh, pengayom. Tarbiyah mendidik, mengasuh, mengayomi, memelihara, merawat, membelai. Itu Tuhan. Jadi, mari kita menekankan aspek feminin-nya Tuhan. Bukan menekankan aspek maskulin-nya,” tegas Nasaruddin Umar.

Pada akhirnya, upaya memperbaiki teologi masyarakat sama pentingnya dengan memperbaiki lingkungan. Pemuka agama mana pun, kata Nasaruddin Umar, punya andil dalam upaya ini.

“Yang kita harus lakukan sekarang ini adalah bagaimana melakukan re-sakralisasi. Harus menganggap alam ini Jangan hanya dijadikan sebagai objek. Dia harus menjadi subjek juga sama dengan kita (manusia), kan?  Yang kedua, kita harus mensucikan kembali alam semesta ini sebagai bayangan Tuhan,” tukasnya.

Baca Juga: PPIM UIN Jakarta dan Kedutaan Besar Belanda Luncurkan Proyek REACT untuk Meningkatkan Aksi Lingkungan Berbasis Agama di Indonesia

Perjumpaan PPIM UIN Jakarta dengan Profesor Nasarudin Umar merupakan rangkaian program Religious Environmentalism Actions (REACT). Program yang didukung Kedutaan Besar Belanda ini fokus pada riset gerakan keagamaan dan lingkungan serta peningkatan kesadaran publik terkait dampak krisis iklim dan lingkungan.