Dapatkan Segera Buku & Hasil Penelitian PPIM UIN Jakarta Download Sekarang

Liputan Pre-Workshop PPIM UIN Jakarta


Pada kamis, 13 Juni 2024, Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) melaksanakan pra-workshop yang membahas tentang Green Islam di Indonesia beserta aktor, strategi, jaringan dan ragam organisasinya. Pra-workshop ini dilaksanakan di kantor PPIM UIN Jakarta dengan dipimpin empat orang peneliti, yakni Aldy, Dedy, Tati, dan Savran. Pra workshop ini dilaksanakan dengan tujuan untuk mempresentasikan secara umum hasil penelitian tentang Green Islam yang telah dikerjakan oleh tim peneliti PPIM UIN Jakarta, sebelum dipresentasikan secara utuh dan mendetail pada kegiatan workshop penelitian beberapa waktu setelahnya.

Keempat peneliti memulai kegiatan pra-workshop dengan terlebih dahulu memaparkan pendahuluan serta latar belakang dari penelitian Green Islam. Dedy menyebutkan bahwa pemacu fenomenal yang memicu tumbuhnya gerakan Green Islam di Indonesia adalah sunami Aceh 2004. Paska tsunami, perlahan-lahan mulai tumbuh organisasi lingkungan berasaskan Islam di Indonesia. Dedy melanjutkan bahwa fenomena tsunami Aceh tersebut memantik kesadaran moral berbagai LSM Islam dan secara umum umat Islam itu sendiri untuk dapat berperan aktif dalam merespon musibah alam, alih-alih hanya berdiam diri sebab tak mampu berbuat.

Dilanjutkan oleh Aldy, ia kemudian memetakan pola-pola organisasi Green Islam di Indonesia, baik dari segi latar belakang berdirinya hingga nilai-nilai yang dipostulasikan olehnya. Secara umum, Aldy menyebutkan bahwa organisasi Green Islam di Indonesia ada tiga jenis, yaitu organisasi berasas Islam yang berdiri di bawah naungan organisasi besar lainnya seperti Muhammadiyah Disaster Management Center/MDMC, organisasi berasas Islam yang secara organik berdiri tanpa naungan organisasi lain seperti FNKSDA, Salam Institute, dan lainnya, dan organisasi lingkungan yang berdiri dengan latar belakang nilai-nilai kebudayaan/local seperti Komunitas Muslim Adat Ammatoa Kajang, Masyarakat Adat Dayak Iban Rumah Betang Sungai Utik, dan lainnya.

Secara nilai, ada perbedaan pandangan di antara organisasi Green Islam di Indonesia dalam memandang Islam sebagai asas organisasi mereka. Organisasi Green Islam yang berada di bawah naungan LSM besar Islam cenderung menjadikan Islam tidak hanya sebagai ruh atas gerakan, melainkan menjadi panduan teknis atas gerakan itu sendiri, sebagai contoh MDMC selaku organisasi lingkungan di bawah Muhammadiyah menjadikan nilai-nilai kemuhammadiyahan sebagai landasan sekaligus panduan teknis atas kegiatan-kegiatan mereka.

Sementara organisasi Green Islam yang bersifat independen tanpa bernaung kepada organisasi lain cenderung hanya menjadikan Islam sebagai basis nilai atas gerakan/spirit atas gerakan, misalkan Salam Institute. Salam Institute menjadikan nilai-nilai keislaman sebagai spirit atas gerakan mereka dalam menanggapi persoalan-persoalan lingkungan di Cirebon, khususnya persoalan tambang, dengan memanfaatkan dalil-dalil agama dan tokoh-tokohnya. Salam mampu membangkitkan kesadaran bahwa menjaga lingkungan adalah bagian dari beriman kepada Allah SWT, juga bersikap aktif melawan upaya zalim atas lingkungan di daerah mereka adalah bagian dari berjihad di jalan Allah SWT. Adapun menurut Aldy, organisasi lingkungan berbasis lingkungan menjadikan permasalahan lingkungan mereka sebagai fokus gerakan mereka dengan menjadikan nilai-nilai budaya sebagai pendorong gerakan mereka, seperti yang dilakukan oleh komunitas Iban Sungai Utik dan Ammatoa Kajang.

Setelah Dedy dan Aldy sebagai peneliti memaparkan tentang latar belakang dan pemetaan jaringan organisasi Green Islam, Tati melanjutkan pembahasan dengan memaparkan “best practice Green Islam Indonesia” atau praktik terbaik yang sudah dilakukan oleh organisasi-organisasi green Islam tersebut.  Ada 21 praktik terbaik atas Green Islam, namun ada 6 isu yang memiliki pengaruh besar terhadap masyarakat dan ia bersifat berkelanjutan, sehingga berdampak besar:

  1. Manajemen sampah dan limbah, seperti: Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) DIY memiliki program Kyai Peduli Sampah dan proklim. Di Desa Samburejo, Bantul, LDII DIY melakukan pelatihan kepada masyarakat, termasuk dai dan remaja untuk memilah sampah. LDII DIY juga membuat ceramah setiap minggunya yang bermuatan lingkungan untuk disampaikan ke masyarakat, mengajari konsep pemilahan sampah, membuat bank sampah plastik agar dijual, dan lain-lain. Sementara itu, Proklim merupakan program lingkungan yang berusaha mengurangi dengan memberikan pelatihan proses pemilahan sampah antara organic dan anorganik.
  2. Dakwah satwa langka di Indonesia, seperti: PPI Unas Fachruddin Mangunjaya, dengan latar belakang terancamnya satwa-satwa langka dan upaya komodifikasi atasnya, maka Mangunjaya mencoba untuk mengajukan pembuatan fatwa satwa langka kepada MUI ketika Din Syamsuddin menjadi ketuanya. Tahun 2013 fatwa satwa langka MUI disebarluaskan, dan Mangunjaya menyebarkannya hingga ke lingkungan internasional. Media diseminasinya adalah dengan buku, muatan ceramah, dan lain-lain, setidaknya sudah ada 153 dai yang terlatih oleh Mangunjaya dalam isu ini.
  3. Islam dan ekofeminisme, seperti: HAKA melatih para Tengku inong Aceh yang dianggap memiliki posisi strategis untuk andil dalam isu lingkungan, Aisyiyah melalui Hening Parlan memasukkan nilai-nilai green islam ke dalam gerakan yang bernuansa green dan tanggap bencana, seperti green ramadan dll. Komunitas Muslim adat Ammatoa Kajang mengajarkan para wanita untuk menenun sebagai bagian dari kewajiban hidup mereka sebelum menikah.
  4. Gerakan berbasis media sosial, seperti: Ecodeen, Bumi Langit, Agriqur’an yang aktif berkampanye nilai-nilai green islam di media sosial dan konten-kontennya yang sosialisatif dan praktis bagi pembacanya.
  5. Membangun energi baru terbarukan, seperti: Yayasan Haji Kalla (YHK) yang mengusahakan transisi energi dengan program “Kampung Hijau Energi”.
  6. Penjaga Hutan Terbaik di Dunia, seperti: Komunitas Muslim adat Ammatoa Kajang, pelarangan penebangan hutan dan sakralisasi alam semesta, kewajiban menanam dua pohon ketika menebang satu. Lingkungan yang ekslusif, perlu izin kepada ketua adat jika ingin menyambangi.

Terakhir, Savran, peneliti PPIM UIN Jakarta memaparkan kekuatan, peluang dan tantangan, perkembangan Green Islam di Indonesia. Ia menyoroti bahwa ada beberapa hal yang dihadapi organisasi atau komunitas Green Islam untuk bisa survive. Terdapat empat kekuatan gerakan Green Islam di Indonesia: (1) kerangka etik, baik itu etika terkait pentingnya melestarikan lingkungan untuk generasi berikutnya maupun etika tentang kesatuan manusia dan alam; (2) sumber daya organisasi yang terbentuk dari struktur gerakan pusat ke daerah, seperti yang dimiliki oleh NU dan Muhammadiyah; (3) pengikut loyal yang didasari oleh kesamaan identitas agama; dan (4) kemampuan kreatif untuk beradaptasi dan berinovasi, seperti penggunaan panel surya oleh Bumi Langit Permaculture dan LDII, pembuatan sumur biopori oleh Save Ake Gaale, dan pemanfaatan limbah organik untuk pupuk organik dan biogas oleh Yayasan Hadji Kalla.

Selain itu, terdapat tiga peluang yang dapat memperkuat aktivisme lingkungan gerakan Green Islam di Indonesia, yaitu (1) jaringan yang secara alamiah terus membesar karena mengintegrasikan Islam dan lingkungan, serta jaringan yang melampaui batas lokal; (2) latar belakang pendidikan para aktivis: tidak sedikit dari mereka memiliki pendidikan tinggi yang memberikan peningkatan kapasitas bagi gerakan Green Islam; (3) fenomena ecological turn atau pergeseran paradigma yang lebih memperhatikan aspek ekologi dan keberlanjutan di ranah kebijakan, khususnya sejak Islamic Declaration on Global Climate Change (Deklarasi Islam tentang Perubahan Iklim Global) di Istanbul dan Paris Agreement 2015.

Terakhir, gerakan Green Islam di Indonesia juga menghadapi sejumlah tantangan: (1) kesenjangan pengetahuan antara aktivis dan konstituen; (2) terbatasnya kekuatan finansial organisasi; (3) masih adanya regulasi yang tidak pro-lingkungan, baik di tingkat nasional maupun lokal; (4) sebagian program aktivisme Green Islam masih menyasar pada kelompok tertentu berdasarkan kesamaan identitas organisasi maupun komunitas; dan (5) sebagian aktivis Green Islam belum memiliki pengetahuan lingkungan yang mendalam.