Jakarta (24/07) – Ruang Downing Ballroom, Hotel Ashley Wahid Hasyim Jakarta dipenuhi oleh orang-orang yang duduk di meja-meja bundar. Mereka datang untuk menyaksikan acara peluncuran survei nasional bertajuk “Green Islam Setengah Hati? Potret Muslim Ramah Lingkungan di Indonesia.”
Penyaji temuan survei dalam kegiatan ini adalah Prof. Iim Halimatusa’diyah, Koordinator Survei Nasional pada Proyek Religious Environmentalism Actions (REACT), Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta.
Dalam presentasinya, Iim menyampaikan beberapa temuan penting dari survei tersebut. Temuan utama survei ini memperlihatkan bahwa praktik-praktik kepedulian lingkungan berbasis nilai-nilai keislaman belum banyak diketahui oleh masyarakat Muslim di Indonesia. Banyak yang tidak tahu apa itu eco-pesantren, fatwa MUI tentang lingkungan, maupun organisasi lingkungan berbasis agama seperti Kader Hijau Muhammadiyah (KHM) atau Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA). Meski sudah banyak inisiatif dari gerakan Green Islam, mayoritas Muslim masih belum mengetahui inisiatif-inisiatif tersebut.
“Kenapa kita pakai judul Green Islam Setengah Hati? Kita bukan mau memberikan sentimen negatif pada gerakan Green Islam. Justru, kita ini mau memperlihatkan fakta di lapangan. Realitas di publik seperti apa. Justru ini menjadi pekerjaan rumah bagi para aktivis,” ujar Iim, guru besar di bidang sosiologi tersebut.
Selain itu, permasalahan lingkungan belum menjadi isu utama yang dikhawatirkan oleh Muslim di Indonesia. “Isu sampah, misalnya, memang masih jadi prioritas utama Muslim, tapi isu eksploitasi sumber daya alam masih menjadi urutan kedelapan,” ungkap Iim.
Lebih lanjut, ia menekankan bahwa banyak Muslim yang masih belum paham mengenai isu transisi energi, yang menjadi tantangan besar bagi pemerintah dan para aktivis lingkungan. Artinya, kata Iim, upaya pemerintah dalam mengarusutamakan penggunaan energi terbarukan perlu cara baru yang lebih segar agar dapat dipahami dan diterima oleh masyarakat.
Lalu, di tengah ramai-ramai isu pengelolaan tambang oleh organisasi masyarakat jeagamaan, survei ini juga mengungkapkan temuan penting. Ternyata, mayoritas Muslim setuju bahwa aktivitas ekonomi seperti pertambangan dan perkebunan sawit menjadi penyebab utama kerusakan lingkungan. Tapi di sisi lain, 71% Muslim juga setuju bahwa masyarakat pesantren boleh mengelola tambang untuk pendanaan pesantren.
“Ini realitas masyarakat kita. Mereka punya pandangan mendua –dualitas pandangan– menerima dan menolak tambang secara bersamaan. Dua isu ini belum mencapai titik temu satu sama lain,” ungkap Iim,
Selain itu, temuan survei menunjukkan bahwa Muslim yang berafiliasi dengan Muhammadiyah cenderung setuju dengan pengelolaan tambang untuk kepentingan ekonomi pesantren. Sebaliknya, tingkat persetujuan kepemilikan tambang paling sedikit ditemukan di kalangan NU, meskipun sebagian besar responden setuju dengan pengelolaan tambang.
Aktivitas kepedulian lingkungan di kalangan Muslim Indonesia sangat terkait dengan perilaku yang berkaitan dengan insentif ekonomi atau aktivitas yang minim biaya. Temuan ini menunjukkan bahwa aspek ekonomi masih menjadi pendorong utama bagi banyak Muslim dalam melakukan tindakan pro-lingkungan.
“Umat Islam lebih sering melakukan penghematan air dan Listrik, ketimbang upaya kepedulian lingkungan di bidang donasi untuk gerakan di bidang lingkungan,” ungkap Iim.
Survei ini memberikan gambaran bahwa masih banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan untuk meningkatkan kesadaran lingkungan di kalangan Muslim Indonesia.
Iim juga menambahkan bahwa kesadaran dan pemahaman yang lebih mendalam tentang isu-isu lingkungan serta implementasi nilai-nilai Islam dalam menjaga lingkungan perlu terus digalakkan. Pemerintah, para aktivis lingkungan, dan tokoh agama memiliki peran penting dalam mengedukasi dan mendorong masyarakat untuk lebih peduli dan bertindak nyata dalam melindungi lingkungan.