Perkawinan antarormas keagamaan dan lembaga lingkungan mungkin harus dilakukan, terutama dalam mengelola kekayaan alam.
Saya gusar mengikuti polemik izin tambang bagi ormas yang tengah bergulir. Menurut saya, dua poros pro-kontra telah mengambil sikap ekstrem. Maka dari itu, berbekal hasil survei nasional Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Universitas Islam Negeri Jakarta tentang agama dan lingkungan yang dirilis pada 24 Juli 2024, saya ingin mendudukkan isu ini secara lebih seimbang.
Sebagai informasi, pada 1 Maret-27 Mei 2024, Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta menyurvei masyarakat Muslim tentang pengetahuan, sikap, dan perilaku mereka mengenai lingkungan dan perubahan iklim. Survei ini melibatkan 3.045 responden berusia minimal 15 tahun yang diwawancarai secara tatap muka.
Penafian, survei ini dilakukan sebelum polemik berlangsung. Tambang, kebetulan saja, menjadi salah satu pertanyaan yang kami tanyakan.
Temuan kami mengenai tambang memperlihatkan bahwa 63,83 persen Muslim di Indonesia setuju bahwa pesantren atau ormas keagamaan boleh memiliki usaha pertambangan atau perkebunan sawit untuk menambah pemasukan. Jika dilihat lebih detail, ada 67,88 persen Muslim yang merasa dekat dengan Nahdlatul Ulama (NU) dan 70,29 persen Muslim yang dekat dengan Muhammadiyah setuju pesantren atau ormas keagamaan mengelola tambang.
Ini tentu saja memperkuat argumen Ulil Abshar Abdalla, Ahmad Suaedy, dan lainnya yang pada beberapa kesempatan sering mengatakan bahwa keinginan mengelola tambang berasal dari akar rumput.
Namun, di saat yang sama, masyarakat Muslim Indonesia juga setuju bahwa aktivitas ekonomi seperti pertambangan dan perkebunan menjadi dalang bagi kerusakan lingkungan. Paling tidak ada 59,82 persen Muslim Indonesia yang menyetujui ini. Lebih jauh, dari yang setuju, ada 69,91 persen Muslim Muhammadiyah dan 67,91 persen Muslim NU setuju bahwa perubahan iklim terjadi karena aktivitas pertambangan dan perkebunan sawit.
Temuan yang kedua ini memperkuat argumen mereka yang melawan Ulil.
Ekonomi atau lingkungan?
Lantas, bagaimana kita harus menyikapi temuan yang ambivalen tersebut? Barangkali, memang seperti itulah hidup sebagai umat Islam di tengah era anthroposen atau era neokapitalistik yang berpegang teguh pada idealisme pembangunan (developmentalism).
Jika membelah Bumi menjadi Kutub Utara (Global North) dan Kutub Selatan (Global South), kita akan menemukan tren bahwa pertumbuhan ekonomi selalu menjadi concern utama masyarakat Global South. Terutama semenjak Perang Dunia Kedua selesai, berbagai negara yang baru merdeka di wilayah ini berlomba-lomba memacu ketertinggalan mereka. Mereka, dalam banyak kesempatan dengan intervensi orang-orang Global North, mengekstraksi semaksimal mungkin sumber daya alam yang ada di bawah kakinya.
Pada perkembangannya, upaya ekstraktif ini berbenturan dengan persoalan degradasi lingkungan. Makin ke sini, benturan ini semakin intensif. Hal ini terutama karena perubahan iklim semakin terasa dampaknya. Sehingga, perlu adanya rekonsiliasi antara manfaat pertumbuhan dan dampak lingkungan.
Umat Islam Indonesia, termasuk NU di dalamnya, pernah agresif memperjuangkan perbaikan lingkungan. Berkaca pada masa lalu, Kiai Ali Yafie sudah mengelaborasi kajian fikih lingkungan (fiqh al-bi’ah) sejak awal tahun 2000-an. Muhammadiyah juga punya upaya serupa terkait ini. Fikih Air yang terbit pada 2014 mencakup kegiatan konsumsi, distribusi, konservasi, dan komersialisasi air sesuai nilai-nilai agama Islam.
Gerakan-gerakan lingkungan, baik yang umum maupun berbasis keagamaan, pun tidak berkurang dari tahun ke tahun. Jumlahnya semakin banyak. Namun, gerakan-gerakan ini sering kali kalah oleh gempuran industrialisasi.
Sebuah tawaran solusi
Mungkin saatnya kita mempertimbangkan kolaborasi antara dua kutub ekstrem yang tengah berpolemik. Di satu sisi, kita harus mengakui bahwa aktivitas pertambangan, perkebunan sawit, dan industri ekstraktif lainnya merugikan kita semua. Merusak Bumi kita. Merenggut masa depan anak bangsa. Dan tentu saja mengancam eksistensi berbagai flora dan fauna.
Namun, di sisi lain, kita juga perlu mengakui bahwa kesejahteraan ekonomi masih menjadi pekerjaan rumah bangsa ini. Saya tidak perlu menggarisbawahi bahwa kekayaan orang terkaya di Indonesia setara dengan 100 juta orang Indonesia. Atau perlu mengingatkan bahwa 50 orang terkaya di Indonesia adalah para taipan pemilik perusahaan tambang.
Untuk itu, perkawinan antarormas keagamaan dan lembaga-lembaga lingkungan mungkin harus dilakukan. Terutama, kolaborasi dalam mengelola kekayaan alam Indonesia secara lebih arif dan bijaksana.
Selama ini, berbagai gerakan peduli lingkungan kerap berapriori terhadap kegiatan tambang berlandaskan wawasan lingkungan (green mining). Menafikan kemungkinan bahwa pertambangan semacam itu bisa dilakukan.
Pengetahuan terus berkembang. Manusia terus berevolusi untuk bisa bertahan dari perubahan alam. Termasuk mengotak-atik upaya ”mengeksploitasi” Ibu Bumi tanpa memberi luka yang serius terhadapnya. Maka dari itu, sebuah studi dari Jon Blundy bersama para koleganya dari Departemen Ilmu Bumi, Universitas Oxford, mungkin perlu saya utarakan sedikit di sini.
Dalam sebuah artikel berjudul ”The Economic Potential of Metalliferous Sub-Volcanic Brines” (2021), Blundy dan kawan-kawannya mendemonstrasikan proses ekstraksi berbagai logam berharga (valuable metals) dari cairan asin panas (brines) yang terperangkap dalam batuan berpori di kedalaman sekitar 2 kilometer di bawah gunung berapi yang tidak aktif. Mereka melakukannya dengan kerusakan yang sangat minim.
Mereka mengatakan upaya tersebut sebagai green mining. Sebab, upaya penambangan seperti itu dapat menyediakan logam-logam penting (tembaga, emas, seng, perak, dan litium) untuk masa depan umat manusia di satu sisi, tetapi juga tetap menjaga skor nol emisi (net zero emission) dengan penambangan yang berkelanjutan. Ini jelas temuan abad ini.
Sebagai catatan, artikel mereka terbit di jurnal Royal Society Open Science. Dengan H-index jurnal sebesar 83, dan H-Index Blundy sendiri sebesar 85, jelas publikasinya bukan kelas kaleng-kaleng. Sebagai informasi, H-index atau Hirsch Index, H-Indeks merupakan indeks yang mencoba mengukur, baik dari segi produktivitas maupun dampak (impact) dari karya yang diterbitkan oleh seseorang. Angka 80 di kalangan akademisi adalah nilai yang luar biasa (remarkable). Maka rasanya aneh apabila kita meragukan temuan para ilmuwan dari Oxford itu.
Saya percaya bahwa keadilan ekonomi (economic justice) harus berjalan berdampingan dengan keadilan lingkungan (eco-justice). Hal ini tercantum dalam UUD 1945, khususnya Pasal 33 Ayat 3. Di situ jelas termaktub tentang pengelolaan bumi, air, dan kekayaan alam yang dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Tentu saja, ”kemakmuran rakyat” bisa menjadi bahasan panjang tersendiri. Namun, saya ingin menghindari perdebatan itu. Faktanya, saat ini pasal tersebut belum dijalankan sama sekali. Kekayaan alam hilang entah ke mana, lingkungan rusak tidak karuan, tetapi rakyat tidak merasakan kemakmuran.
Maka dari itu, mari kita kembalikan semangat membela lingkungan sebagai entitas yang tidak terpisah untuk mencapai kesejahteraan ekonomi. Saya percaya, kolaborasi ormas dan gerakan-gerakan hijau adalah kunci untuk bisa mencapai titik ekuilibrium itu. Ketika negara tidak berhasil, masyarakat sipil (civil society) yang seharusnya menjadi inisiator pembangunan.
(2/8/2024)
Penulis: Endi Aulia Garadian
dipublikasikan di https://www.kompas.id/baca/opini/2024/07/31/tentang-muslim-tambang-dan-survei