Jakarta (28/08)—Maraknya isu lingkungan menjadi faktor utama munculnya gerakan Green Islam, yaitu aksi kolektif yang menggunakan prinsip-prinsip dan ajaran Islam untuk menyelamatkan lingkungan. Gerakan ini menunjukkan bahwa agama juga memiliki peran besar dalam menyelamatkan lingkungan. Kemunculan gerakan Green Islam di Indonesia menandai langkah signifikan dalam integrasi prinsip-prinsip Islam dengan praktek-praktek ramah lingkungan.
Kemunculan gerakan Green Islam di Indonesia menjadi diskusi menarik. Hal inilah yang dipotret dalam rilis dan diskusi hasil temuan riset PPIM UIN Jakarta dengan tema “Gerakan Green Islam: Harapan Bagi Krisis Iklim di Indonesia?” pada hari Selasa, 27 Agustus 2024. Riset ini mengkaji bagaimana kemunculan gerakan Green Islam, faktor apa saja yang mendasari kemunculan gerakan, dan seperti apa jaringan gerakan Green Islam di Indonesia. Diskusi peluncuran hasil riset ini dihadiri oleh berbagai kelompok dan organisasi masyarakat yang telah lama bergelut dalam gerakan Green Islam, mencerminkan keberagaman dan semangat kolaboratif dalam menangani isu krisis lingkungan.
Salah satu pemantik utama dalam acara ini adalah Prof. Dr. Abdul Mu’ti, Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia yang juga telah lama bergelut di dalam isu lingkungan. Beliau dikenal sebagai akademisi dan pemikir terkemuka dalam bidang pendidikan dan Islam. Keahlian Prof. Abdul Mu’ti dalam isu-isu sosial dan keagamaan menjadikannya figur penting dalam mengintegrasikan nilai-nilai Islam dengan isu-isu kontemporer, termasuk isu-isu lingkungan. Kehadiran beliau dalam diskusi gerakan Green Islam bertujuan untuk memberikan perspektif mengenai integrasi prinsip-prinsip Islam dengan upaya pelestarian lingkungan dan memperkuat komitmen Muhammadiyah dalam upaya pelestarian alam, sesuai dengan ajaran Islam tentang tanggung jawab terhadap lingkungan.
Prof. Abdul Mu’ti memulainya dengan polemik Muhammadiyah dengan tambang. Ia menegaskan bahwa pengelolaan tambang tidak harus selalu diidentikkan dengan kerusakan lingkungan, meskipun pandangan ini terkadang terkesan utopis. Muhammadiyah ingin agar isu pertambangan menjadi perhatian serius, dengan menunjukkan contoh pengelolaan tambang yang baik yang selama ini jarang dipublikasikan. Muhammadiyah berkomitmen untuk meminimalkan dampak negatif lingkungan dari aktivitas pertambangan. “Melalui pengelolaan tambang, Muhammadiyah ingin meminimalkan tingkat kerusakan lingkungan akibat tambang,” tegas Abdul Mu’ti.
Tantangan dan Hambatan Green Islam: Ekonomi, Teologi, dan Sumberdaya Manusia
Menurut Abdul Mu’ti, sering kali terdapat inkonsistensi antara ucapan dan tindakan terkait upaya pelestarian lingkungan. Gerakan Green Islam yang, meskipun penting, tidak selalu mendapatkan dukungan dari pemerintah, sehingga terlihat seperti upaya yang hanya “menghibur diri sendiri.”
“Gerakan sedekah sampah Muhammadiyah sudah lama ada di masyarakat, namun dampaknya belum signifikan,” kata Prof. Abdul Mu’ti.
Selanjutnya, menurut beliau, saat ini, hanya ada tiga Green Mosque di Muhammadiyah, dan itu pun menghadapi tantangan biaya tinggi untuk panel surya, serta kebijakan pemerintah yang kurang mendukung, seperti kewajiban terhubung dengan PLN tanpa ada pengembalian dana jika terjadi surplus energi. Berdasarkan pengalaman Muhammadiyah, penggunaan teknologi ramah lingkungan ternyata memerlukan biaya besar, yang menjadi alasan mengapa gerakan Green Mosque, khususnya yang digerakkan Muhammadiyah belum berjalan maksimal.
Selain itu, gerakan Green Islam juga menghadapi berbagai tantangan dan hambatan, terutama kendala teologis. Salah satu contohnya adalah penggunaan air bekas wudhu yang tidak dapat digunakan kembali meskipun telah melalui proses daur ulang dengan teknologi canggih. Faktor utama yang menyebabkan daur ulang air itu tidak berjalan karena penggunaannya dianggap tidak sah jika air tersebut tidak menyentuh tanah. Menurut Abdul Mu’ti, bahkan di lingkungan Muhammadiyah yang dikenal progresif, penggunaan air daur ulang masih menjadi perdebatan, apalagi di kalangan yang lebih konservatif.
“Di Muhammadiyah yang sudah berkemajuan, penggunaan air daur ulang tersebut saja masih jadi perdebatan, apalagi yang bukan Muhammadiyah yang tidak berkemajuan,” sahutnya.
Muhammadiyah telah berusaha menjawab kendala ini dengan menerbitkan fikih air dan fikih bencana, yang memberikan dasar-dasar teologi dan mengatasi berbagai kendala teologis yang ada di masyarakat. Namun, hambatan teologis dalam gerakan Green Islam masih menjadi tantangan besar, karena hampir tidak ada yang berani merekonstruksi fikih. Fikih yang ada cenderung mendaur ulang pemahaman klasik tanpa mempertimbangkan kondisi kontemporer. Sebagai contoh, menurut Abdul Mu’ti, “tempat ibadah, yang menjadi salah satu penyumbang utama sampah, jarang dikritisi terkait praktik pengelolaan sampah di dalamnya.”
Hambatan terakhir gerakan Green Islamz menurutnya, adalah karena belum diikuti oleh “Green Office”. Meskipun Muhammadiyah telah memulai inisiatif seperti mendaur ulang plastik menjadi kopiah, tantangan terbesar adalah pasar yang belum siap menerima produk tersebut. Menurut Abdul Mu’ti, “misalnya, membuat plastik jadi kopiah. Setelah kita produksi, yang mau beli siapa? Itu problemnya. Kita bisa buat kopiah yang bahannya dari plastik, tapi siapa yang mau beli? Karena tidak ada yang beli, gerakan seperti itu ibarat menyenangkan (menghibur) diri saja.”
Problem lainnya, seperti masalah khotbah, yang sebetulnya menjadi sumberdaya besar Islam dalam melakukan advokasi ramah lingkungan, tetapi praktiknya sangat sulit. Menurut Abdul Mu’ti, meskipun sudah banyak naskah khotbah ramah lingkungan yang dibuat, dampaknya masih diragukan, terutama karena kurangnya kepatuhan jamaah dan kemampuan khatib untuk menyampaikan pesan secara efektif. Sama halnya dengan hambatan dan tantangan inisiatif seperti eko–pesantren yang masih belum menunjukkan dampak signifikan terhadap perilaku lingkungan.
Secara umum, menurut Abdul Mu’ti, gerakan Green Islam akan lebih efektif jika didukung oleh afirmasi dari pemerintah dan kebijakan publik yang lebih berpihak. “Gerakan akan memiliki dampak jika ada afirmasi dari pemerintahan dan aspek kebijakan. Kebijakan pemerintah soal energi lebih banyak pro pada eksplorasi dari SDA yang non-renewable daripada yang ramah lingkungan. Berapa banyak energi kincir angin? Saya bahkan hanya menemukan satu di Sulawesi, Pare Pare. Kalau kita serius, harusnya energi model itu diperbanyak. Kita punya banyak angin. Energi tenaga surya, itu kan juga mentok. Sepanjang afirmasi itu tidak terjadi, gerakan Green Islam hanya akan menjadi green green saja,” ucap Abdul Mu’ti. Tanpa dukungan pemerintah dan kebijakan yang ramah lingkungan, gerakan Green Islam berisiko hanya menjadi gerakan simbolis tanpa dampak nyata.
Penulis: Ronald Adam
Penyunting: Dadi Darmadi