Jakarta (27/08) – Khalisah Walid, atau akrab disapa Alin, mengungkapkan komitmennya dalam meningkatkan partisipasi perempuan dalam gerakan lingkungan pada acara peluncuran hasil riset “Gerakan Green Islam: Harapan bagi Krisis Iklim di Indonesia?” yang berlangsung pada 27 Agustus 2024 di Artotel Gelora Senayan Jakarta. Penelitian ini merupakan bagian dari proyek REACT (Religious Environmentalism Actions) yang diinisiasi oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
“Komitmen saya hadir di sini sebagai aktivis lingkungan untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam forum lingkungan,” tuturnya.
Alin diundang dalam acara ini sebagai aktivis lingkungan. Dia memulai kiprahnya dalam gerakan lingkungan dengan menjadi relawan di WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) selama menempuh pendidikan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Setelah lulus, dia melanjutkan pekerjaannya di WALHI hingga tahun 2021 sebelum bergabung dengan Greenpeace Indonesia, di mana dia kini menjabat sebagai Public Engagement and Action Manager serta Political Working Group Leader.
Baca Juga: Penguatan Peran Kepemimpinan Perempuan dalam Memutus Rantai Kekerasan Seksual di Pesantren
Selain Alin, kegiatan ini juga dihadiri oleh sejumlah pembicara, termasuk Kepala BP2SDM Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Ade Palguna Ruteka, Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti, serta perwakilan dari Kedutaan Besar Kerajaan Belanda, Mark Hengstman juga turut hadir dalam kegiatan ini.
Sebagai aktivis lingkungan perempuan, ia menyayangkan minimnya partisipasi perempuan dalam pengambilan kebijakan terkait lingkungan.
“Riset ini menemukan pemimpin gerakan Green Islam perempuan hanya 23% dibandingkan laki-laki,” ujarnya. Padahal menurutnya, terlihat dari aktivisme lingkungan selama ini, terlihat jelas keberpihakan perempuan pada isu lingkungan. Kehadiran Alin diharapkan dapat merepresentasikan perempuan pada gerakan lingkungan.
Baca Juga: Aktivis Agama dan Lingkungan Kukuhkan Komitmen Pelestarian Lingkungan
“Riset ini juga penting sebagai pengayaan Khasanah pengetahuan dalam gerakan lingkungan keagamaan,” tambahnya. Menurutnya, selama ini gerakan lingkungan dan gerakan keagamaan seolah bergerak di bidang masing-masing. Padahal banyak umat agama yang terdampak krisis iklim dan berada di negara berkembang. Dengan hadirnya tantangan besar tersebut, keduanya dipertemukan pada satu titik. Penyelamatan lingkungan menjadi nilai pemersatu bertemunya gerakan lingkungan dan keagamaan.
Ketika ditanya tentang tantangan gerakan lingkungan keagamaan ke depan, ia menjawab bagaimana membuat gerakan ini berpengaruh secara signifikan dalam menyelamatkan lingkungan. Hal ini dapat dilakukan dengan menurunkan isu krisis alam pada hal yang mudah dipahami oleh masyarakat awam. “Mungkin masyarakat awam tidak akan paham krisis iklim tapi akan memahami dampak yang ia lihat dalam kehidupan keseharian,” katanya. “Justru benteng pertahanan penyelamatan lingkungan di kampung-kampung, bagaimana memperkuat inisiatif di tingkat lokal dan menariknya lebih besar lagi ke tingkat nasional hingga global,” tambahnya.
Penulis: Aptiani
Penyunting: Dadi Darmadi