Tangerang Selatan (4/10)—Krisis iklim yang kita hadapi saat ini bukanlah fenomena yang tiba-tiba terjadi, melainkan hasil dari akumulasi aktivitas manusia selama berabad-abad. Dimulai sejak Revolusi Industri pada abad ke-18. Penggunaan bahan bakar fosil yang melonjak drastis telah menjadi salah satu penyebab utama peningkatan emisi karbon. Situasi ini semakin diperburuk dengan urbanisasi besar-besaran dan konsumsi energi yang tidak terkendali pada abad ke-21, menjadikan masalah ini semakin kompleks dan sulit diatasi.
Dampak dari tindakan eksploitasi masa lalu kini dirasakan oleh generasi muda (milenial dan generasi Z). Tanpa upaya nyata untuk mengatasi krisis iklim secara menyeluruh, generasi mendatang akan menghadapi konsekuensi yang lebih berat. Krisis ini tidak hanya mengancam lingkungan, tetapi juga memunculkan ketidakadilan bagi generasi yang harus menanggung beban kerusakan akibat ulah pendahulu mereka.
Ketidakadilan Iklim
Ketidakadilan krisis iklim terhadap generasi muda terlihat nyata melalui berbagai risiko yang harus mereka hadapi, baik saat ini maupun di masa depan. Generasi yang lahir setelah tahun 1990 bahkan harus memikul tanggung jawab lebih besar dalam mengurangi emisi karbon. Hal ini terjadi karena “kuota” emisi karbon yang masih dapat ditoleransi oleh bumi hampir habis digunakan oleh generasi sebelumnya.
Baca Juga: Maulid Nabi Muhammad: Menghidupkan Teladan dalam Kehidupan dan Lingkungan
Salah satu akar penyebab dari krisis iklim adalah pandangan antroposentrisme, yaitu keyakinan bahwa alam hanya ada untuk memenuhi kebutuhan manusia. Keraf (2005) menjelaskan bahwa pandangan ini mendorong eksploitasi sumber daya alam tanpa mempertimbangkan keberlanjutannya. Akibatnya, lingkungan menjadi korban dari pandangan yang mengutamakan manusia sebagai pusat dari segala aktivitas di bumi.
Survei Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) pada tahun 2024 menunjukkan bahwa generasi milenial dan Gen Z cenderung menganut pandangan antroposentrisme. Sebaliknya, generasi Boomer, Silent, dan Gen X lebih condong pada pandangan teosentrisme, yang menempatkan alam dalam kerangka spiritual, sehingga lebih menghormati keseimbangan ekosistem.
Berhenti Saling Menyalahkan!
Di tengah kesadaran akan ketidakadilan iklim ini, muncul pertanyaan: Mengapa generasi muda harus menanggung akibat dari eksploitasi generasi sebelumnya? Menurut Diah Ayu Prawitasari dalam artikelnya di *The Conversation Indonesia*, membawa sentimen antar generasi dalam diskusi perubahan iklim justru dapat memperkeruh masalah. Fokus seharusnya diarahkan pada upaya pemahaman yang lebih mendalam terhadap akar masalah krisis iklim dan dampaknya secara kolektif, bukan pada saling menyalahkan antar generasi.
Baca Juga: Khalisah Walid: Komitmen Aktivis Lingkungan Perempuan
Edith Brown Weiss (1992) menawarkan konsep keadilan antargenerasi sebagai solusi untuk mengatasi ketidakadilan ini. Weiss menegaskan bahwa kita memiliki tanggung jawab moral untuk mewariskan bumi dalam kondisi yang tidak lebih buruk dibandingkan saat kita menerimanya. Prinsip keadilan antargenerasi ini menekankan pentingnya menjaga keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan saat ini dengan kelestarian bumi bagi generasi mendatang.
Dengan menerapkan prinsip ini, kita dapat memutus rantai ketidakadilan iklim dan mewariskan lingkungan yang lebih baik untuk generasi selanjutnya. Upaya kolektif dalam menjaga bumi adalah kunci utama agar kita tidak mewariskan krisis ini sebagai beban yang tak terpecahkan bagi generasi mendatang.