Dapatkan Segera Buku & Hasil Penelitian PPIM UIN Jakarta Download Sekarang

Kepemimpinan Perempuan di Isu Lingkungan Masih Minim, Termasuk dalam Gerakan Green Islam


Kepemimpinan Perempuan di Isu Lingkungan Masih Minim, Termasuk dalam Gerakan Green Islam

Ketimpangan gender dalam pengambilan keputusan di bidang lingkungan masih terjadi. Termasuk dalam komunitas atau organisasi Green Islam. Padahal kepemimpinan perempuan bisa menghasilkan kebijakan lingkungan yang adil gender.

Dunia saat ini menghadapi ancaman serius krisis iklim yang berdampak luas pada kehidupan manusia dan ekosistem. Krisis iklim ini memperparah ketimpangan gender dan membuat kelompok rentan seperti masyarakat miskin dan perempuan merasakan dampak yang paling berat. Dampak ini dirasakan berbeda antara laki-laki dan perempuan, terutama yang berada dalam kondisi kemiskinan.

Sayangnya, kebijakan iklim sebagian besar gagal memperhitungkan dampak-dampak khusus berdasarkan gender ini. Padahal untuk mencapai keadilan iklim bagi perempuan, keterlibatan mereka dalam proses pengambilan keputusan sangatlah penting.

Dalam hal pendanaan iklim misalnya, sering kali tidak memperhatikan kebutuhan dan pandangan perempuan, sehingga mengurangi efektivitas upaya tersebut (Schalatek, 2009). Pendanaan iklim ini mencakup bagaimana dana dialokasikan di tingkat lokal, regional, atau global untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.

Sementara di banyak negara mayoritas pembuat kebijakan adalah laki-laki yang menyebabkan pengalaman perempuan terkait krisis iklim kurang terwakili. Selain itu, pada tingkat teoretis, perspektif etika feminis dan metodologi sering diabaikan dalam diskusi kebijakan (Nagel, 2015). Akibatnya, kebijakan krisis iklim tetap bias gender dan sering kali merugikan kepentingan perempuan.

Kurangnya peran perempuan dalam pengambilan keputusan pada kebijakan krisis iklim salah satunya dikarenakan masih melekatnya budaya patriarki. Budaya ini membatasi perempuan dalam pengambilan keputusan, yang akhirnya mengurangi partisipasi mereka dalam isu lingkungan dan perubahan iklim (Solidaritas Perempuan, 2012).

Budaya patraiarki ini wujudnya bisa kita lihat pada relasi kuasa yang timpang antara perempuan dan laki-laki. Ketimpangan gender dalam akses pendidikan dan kesempatan kerja, juga beban kerja perawatan tak berbayar yang lebih banyak ditanggung perempuan. Termasuk maraknya kekerasan berbasis gender dan semua bentuk diskriminasi berbasis gender lainnya yang sudah mengakar.

Kepemimpinan Perempuan dalam Isu Lingkungan

Kesenjangan gender dalam pengambilan keputusan di bidang lingkungan masih ditemui di banyak negara dan di sejumlah sektor. Terutama di negara berpenghasilan rendah dan industri yang sangat bergantung pada lingkungan. Misalnya, di negara-negara Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), perempuan mengisi 39% posisi menteri lingkungan. Namun di negara-negara yang paling rentan terhadap perubahan iklim, angka ini jauh lebih rendah.

Selain itu, perempuan juga jarang menduduki posisi kepemimpinan di kementerian yang terkait dengan infrastruktur lingkungan seperti energi, transportasi, dan komunikasi  (OECD,2019).

Keterbatasan data dan luasnya ruang gerak masyarakat sipil membuat sulit untuk mengukur secara tepat partisipasi dan kepemimpinan perempuan dalam aksi lingkungan di tingkat akar rumput. Namun, analisis terhadap LSM yang hadir di Konferensi UNFCCC 2021 di Glasgow (COP26) memberikan gambaran tentang representasi perempuan di negosiasi iklim internasional.

Di COP26, perempuan mewakili 44,2% delegasi dari LSM lingkungan, 42,2% dari organisasi masyarakat adat, dan 43,6% dari LSM bisnis dan industri. Data dari UNFCCC juga menunjukkan bahwa pada Women and Gender Constituencies (WGC), proporsi perempuan jauh lebih tinggi. Yakni mencapai 75%, dibandingkan dengan rata-rata 40-45% di LSM lainnya (UNFCCC, 2021)

Kondisi serupa juga terjadi di Indonesia. Bisa dilihat dari penelitian Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta berjudul ‘’Gerakan Green Islam di Indonesia: Aktor, Strategi dan Jaringan’’ yang memotret inklusivitas dan kesetaraan kepemimpinan organisasi atau komunitas lingkungan yang terlibat dalam gerakan Green Islam. Riset ini menunjukkan masih rendahnya organisasi atau komunitas Green Islam yang dipimpin oleh perempuan.

Baca juga: Khalisah Walid: Komitmen Aktivis Lingkungan Perempuan

Green Islam merupakan gerakan yang berupaya mengintegrasikan prinsip keberlanjutan dalam ajaran Islam, serta mendukung praktik-praktik ramah lingkungan sesuai dengan nilai-nilai Islam. Dengan kata lain Green Islam merujuk pada aksi kolektif yang mengaplikasikan prinsip-prinsip Islam dalam upaya-upaya pelestarian lingkungan.

Gambar di bawah menampilkan dari total 146 organisasi atau komunitas lingkungan yang terlibat dalam gerakan Green Islam, terdapat 33 kelompok atau 24% organisasi atau komunitas yang dipimpin perempuan. Sementara itu, mayoritas organisasi atau komunitas lingkungan yang terlibat dalam gerakan Green Islam masih didominasi kepemimpinan laki-laki, yaitu 113 atau 76% dari total organisasi.

Contoh organisasi yang dipimpin perempuan adalah LLHPB Aisyiyah dan Persaudaraan Muslimah (Salimah). Kedua organisasi ini memang secara khusus memiliki basis keanggotaan dan berada di bawah kepemimpinan perempuan.

Gambar Kepemimpinan Organisasi atau Komunitas Lingkungan Berdasarkan Gender

Kepemimpinan perempuan di bidang lingkungan meningkatkan keadilan representasi dan memberi perhatian lebih besar pada dampak lingkungan yang berbeda bagi laki-laki dan perempuan. Lebih dari itu kepemimpinan perempuan juga memperkuat aksi lingkungan secara keseluruhan.

Penelitian PPIM UIN Jakarta juga menunjukkan keterlibatan perempuan dalam memimpin organisasi atau komunitas bisa menghasilkan kebijakan lingkungan yang lebih baik. Selain itu juga bisa mendorong investasi berkelanjutan di sektor publik maupun swasta.

Baca juga: Indonesian Muslims and the Apocalypse: End of the Road for Effective Green Transition?

Karena itu mengatasi berbagai bentuk diskriminasi yang dialami perempuan dan mendukung potensi kepemimpinan mereka menjadi sangat penting. Pasalnya ini akan meningkatkan peran perempuan dalam pengambilan keputusan lingkungan. Penting juga untuk mengakui dan mendukung peran perempuan, termasuk perempuan adat dan kelompok yang terpinggirkan, dalam aksi lingkungan.

Kepemimpinan perempuan dalam pembuatan kebijakan terkait krisis iklim sangat penting karena mereka sering membawa perspektif unik yang lebih inklusif dan berorientasi pada keberlanjutan. Perempuan, terutama di komunitas yang terdampak langsung oleh krisis iklim, memiliki pengetahuan lokal yang mendalam tentang bagaimana mengelola sumber daya alam secara efisien dan adaptif. Hal ini membuat mereka mampu menawarkan solusi yang lebih relevan dalam konteks mitigasi dan adaptasi iklim.

Di panggung internasional, partisipasi perempuan dalam diskusi tentang krisis iklim sangat diperlukan. Ini dimaksudkan untuk memastikan bahwa kebijakan yang diambil mencakup seluruh lapisan masyarakat, terutama kelompok-kelompok yang paling rentan. Laporan United Nations Development Programme/UNDP (2016) berjudul “Women, Policy and Political Leadership: Environmental Sustainability and Climate Change Policies” menunjukkan negara-negara dengan lebih banyak perempuan dalam kepemimpinan politik cenderung memiliki kebijakan lingkungan yang lebih ambisius dan progresif.

Oleh karena itu, memperkuat representasi perempuan dalam forum-forum global terkait mitigasi krisis iklim tidak hanya meningkatkan inklusivitas. Akan tetapi juga mempercepat terciptanya solusi yang lebih holistik dan berkelanjutan.

Artikel ini diterbitkan oleh Firda Amalia dan Tati Rohayati di Konde pada 7 November 2024, dan dapat dibaca di [URL]. Artikel ini diterbitkan ulang dengan ketentuan lisensi Creative Commons.

*Firda Amalia adalah asisten peneliti di Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta (firdalia@ppimcensis.or.id).
*Tati Rohayati adalah peneliti di PPIM UIN Jakarta dan Dosen Sejarah Peradaban Islam di FAH UIN Jakarta (tati.rohayati@ppimcensis.or.id).