Menghormati Alam Seperti Kita Menghormati Ibu
Setiap tahun, Hari Ibu dirayakan untuk menghormati peran luar biasa ibu dalam kehidupan kita. Ibu, sebagai sosok penuh kasih sayang, tidak hanya merawat keluarga tetapi juga menjaga lingkungan sekitar. Alam, yang sering kali kita sebut sebagai “Ibu Bumi”, adalah sumber kehidupan yang harus kita jaga bersama. Namun, dalam era modern ini, kita menyaksikan bagaimana alam, yang dulu dihormati, kini semakin banyak dieksploitasi. Mengapa hal ini terjadi, dan apakah ini berkaitan dengan desakralisasi alam?
Ibu Bumi dan Desakralisasi Alam
Konsep “Ibu Bumi” menggambarkan alam sebagai sosok yang memberi kehidupan dan harus dihormati. Sejak zaman dahulu, banyak budaya melihat alam sebagai entitas yang sakral, mirip dengan peran ibu dalam kehidupan manusia. Namun, dengan berkembangnya pandangan modern, alam mulai dilihat hanya sebagai sumber daya yang bisa dimanfaatkan untuk keuntungan. Ini disebut desakralisasi alam, yaitu pergeseran pandangan yang menganggap alam bukan lagi sebagai sesuatu yang suci, tetapi sebagai komoditas.
Baca Juga: Kenapa Masih Ada Orang Tidak Percaya Krisis Iklim? Menyingkap Fenomena Climate Denial
Sayangnya, desakralisasi ini berujung pada eksploitasi alam yang berlebihan, seperti penebangan hutan, polusi, dan kerusakan ekosistem lainnya. Alam, yang dulu dihormati sebagai sumber kehidupan, kini diperlakukan sebagai sumber daya yang tak terbatas.
Sikap Ramah Lingkungan Umat Muslim Indonesia
Salah satu faktor yang berkontribusi pada perubahan pandangan ini adalah pemahaman manusia tentang alam itu sendiri. Menurut hasil survei nasional yang dilakukan oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta pada 2024, sebagian besar masyarakat Indonesia cenderung memiliki pandangan antroposentrisme (38,86%), yang menempatkan manusia sebagai pusat segalanya, sementara pandangan ekosentrisme yang lebih menekankan pentingnya keseimbangan alam hanya dipegang oleh 33,18% responden.
Pandangan antroposentrisme ini menunjukkan bahwa banyak orang Indonesia melihat alam sebagai sesuatu yang ada untuk memenuhi kebutuhan manusia. Di sisi lain, ekosentrisme menganggap bahwa alam memiliki nilai inheren dan harus dihormati, terlepas dari manfaat langsungnya bagi manusia. Ini menunjukkan bahwa meskipun ada kesadaran akan pentingnya menjaga lingkungan, masih banyak yang beranggapan bahwa alam dapat dieksploitasi demi keuntungan manusia.
Panggilan untuk Mengembalikan Sakralitas Alam
Hari Ibu bisa menjadi momentum yang tepat untuk kita merenung tentang bagaimana kita memandang alam. Sebagaimana kita menghormati ibu kita yang memberikan kehidupan, kita juga harus menghormati alam yang memberi kita tempat hidup, udara, dan air. Kembalinya pandangan terhadap alam sebagai “Ibu Bumi” yang sakral adalah langkah penting dalam menjaga kelestarian bumi.
Dengan mengembalikan sakralitas alam, kita dapat mendorong tindakan nyata dalam melestarikan lingkungan, seperti mengurangi polusi, menjaga keanekaragaman hayati, dan mempromosikan gaya hidup yang lebih ramah lingkungan. Ini adalah tugas kita bersama, karena bumi ini adalah rumah bagi semua makhluk hidup.
Merayakan Hari Ibu dengan Menjaga Alam
Hari Ibu bukan hanya tentang memberi hadiah atau merayakan peran ibu dalam keluarga. Ini adalah kesempatan untuk merenung dan bertanya: Sudahkah kita menghormati alam seperti kita menghormati ibu kita? Dengan mengembalikan pandangan sakral terhadap alam, kita tidak hanya merayakan Hari Ibu dengan cara yang lebih mendalam, tetapi juga berkontribusi pada keberlanjutan hidup di bumi.
Mari kita jaga alam ini, sebagaimana kita menjaga ibu kita. Tindakan kecil seperti mengurangi sampah plastik, menanam pohon, atau meminimalisir penggunaan sumber daya alam yang tidak terbarukan bisa membuat perbedaan besar. Semua dimulai dari kita—seperti ibu yang mengajarkan anak-anaknya, kita pun harus mengajarkan generasi mendatang untuk lebih peduli terhadap bumi yang kita huni.