Ekoteologi dalam Lontar Tatwa Aji Janantaka: Belajar dari Masa Lalu untuk Menyelamatkan Masa Depan

Manuskrip Kuno Lontar Aji Janantaka

Ekoteologi dalam Lontar Tatwa Aji Janantaka: Belajar dari Masa Lalu untuk Menyelamatkan Masa Depan

Pernahkah kita berpikir bahwa kerusakan lingkungan yang terjadi saat ini bisa jadi adalah “teguran” dari alam? Di Bali, ada sebuah manuskrip lontar kuno berjudul Tatwa Aji Janantaka (abad ke-19) yang menceritakan kisah tentang Prabu Partiwa, seorang raja yang angkuh dan mengeksploitasi alam hingga akhirnya dikutuk oleh dewa. Kisah ini tidak hanya sekadar dongeng, tetapi mengandung pesan ekoteologi yang relevan dengan kondisi kekinian. Yuk, kita telusuri lebih dalam!

Kisah Prabu Partiwa dan Kutukan Alam

Prabu Partiwa adalah raja yang lupa diri. Ia memerintahkan rakyatnya untuk menyembah dirinya dan mengabaikan dewa-dewa. Tak hanya itu, ia juga mengeksploitasi alam tanpa batas. Akibatnya, dewa murka dan mengirim kutukan berupa penyakit “cukil daki” yang membuat raja dan rakyatnya berubah menjadi pohon. Mereka baru bisa terbebas dari kutukan setelah menyadari kesalahan dan memulihkan alam.

Kisah ini mengingatkan kita pada kondisi saat ini. Eksploitasi alam yang berlebihan, seperti penebangan hutan, pencemaran sungai, dan polusi udara, telah menyebabkan berbagai bencana alam. Pandemi COVID-19 pun dianggap oleh banyak orang sebagai “peringatan” dari alam agar manusia berhenti merusak bumi.

Baca Juga: Upaya Pelestarian Manuskrip di Asia Tenggara dan Kerjasama Antar Kawasan untuk Keberlanjutan

Ekoteologi: Menyatukan Spiritualitas dan Ekologi

Ekoteologi adalah konsep yang menggabungkan nilai-nilai spiritual dengan upaya pelestarian lingkungan. Dalam konteks Bali, nilai ini tercermin dalam ajaran Tri Hita Karana, khususnya Palemahan, yang menekankan harmoni antara manusia dan alam. Sayangnya, nilai ini mulai tergerus oleh modernisasi dan komersialisasi pariwisata.

Lontar Tatwa Aji Janantaka mengajarkan bahwa alam bukan sekadar sumber daya yang bisa dieksploitasi, tetapi bagian dari kehidupan spiritual. Ketika manusia lalai menjaga alam, bencana akan datang sebagai bentuk ketidakseimbangan. Pesan ini sangat relevan dengan kondisi Bali saat ini, di mana alih fungsi lahan dan kerusakan lingkungan semakin mengkhawatirkan.

Lontar Tatwa Aji Janantaka bukan sekadar kisah masa lalu, tetapi cermin bagi kita di masa kini. Kerusakan lingkungan yang terjadi saat ini adalah hasil dari ketidakseimbangan antara manusia dan alam. Dengan menghidupkan kembali nilai-nilai ekoteologi, kita bisa memulihkan harmoni tersebut dan menyelamatkan bumi untuk generasi mendatang.

Jadi, mari belajar dari kisah Prabu Partiwa. Jangan sampai kita menunggu “kutukan” datang baru tersadar. Alam adalah sahabat kita, bukan musuh. Yuk, jaga bumi ini dengan penuh cinta dan tanggung jawab!

Berdasarkan Tulisan:
NILAI-NILAI EKOTEOOGI DALAM LONTAR TATWA AJI JANANTAKA, Rozi Ahdar, dalam buku Fungsi, Jejaring, dan Budaya Naskah Nusantara; Merawat Tradisi Nusantara Melalui Manuskrip Digital, DREAMSEA, 2023

Preserving Balinese Palm Leaf Manuscripts - DREAMSEA