Agama sebagai Katalis Perubahan: Inovasi Muslim Lokal dalam Merawat Bumi

Komunitas Muslim lokal mengolah sampah organik menjadi pupuk kompos di halaman masjid sebagai bagian dari gerakan lingkungan berbasis agama.

Agama sebagai Katalis Perubahan: Inovasi Muslim Lokal dalam Merawat Bumi

Oleh Dadi Darmadi

Di sebuah desa di Jawa, sekelompok ibu-ibu Muslim berkumpul di halaman masjid setiap pagi. Bukan untuk kajian biasa, melainkan untuk mengolah sampah organik menjadi pupuk kompos. Di pelosok Sulawesi, seorang guru agama bersama santrinya menanam pohon di lahan wakaf, mengubahnya menjadi hutan mini yang menahan erosi dan menyimpan cadangan air. Sementara itu, di pesisir Sumatra, pemuda-pemuda Muslim membangun ekowisata berbasis nilai Islam, mengajak wisatawan memahami pentingnya menjaga lingkungan sebagai bagian dari ibadah.

Kisah-kisah ini adalah bagian dari penelitian terbaru Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang menyoroti peran komunitas Muslim dalam menjawab krisis lingkungan. Studi berjudul “Inovasi Lingkungan Muslim Indonesia: Bagaimana Komunitas Lokal Berdaya?” mengungkap bahwa praktik keberlanjutan yang dilakukan umat Islam di akar rumput bukan hanya gerakan ekologis, tetapi juga ekspresi spiritualitas. Hasil riset ini dipresentasikan di Hotel Grand Sahid Jaya Jakarta pada Selasa (11/2/2025).

Baca Juga: Menjawab Krisis Iklim: Bagaimana Komunitas Muslim Lokal Menggerakkan Inovasi Lingkungan 

Agama dan Lingkungan: Sebuah Kesadaran Baru

Testriono, PhD, Koordinator Riset PPIM UIN Jakarta, menegaskan bahwa komunitas Muslim lokal telah mengembangkan inovasi sederhana namun berdampak besar. “Komunitas Muslim lokal mengembangkan inovasi sederhana namun berdampak, seperti mengubah sampah menjadi pupuk kompos, memanfaatkan wakaf untuk penghijauan, hingga mengelola ekowisata berbasis nilai agama. Praktik ini menunjukkan bahwa menjaga lingkungan adalah bagian dari ibadah,” ujarnya.

Konsep ini dikenal sebagai Green Islam, yaitu pendekatan yang menghubungkan ajaran Islam dengan praktik keberlanjutan. Direktur PPIM UIN Jakarta, Didin Syafruddin, PhD, menjelaskan bahwa kesadaran lingkungan yang berbasis agama memiliki dampak lebih luas dibandingkan kampanye biasa. “Ketika pesan lingkungan disampaikan melalui mimbar masjid atau fatwa ulama, umat lebih terdorong untuk bertindak,” katanya.

Kesadaran ini berakar pada ajaran Islam yang menekankan keseimbangan ekosistem. Dalam Al-Qur’an, manusia disebut sebagai khalifah di bumi, bertanggung jawab menjaga alam sebagai amanah dari Tuhan. Sayangnya, konsep ini sering kali terlupakan dalam arus modernisasi yang tidak ramah lingkungan.

Baca Juga: Zilla Boyer: Nilai Agama Kunci Aksi Lingkungan Berkelanjutan

Dari Masjid ke Hutan, Dari Sampah ke Ekonomi Berkelanjutan

Salah satu aspek paling menarik dari penelitian ini adalah bagaimana komunitas Muslim mengintegrasikan nilai agama dengan solusi praktis. Di beberapa daerah, masjid bukan hanya tempat ibadah, tetapi juga pusat edukasi lingkungan. Ada program pengelolaan sampah berbasis masjid, penghematan air wudhu, hingga penghijauan lahan wakaf.

Di pedesaan, tokoh agama berperan sebagai penggerak konservasi. Beberapa komunitas Muslim bahkan memimpin gerakan pelestarian hutan dan sungai. Mereka meyakini bahwa menjaga alam adalah bagian dari tanggung jawab keagamaan, bukan sekadar kepedulian sosial.

Di sisi lain, tren ecopreneurship atau kewirausahaan hijau juga semakin berkembang di kalangan Muslim muda. Mereka menciptakan inovasi seperti mendaur ulang sampah menjadi produk bernilai ekonomi, atau membangun wisata berbasis konservasi. Menurut Prof. Suharko, Guru Besar Sosiologi UGM, inisiatif ini penting tetapi perlu dukungan kebijakan yang lebih luas. “Perlu replikasi inovasi ini secara lebih sistematis, didukung kebijakan yang memadai,” ujarnya.

Namun, tantangannya masih besar. Suharko juga menyoroti bahwa gerakan lingkungan belum mampu mengimbangi kecepatan kerusakan ekosistem. “Perlu pendekatan holistik,” katanya, mengingatkan bahwa tanpa intervensi yang lebih luas, dampak yang dihasilkan bisa tetap terbatas.

Dari Lokal ke Nasional: Membangun Gerakan yang Lebih Besar

Temuan PPIM tidak hanya menggambarkan keberhasilan komunitas Muslim dalam mengelola lingkungan, tetapi juga menggarisbawahi perlunya kebijakan yang mendukung. Andhyta Firselly Utami, Founder Think Policy Indonesia, menekankan bahwa inovasi lokal sering kali lebih tahan lama dibandingkan kebijakan pemerintah yang berubah-ubah. “Inovasi lokal memiliki daya tahan tinggi karena tidak bergantung pada dinamika politik. Tiga faktor utama (partisipasi warga, institusi agama, inisiator lokal) harus jadi prioritas,” katanya.

Sementara itu, Direktur GreenFaith Indonesia, Hening Parlan, menyoroti pentingnya kolaborasi antar-kelompok agama dalam upaya pelestarian lingkungan. “Kolaborasi antar-kelompok agama perlu diperkuat,” katanya. Ia menegaskan bahwa nilai agama bisa menjadi kekuatan besar dalam membangun kesadaran lingkungan yang lebih luas.

Sebagai langkah konkret, PPIM merekomendasikan penguatan kapasitas inisiator lokal melalui pelatihan inovasi lingkungan yang melibatkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Agama. Selain itu, optimalisasi zakat dan wakaf juga dinilai sebagai strategi penting untuk mendanai proyek lingkungan berkelanjutan.

Agama sebagai Katalis Perubahan

Dalam dunia yang semakin terdampak perubahan iklim, pendekatan berbasis nilai agama dapat menjadi katalis bagi perubahan sosial. Penelitian PPIM membuktikan bahwa komunitas Muslim lokal memiliki potensi besar untuk menjadi pelopor dalam gerakan keberlanjutan.

Gerakan lingkungan berbasis Islam bukan hanya tentang menjaga ekosistem, tetapi juga tentang menghidupkan kembali kesadaran spiritual bahwa manusia adalah penjaga bumi. Dari masjid hingga hutan, dari desa hingga kota, Islam hijau mulai tumbuh, menawarkan harapan baru bagi masa depan lingkungan yang lebih lestari.