Kolaborasi antar Lapisan menjadi Kunci Keberhasilan Pesantren Ramah Anak


Jakarta, 27 Februari 2025 – Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta menggelar acara rilis penelitian bertajuk “Menciptakan Lingkungan Pesantren Ramah untuk Anak” pada Kamis, 27 Februari 2025, di Hotel Artotel Gelora Senayan, Jakarta. Kegiatan ini menghadirkan empat narasumber kunci, yaitu Dr. Basnang Said, S.Ag., M.Ag. (Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren, Kemenag RI), Dr. Aris Adi Leksono, M.M.Pd. (Komisioner KPAI), Dra. Nyai Hj. Badriyah Fayumi, Lc., M.A. (Anggota Majelis Masyayikh), dan Sri Nurherwati, S.H. (Komisioner LPSK) yang diwakilkan oleh Rianto Wicaksono, S.H (Tenaga Ahli LPSK). Acara ini dihadiri oleh 120 peserta dari berbagai kementerian, lembaga, organisasi masyarakat, dan perwakilan pesantren.

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh maraknya kasus kekerasan seksual di lembaga pendidikan, termasuk pesantren. Data dari Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2023 menunjukkan peningkatan signifikan kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan, termasuk pencabulan, pelecehan verbal, percobaan perkosaan, hingga kriminalisasi.

Dalam kurun waktu 2015 hingga 2021, tercatat 51 kasus kekerasan seksual di lembaga pendidikan, dengan pesantren menempati urutan kedua (19%) setelah perguruan tinggi (27%). Salah satu kasus yang mencuat adalah kasus Herry Wirawan, pengasuh pondok pesantren di Bandung, yang didakwa memperkosa 13 santriwati.

Minimnya pengetahuan santri tentang kekerasan seksual dan fasilitas yang memadai turut menambah kerentanan santri terhadap kekerasan seksual. Namun menurut Basnang Said, pesantren tidak dapat 100% disalahkan karena pemerintah sendiri belum optimal dalam memfasilitasi hal ini.

Meskipun pemerintah telah mengeluarkan payung hukum seperti Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) dan Peraturan Menteri Agama Nomor 73 Tahun 2022 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan, implementasinya di pesantren masih dirasa belum optimal. 

Penelitian PPIM UIN Jakarta dilakukan melalui dua pendekatan: kuantitatif dan kualitatif. Survei nasional melibatkan 90 pesantren di 34 provinsi dengan 1.800 responden, termasuk santri dan guru. Sementara itu, penelitian kualitatif dilakukan melalui wawancara mendalam di 17 pesantren dan 12 lembaga di 13 provinsi, melibatkan 170 informan seperti santri, guru, kiai, nyai, dan perwakilan lembaga terkait.

Penelitian ini bertujuan untuk memetakan potensi kerentanan dan ketahanan masyarakat pesantren terhadap kekerasan seksual. Beberapa faktor yang berkontribusi terhadap kerentanan, diantaranya budaya tertutup, relasi kuasa yang timpang, dan minimnya pendidikan seksual. Sementara itu, faktor ketahanan mencakup peran nyai dan mekanisme pengawasan serta keterbukaan pesantren dengan pihak luar turut berkontribusi mendorong transparansi dan mencegah kekerasan.

Basnang Said dalam paparannya menyoroti pentingnya sinergi antara pemerintah, pesantren, dan masyarakat dalam menciptakan lingkungan yang aman bagi santri. “Pesantren harus menjadi tempat yang nyaman dan aman bagi anak-anak untuk belajar dan mengembangkan diri,” tegasnya.

Sementara itu, Aris Adi Leksono menekankan perlunya mekanisme pelaporan yang mudah diakses bagi korban kekerasan seksual. Anak-anak harus diberikan pemahaman bahwa mereka memiliki hak untuk dilindungi dan didengar. Pemerintah juga perlu turut andil dengan pendekatan yang sistematis. Saat ini baru 10% atau sekitar 14 provinsi yang pemerintah daerahnya menindaklanjuti uu pks menjadi perda. 

Rianto Wicaksono dari LPSK juga menambahkan, andil pemerintah sangat dibutuhkan karena kenyataan di lapangan sering kali ditemukan polisi takut mengambil langkah dan penyidik enggan memanggil saksi-saksi dikarenakan terduga pelaku adalah tokoh di pesantren atau daerah tersebut. 

Sementara itu, Badriyah Fayumi, memaparkan pesantren adalah lembaga pendidikan yang tidak bisa disamakan dengan sekolah karena pesantren tidak hanya mengurusi pendidikan dan pengajaran namun juga pengasuhan selama 24 jam. Namun kenyataannya pesantren tidak masuk dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 44 tahun 2017 tentang pelaksanaan pengasuhan anak. Dengan segala keterbatasannya, pesantren sudah mampu mengemban tugasnya dan hal itu perlu diapresiasi. Mengenai permalahan yang ada, Majelis Masyayikh akan membawa hasil penelitian ini kepada PBNU, Muhammadiyah, dan para kiai dan ibu nyai melalui halaqah untuk dicari solusinya bersama. 

Kegiatan ini diharapkan dapat menjadi langkah awal untuk memperkuat komitmen bersama dalam menciptakan lingkungan pesantren yang ramah bagi anak. Hasil penelitian PPIM UIN Jakarta diharapkan dapat menjadi acuan bagi kebijakan dan program pencegahan kekerasan seksual di pesantren serta mendorong transparansi dan akuntabilitas dalam penanganan kasus-kasus serupa di masa depan.


Penulis: Zhella Apriesta

Editor: Haula Noor