Kearifan Islam dalam Manuskrip Bantaeng dan Maros: Bisakah Islam Menjadi Solusi?

Foto: Wikipedia

Kearifan Islam dalam Manuskrip Bantaeng dan Maros: Bisakah Islam Menjadi Solusi?

Krisis lingkungan yang kita hadapi hari ini bukan hanya sekadar persoalan ekologi, tetapi juga masalah moral dan spiritual. Kerusakan alam akibat eksploitasi sumber daya yang berlebihan, pencemaran lingkungan, dan perubahan iklim menunjukkan bahwa ada yang salah dengan cara kita memperlakukan bumi. Padahal, dalam Islam, manusia memiliki tugas utama sebagai khalifah fil ardh—pemelihara bumi yang bertanggung jawab menjaga keseimbangannya.

Penelitian REACT yang dilakukan oleh PPIM UIN Jakarta menegaskan bahwa gerakan Green Islam semakin berkembang di Indonesia. Islam tidak hanya mengajarkan ibadah ritual, tetapi juga menanamkan nilai keseimbangan alam (mizan), larangan pemborosan (israf), serta prinsip maslahah—kebermanfaatan bersama—dalam mengelola sumber daya (PPIM UIN Jakarta, 2024). Sayangnya, meski kesadaran ini mulai tumbuh, aksi kolektif berbasis nilai-nilai Islam masih perlu diperkuat agar berdampak lebih luas.

Mengapa Islam Bisa Menjadi Solusi?

Banyak yang masih menganggap isu lingkungan sebagai urusan ilmuwan, aktivis, atau pemerintah. Padahal, dalam ajaran Islam sendiri, menjaga lingkungan adalah bagian dari keimanan. Rasulullah SAW telah mencontohkan gaya hidup yang berkelanjutan—hemat air saat berwudhu, gemar menanam pohon serta kesadaran untuk menjaga keberlanjutan lingkungan, dan melarang eksploitasi berlebihan terhadap alam.

Kesadaran ekologis ini juga dapat ditemukan dalam berbagai manuskrip kuno di Nusantara. Manuskrip dari Bantaeng dan Maros, misalnya, menunjukkan bagaimana masyarakat Muslim di Sulawesi Selatan telah lama memahami pentingnya keseimbangan alam dalam kehidupan sehari-hari (DREAMSEA, 2024). Di Bantaeng, yang dikenal sebagai “Kota Padi”, sistem pertanian berbasis keberlanjutan telah dipraktikkan secara turun-temurun. Dalam manuskripnya, konsep tasawuf sering kali menekankan hubungan harmonis antara manusia dan alam, termasuk melalui prinsip zuhud yang mengajarkan kesederhanaan dalam pemanfaatan sumber daya (Azra, 2004).

Baca Juga: “Kiwari Ngancik Bihari Seja Ayeuna Pikeun Jaga”: Pesan Leluhur Sunda untuk Jaga Alam

Di Maros, yang memiliki lanskap karst terbesar di Indonesia, kesadaran ekologis terhadap air sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat. Islam mengajarkan bahwa air adalah sumber kehidupan dan harus dijaga kebersihannya (QS. Al-Anbiya: 30). Dalam konteks masyarakat yang hidup di ekosistem karst yang rentan terhadap eksploitasi, ajaran ini bisa menjadi dasar untuk melestarikan sumber daya air yang semakin terancam.

Namun, memahami nilai-nilai ini saja tidak cukup. Kesadaran harus diikuti dengan aksi nyata.

Saatnya Bergerak, Bukan Sekadar Wacana

Temuan penelitian REACT menegaskan bahwa ajaran Islam dapat menjadi dasar yang kuat untuk membangun kesadaran ekologis yang lebih luas. Namun, pemahaman saja tidak cukup. Kita perlu menjadikannya sebagai bagian dari gaya hidup dan kebijakan bersama.

Nasr (1997) dalam Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man menyebutkan bahwa krisis lingkungan terjadi akibat hilangnya kesadaran spiritual dalam interaksi manusia dengan alam. Sementara itu, Effendy (2003) menekankan bahwa Islam memiliki potensi besar dalam membentuk kesadaran sosial, termasuk dalam gerakan lingkungan. Foltz (2000) dalam Agriculture and the Environment in Medieval Islam mengungkap bahwa sistem pertanian dalam peradaban Islam didasarkan pada prinsip keseimbangan ekologis. Para ilmuwan Muslim seperti Al-Kindi dan Al-Jahiz menekankan pentingnya menjaga tanah, air, dan keanekaragaman hayati sebagai bagian dari tanggung jawab manusia sebagai khalifah di bumi. Dalam sejarahnya, umat Islam mengembangkan teknik pertanian yang ramah lingkungan, seperti sistem irigasi canggih dan rotasi tanaman, yang memungkinkan pertanian berkelanjutan tanpa merusak ekosistem.

Baca Juga: Menjawab Krisis Iklim: Bagaimana Komunitas Muslim Lokal Menggerakkan Inovasi Lingkungan 

Selain itu, Foltz (2003) dalam Islam and Ecology: A Bestowed Trust menegaskan bahwa Islam mengajarkan prinsip amanah—tanggung jawab manusia sebagai khalifah di bumi—sehingga eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan bertentangan dengan nilai-nilai agama. Hal ini diperkuat oleh penelitian Gade (2019), yang menunjukkan bagaimana komunitas Muslim di berbagai negara telah menerapkan prinsip ekologi berbasis ajaran Islam, termasuk melalui gerakan eco-mosques dan kampanye gaya hidup berkelanjutan.

Islam sudah memberi kita pedoman, dan penelitian REACT telah membuktikan bahwa Green Islam bukan sekadar konsep, tetapi bisa menjadi gerakan nyata. Kini, tinggal bagaimana kita sebagai umat Muslim mengambil peran (PPIM UIN Jakarta, 2024). Jika Islam adalah rahmatan lil ‘alamin, maka sudah seharusnya kita membawa rahmat bagi bumi ini.

Krisis lingkungan bukan sekadar ancaman, tetapi juga ujian bagi keimanan kita. Umat Islam pernah menjadi peradaban yang menjaga keseimbangan dengan alam. Kini, saatnya kita kembali ke akar—bukan hanya dengan memahami, tetapi dengan bertindak. Jika bukan kita yang memulai, lalu siapa? Jika bukan sekarang, lalu kapan?

Referensi

  • Azra, A. (2004). Jaringan ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara abad XVII & XVIII. Kencana.
  • DREAMSEA. (2024). Keunikan naskah dari Kota Padi dan Kota Karst. Retrieved from https://dreamsea.co/story/keunikan-naskah-dari-kota-padi-dan-kota-karst/ 
  • Effendy, B. (2003). Islam and the state in Indonesia. Institute of Southeast Asian Studies.
  • Foltz, R. C. (2000). Agriculture and the environment in medieval Islam: Lessons for today. Environment and History, 6(1), 31-49.
  • Foltz, R. (2003). Islam and ecology: A bestowed trust. Harvard University Press.
  • Gade, A. M. (2019). Muslim environmentalisms: Religious and social foundations. Columbia University Press.
  • Halimatusa’diyah, I., Garadian, E. A., Adam, R., Afrimadona, Jannah, A. N., Djamaludin, K. W., & Rachmanda, G. (2024). Dilema environmentalisme: Seberapa ‘hijau’ masyarakat Indonesia? PPIM UIN Jakarta.
  • Nasr, S. H. (1997). Man and nature: The spiritual crisis of modern man. ABC International Group.

Penulis: Feby Nur Evitasari
Penyunting: Dadi Darmadi