Melampaui Kata: DREAMSEA Merintis Jalan Riset Lintas Disiplin Manuskrip Asia Tenggara


Melampaui Kata: DREAMSEA Merintis Jalan Riset Lintas Disiplin Manuskrip Asia Tenggara

Hamburg, Jerman – Setelah mengungkap permadani aksara yang tersembunyi di berbagai penjuru Asia Tenggara, inisiatif DREAMSEA kini memasuki babak baru yang menjanjikan petualangan intelektual yang lebih dalam. Fase kedua proyek ambisius ini, DREAMSEA II, tidak hanya melanjutkan komitmen untuk melestarikan warisan manuskrip yang terancam punah, tetapi juga membuka cakrawala riset yang lebih luas, melampaui batas-batas kajian tekstual tradisional. Dengan fokus yang lebih tajam pada keragaman budaya dan material manuskrip, DREAMSEA II mengundang para ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu untuk menyelami kekayaan pengetahuan yang terkandung dalam lembaran-lembaran kuno.

Langkah visioner ini merupakan kelanjutan dari kesuksesan DREAMSEA fase pertama, yang ditutup dengan gemilang pada pertemuan tahunan di Hamburg, 11 April 2025. Fase sebelumnya telah berhasil menyingkap spektrum keragaman yang luar biasa dari lanskap manuskrip Asia Tenggara: keunikan aksara yang menari di atas lontar dan kertas, melodi bahasa yang beragam, jejak keyakinan yang membentuk peradaban, kekayaan tradisi yang diwariskan turun-temurun, hingga keluasan isi tekstual yang mencakup hampir setiap aspek kehidupan. Baik di daratan utama maupun di ribuan pulau yang membentang, DREAMSEA I telah membuktikan bahwa Asia Tenggara adalah gudang peradaban tertulis yang tak ternilai harganya.

Ilham Nurwansah, peneliti DREAMSEA yang berbasis di PPIM Jakarta, dalam presentasinya memukau para hadirin dengan visualisasi data yang telah dihimpun. “Data yang telah kami kumpulkan mengungkapkan potensi yang luar biasa kaya,” ujarnya, sambil menunjuk peta infografis yang memetakan keragaman budaya Asia Tenggara berbasis manuskrip. “Kekayaan ini tidak hanya tercermin dalam bahasa, aksara, dan teksnya, tetapi juga dalam tradisi unik yang kami saksikan selama setiap misi digitalisasi.” Peta tersebut menjadi saksi bisu akan keluasan dan kedalaman warisan budaya yang tersimpan dalam manuskrip.

Namun, di balik potensi yang menggiurkan ini, Ilham mengamati sebuah tren yang menarik. Meskipun luaran penelitian yang menggunakan materi digitalisasi DREAMSEA patut diacungi jempol, corak penelitian yang muncul dalam beberapa tahun terakhir cenderung didominasi oleh kajian tekstual. “Di satu sisi, kontribusi penelitian berbasis manuskrip digital DREAMSEA sangat kami apresiasi. Namun, di sisi lain, ragam penelitiannya masih terpusat pada analisis teks,” jelas Ilham, menyuarakan tantangan sekaligus peluang ke depan.

Menanggapi observasi ini, Prof. Elsa Clave, dalam sesi yang sama, memaparkan visi yang lebih luas tentang potensi riset lintas disiplin terhadap materi-materi yang telah didigitalisasi pada fase pertama. Ia dengan antusias membuka pintu kolaborasi bagi para peneliti material culture dalam rancangan program DREAMSEA fase kedua. “Saat ini, kami telah menjalin komunikasi dengan beberapa tim riset internasional yang memiliki keahlian dalam material culture dan menunjukkan antusiasme yang tinggi untuk berkolaborasi dengan DREAMSEA II, terutama dalam meneliti materi penyusun manuskrip, tinta, dan aspek-aspek material lainnya,” tegasnya, menyiratkan semangat inklusif proyek ini. “Oleh karena itu, DREAMSEA II akan membuka diri selebar-lebarnya untuk kerjasama yang inovatif di masa mendatang.”

Lebih lanjut, Prof. Clave menjelaskan bahwa misi digitalisasi manuskrip berikutnya akan memberikan penekanan yang lebih kuat pada diversitas, baik dalam lingkup geografis maupun dalam kajian material culture di Asia Tenggara. “Belajar dari pengalaman DREAMSEA I, kami berharap fase kedua ini akan memberikan wawasan yang lebih mendalam tentang keragaman budaya Asia Tenggara melalui lensa manuskripnya,” pungkasnya dengan keyakinan.

Dengan demikian, DREAMSEA II tidak hanya melanjutkan misi penyelamatan warisan tertulis, tetapi juga bertransformasi menjadi sebuah wahana eksplorasi ilmiah yang multidimensional. Para peneliti material culture, ahli kimia yang tertarik pada komposisi tinta kuno, konservator yang mendalami teknik penjilidan tradisional, antropolog yang mengkaji relasi antara manuskrip dan praktik sosial, hingga ilmuwan lingkungan yang meneliti dampak iklim terhadap pelestarian—semua diundang untuk bergabung dalam petualangan intelektual ini. Manuskrip Asia Tenggara bukan lagi sekadar kumpulan teks kuno, melainkan artefak budaya yang menyimpan jejak peradaban, teknologi masa lalu, dan interaksi manusia dengan lingkungannya. DREAMSEA II membuka lembaran baru dalam upaya memahami kekayaan Asia Tenggara, melampaui kata-kata dan menyelami materialitas sejarah itu sendiri.

Penulis: Ilham Nurwansah