Bumi yang Semakin Panas dan Kita yang Terlena: Mengurai Sindrom Katak Direbus dalam Krisis Iklim
Tersebut dalam legenda urban, sindrom katak direbus—sebuah percobaan di mana katak diam saja saat air dipanaskan perlahan—menjadi analogi tepat untuk krisis iklim. Kita, seperti katak itu, terjebak dalam kenyamanan semu sementara bumi semakin panas.
Legenda itu menggambarkan dengan tepat bagaimana manusia menghadapi krisis iklim saat ini. Perubahan yang terjadi begitu bertahap, hampir tak terlihat dari hari ke hari, membuat kita seperti katak yang tak sadar bahwa air di sekelilingnya semakin panas. Kita baru tersentak ketika banjir besar melanda, ketika suhu udara menyentuh angka ekstrem, atau ketika kabut asap kebakaran hutan mengganggu nafas kita. Tapi setelah kejadian itu berlalu, kita kembali pada rutinitas, seolah-olah ancaman itu tidak nyata.
Padahal, tanda-tanda bahwa bumi sedang “sakit” sudah ada di mana-mana. Tahun 2023 tercatat sebagai tahun terpanas dalam sejarah peradaban modern. Es di kutub mencair lebih cepat dari perkiraan para ilmuwan. Musim kemarau yang lebih panjang mengancam ketahanan pangan, sementara musim hujan yang singkat tetapi intens memicu banjir bandang di berbagai wilayah. Alam sudah mulai berbicara, tapi telinga kita seolah tertutup.
Baca Juga: Dari Dusun Sangurejo kita belajar: ‘Framing’ agama ampuh gerakkan aksi lingkungan
Mengapa Otak Kita Mengabaikan Ancaman?
Paul Slovic, psikolog risiko, menjelaskan bahwa sindrom katak direbus terjadi karena otak manusia tidak berevolusi untuk ancaman lambat seperti iklim. Mobil, pesawat, atau listrik—meski berkontribusi pada krisis—tidak “terasa” berbahaya karena sudah normal.
Ada kecenderungan untuk menormalisasi keadaan. Dulu, ketika Jakarta dilanda banjir besar pada 2007, seluruh negara gempar. Kini, banjir tahunan seolah menjadi bagian dari kehidupan warga ibu kota yang harus diterima begitu saja. Demikian pula dengan kabut asap tahunan dari kebakaran hutan, atau suhu siang hari yang semakin menyengat. Kita mulai terbiasa, padahal seharusnya tidak.
Meskipun bukti ilmiah tentang krisis iklim sudah sangat kuat, masih ada suara-suara yang meragukan. “Ini hanya siklus alam,” begitu kata mereka. Atau, “Ah, teknologi pasti akan menemukan solusinya nanti.” Sikap seperti ini ibarat katak yang mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa air yang semakin panas itu tidak berbahaya.
Lalu, bagaimana cara membangunkan diri dari kenyamanan semu ini?
Kita perlu mulai dengan mengakui bahwa krisis ini nyata. Bukan hanya untuk generasi mendatang, tetapi untuk kita yang hidup saat ini. Ketika petani mulai kesulitan memprediksi musim tanam, ketika nelayan menemui ikan yang semakin menjauh dari pantai, ketika kota-kota pesisir perlahan tergenang air laut—itu semua adalah alarm yang berbunyi nyaring.
Selanjutnya, kita harus mengubah cara bercerita tentang krisis iklim. Daripada membahasnya sebagai masalah abstrak untuk masa depan yang jauh, mari lihat dampaknya yang sudah terjadi hari ini. Ketika harga kopi atau beras melambung karena gagal panen, ketika rumah sakit dipenuhi pasien penyakit pernapasan saat musim kemarau, ketika keluarga kehilangan tempat tinggal akibat badai—itulah wajah nyata dari perubahan iklim.
Yang terpenting, kita tidak boleh berhenti pada kesadaran semata. Setiap orang bisa menjadi bagian dari solusi. Mulai dari hal sederhana: mengurangi sampah plastik, menggunakan transportasi umum, memilih produk lokal, hingga mendorong kebijakan yang pro-lingkungan. Komunitas agama bisa menjadi garda terdepan dengan mengintegrasikan pesan pelestarian alam dalam ajaran-ajaran moral.
Kisah katak dalam panci mengingatkan kita pada satu kebenaran sederhana: bahaya yang datang perlahan justru paling mematikan. Kita sudah terlalu lama terlena. Sekarang adalah waktunya untuk “melompat”—bertindak sebelum air menjadi terlalu panas dan kesempatan kita untuk bertahan semakin kecil.
Sindrom katak direbus bukanlah takdir. Kita masih bisa melompat—jika bertindak cepat.