Sosok Bambang Hero, Guru Besar Universitas IPB yang dipolisikan karena menghitung kerugian korupsi timah. (sumber foto: wikipedia)
Kebebasan Akademik di Tengah Ancaman SLAPP dan Krisis Informasi Lingkungan
Kebebasan akademik di Indonesia sedang diuji, terutama ketika berbicara tentang isu lingkungan hidup. Dalam beberapa tahun terakhir, para ilmuwan dan akademisi yang vokal menyuarakan temuan-temuan ilmiah tentang kerusakan lingkungan seringkali berhadapan dengan risiko kriminalisasi. Salah satu ancaman terbesar adalah Strategic Lawsuit Against Public Participation (SLAPP), yaitu gugatan hukum yang digunakan untuk membungkam kritik, termasuk dari para peneliti dan aktivis lingkungan. Fenomena ini tidak hanya mengancam kebebasan berekspresi, tetapi juga menghambat upaya penyelamatan lingkungan dari krisis iklim.
Survei Nasional Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta pada 2024 mengungkapkan betapa minimnya akses masyarakat terhadap informasi lingkungan dari para ahli. Sebanyak 71,06% responden mengaku tidak pernah mendengar informasi tentang iklim atau darurat iklim dari ilmuwan. Bahkan, ilmuwan dan organisasi lingkungan—baik umum maupun berbasis agama—menjadi sumber informasi yang paling jarang didengar masyarakat. Data ini menunjukkan adanya jurang komunikasi antara dunia akademik dan publik, yang diperparah oleh ketidakpercayaan terhadap institusi dan minimnya pemahaman ilmiah.
Fakta ini semakin mengkhawatirkan ketika melihat korelasi antara paparan informasi ilmiah dan kesadaran lingkungan. Survei PPIM menemukan bahwa semakin sering seseorang menerima informasi lingkungan dari ahli, semakin tinggi pula skor perilaku aktivisme lingkungannya. Artinya, keterlibatan ilmuwan dalam menyebarkan pengetahuan tidak hanya penting untuk edukasi, tetapi juga untuk mendorong aksi nyata. Namun, ketika akademisi dibungkam melalui SLAPP atau tekanan hukum lainnya, masyarakat kehilangan sumber informasi kredibel. Akibatnya, ruang kosong itu justru diisi oleh teori-teori konspirasi, sebagaimana ditunjukkan dalam penelitian Douglas dkk (2019).
Ironisnya, indeks kebebasan akademik Indonesia stagnan sejak 2015, sementara kasus kejahatan lingkungan terus meningkat. Salah satu kasus, seperti dilaporkan The Conversation Indonesia, Guru Besar IPB Bambang Hero Saharjo dilaporkan ke polisi pada Januari 2024 oleh kelompok masyarakat di Bangka Belitung karena menghitung kerugian lingkungan tambang ilegal PT Timah sebesar Rp271 triliun. Ia dianggap tidak kredibel dengan dalih bukan ahli keuangan—sebuah upaya pembungkaman yang mengalihkan isu dari fakta ilmiah ke debat kualifikasi.
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 10/2024 menyatakan bahwa siapa pun yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara hukum. Aturan ini bisa menjadi tameng bagi akademisi dan aktivis, asalkan diimplementasikan secara konsisten.
Jika Indonesia serius menghadapi krisis iklim, maka kebebasan akademik harus dijaga. Ilmuwan harus diberi ruang untuk berbicara tanpa takut dijerat hukum, sementara masyarakat perlu mendapat akses yang lebih luas terhadap informasi ilmiah. Tanpa itu, upaya menciptakan kesadaran lingkungan yang massif hanya akan menjadi mimpi di siang bolong.