Komunitas Muslim di Kampung Nelo Congkar, Manggarai Timur (foto:Indonesiana)
Belajar Kemandirian dari Komunitas Muslim Lokal
Gempar melanda dunia organisasi non-pemerintah di Indonesia belakangan ini. Keputusan USAID menarik sebagian besar bantuannya membuat banyak NGO kelimpungan. Program terpaksa dipangkas, bahkan beberapa terancam tutup. Tapi di balik kabar suram ini, ada kisah inspiratif yang justru datang dari tempat paling tak terduga – komunitas Muslim kecil di pelosok negeri yang ternyata sudah lama mengembangkan formula mandiri untuk gerakan lingkungan berkelanjutan.
Riset terbaru PPIM UIN Jakarta (2025) mengungkap rahasia di balik ketahanan komunitas-komunitas ini. Ternyata kuncinya ada pada harmoni antara Partisipasi Warga, Institusi Agama, dan Inisiator Lokal. Keterlibatan institusi agama ini sejalan dengan pernyataan antropolog Julia D. Howell (2001), Islam di Indonesia tidak sekadar menjadi keyakinan spiritual, tapi telah menjelma menjadi kerangka budaya yang membentuk norma dan tradisi masyarakat, termasuk dalam hal pelestarian lingkungan.
Baca Juga:Kebebasan Akademik di Tengah Ancaman SLAPP dan Krisis Informasi Lingkungan
Kisah nyata datang dari Lombok Timur. Di Desa Kembang Kuning, masalah sampah yang sempat menggunung berhasil diatasi dengan cara yang tak biasa. Berawal dari ceramah-ceramah lingkungan di pengajian yang digerakkan tokoh agama setempat, warga kemudian bersama-sama mengembangkan komposter maggot. Tak disangka, larva lalat tentara hitam yang dihasilkan ternyata bernilai ekonomi tinggi sebagai pakan ternak. Kini desa itu tak hanya bersih, tapi bahkan meraih penghargaan nasional.
Berbeda nasib dengan desa tetangganya, KK05, yang memilih jalan instan dengan membeli mesin pembakar sampah canggih seharga ratusan juta. Tanpa melibatkan warga dan hanya mengandalkan solusi teknis, mesin itu akhirnya mangkrak. Sampah kembali menumpuk, dan dana yang sudah dikeluarkan sia-sia.
Kontras antara kedua desa ini memberikan pelajaran berharga. Di tengah ketidakpastian pendanaan asing, gerakan lingkungan justru menemukan napas baru lewat komunitas-komunitas akar rumput yang mengandalkan kekuatan lokal. Nilai-nilai agama yang mengakar menjadi perekat sosial, sementara kreativitas warga melahirkan solusi yang sesuai konteks lokal.
Baca Juga: Inovasi Lingkungan Komunitas Muslim Lokal: Dasar Penting bagi Kebijakan Nasional
Mungkin inilah saatnya kita untuk menengok ke bawah. Bukan sekadar mencari alternatif pendanaan, tapi belajar tentang ketahanan sejati dari komunitas kecil yang sudah membuktikan: perubahan berkelanjutan tak selalu butuh dana besar, tapi butuh keterlibatan inisiatif lokal yang dalam.