Peziarah mengunjungi Jabal Uhud di Madinah. (foto ilustrasi canva)
Wukuf: Puncak Haji sebagai Pendorong Kesadaran Ramah Lingkungan
Ibadah haji sebagai salah satu rukun Islam yang diwajibkan bagi yang mampu ternyata menyimpan paradoks lingkungan yang menarik. Di satu sisi, berkumpulnya jutaan jamaah setiap tahun di tanah suci memberikan dampak ekologis yang signifikan. Namun di sisi lain, puncak ibadah haji yaitu Wukuf di Arafah justru mengandung nilai-nilai luhur yang dapat menjadi katalisator kesadaran lingkungan.
Fenomena masifnya ibadah haji modern memang tidak bisa lepas dari isu lingkungan. Data terbaru dari Kementerian Lingkungan Hidup Arab Saudi (2023) menunjukkan bahwa jamaah haji menghasilkan sekitar 100.000 ton sampah setiap tahunnya. Sampah-sampah ini berasal dari berbagai aktivitas ibadah, mulai dari botol plastik, kemasan makanan, hingga sisa peralatan ibadah. Di area Mina saja, tercatat 6.000 ton sampah dihasilkan hanya dalam waktu tiga hari menurut laporan Saudi Green Initiative 2022.
Dampak lingkungan tidak berhenti di persoalan sampah. Para pakar lingkungan dari Universitas Victoria di Australia meneliti bahwa dalam lima hari pelaksanaan haji, emisi yang dihasilkan sebesar 1,8 juta ton atau setara dengan emisi kota New York, AS, selama dua pekan. Angka ini terutama berasal dari aktivitas transportasi udara dan darat, serta penggunaan AC secara massal oleh jutaan jamaah. Persoalan lain yang mengemuka adalah eksploitasi sumber daya air. Pusat Pengelolaan Air Saudi melaporkan bahwa kebutuhan air selama musim haji meningkat hingga 300%, sebuah angka yang mengkhawatirkan mengingat kondisi geografis Arab Saudi yang gersang.
Baca Juga: Rute Haji, Jalur Utama Penyebaran Wabah
Namun di balik tantangan lingkungan ini, esensi Wukuf di Arafah justru menawarkan solusi spiritual yang mendalam. Ketika jamaah berdiam diri di padang Arafah, mereka diingatkan pada larangan-larangan selama ihram yang sejatinya mengandung pesan ekologis yang kuat. QS. Al-Baqarah ayat 197 dengan tegas melarang perbuatan rafats (kotor), fusuq (maksiat), dan jidal (pertengkaran) selama pelaksanaan haji. Larangan ini dapat dimaknai secara lebih luas sebagai larangan untuk merusak lingkungan, termasuk membuang sampah sembarangan dan melakukan eksploitasi berlebihan terhadap sumber daya alam.
Makna filosofis Wukuf sendiri sebenarnya sarat dengan nilai-nilai konservasi lingkungan. Saat berdiam diri di Arafah, jamaah diajak untuk merenungkan kedudukannya sebagai khalifah di muka bumi. QS. Al-A’raf ayat 56 mengingatkan dengan tegas: “Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan) dengan baik.” Momen Wukuf menjadi saat yang tepat untuk merefleksikan bagaimana seharusnya manusia berinteraksi dengan alam sekitarnya.
Kesadaran ini telah mulai diimplementasikan dalam berbagai inisiatif hijau. Pemerintah Arab Saudi melalui Saudi Green Initiative telah meluncurkan berbagai program ramah lingkungan, seperti pengurangan plastik sekali pakai, penyediaan stasiun isi ulang air zam-zam, serta penggunaan tenda ramah lingkungan di Mina. Jamaah haji pun mulai mengadopsi perilaku yang lebih bertanggung jawab, seperti membawa botol minum isi ulang, memilih transportasi umum, dan lebih bijak dalam penggunaan energi.
Dari Indonesia, inisiatif hijau juga datang dari Dr. Fachruddin Mangunjaya dengan konsep Green Hajj-nya. Organisasi Kerjasama Islam (OKI) melalui inisiatif dari akademisi Universitas Nasional (Unas) ini mendorong praktik haji berkelanjutan dengan mengurangi jejak karbon, mengelola sampah, dan mengedukasi jamaah tentang konservasi air. Dr. Fachruddin menekankan bahwa haji seharusnya menjadi contoh praktik keberlanjutan, bukan sumber kerusakan lingkungan.
Baca Juga: Hening Parlan: Potensi Green Islam di Indonesia Cukup Besar
Wukuf sebagai puncak ibadah haji sebenarnya bukan sekadar ritual formal belaka. Ia adalah momen transformatif dimana kesadaran spiritual bertemu dengan tanggung jawab ekologis. Ketika jutaan jamaah berdiri bersama di padang Arafah, mereka diingatkan akan kesetaraan di hadapan Sang Pencipta sekaligus tanggung jawab bersama untuk menjaga ciptaan-Nya. Inilah esensi sebenarnya dari haji yang ramah lingkungan – di mana ibadah tidak hanya menyucikan diri, tetapi juga turut menyelamatkan bumi.