Dari Keberanian Riset hingga Kompleksitas Isu: Bedah Buku “Menuju Pesantren Ramah Anak” dan “Menjaga Marwah Pesantren”
Jakarta, 8 Juli 2025 — Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menyelenggarakan acara peluncuran dan bedah buku yang membahas isu kekerasan seksual di lingkungan pesantren. Acara yang berlangsung di Hotel Ashley, Tanah Abang, Jakarta ini memperkenalkan dua buku terbaru hasil riset PPIM, yaitu Menuju Pesantren Ramah Anak dan Menjaga Marwah Pesantren.
Kedua buku tersebut merupakan hasil penelitian mendalam mengenai kerentanan kekerasan seksual di pesantren. Buku Menuju Pesantren Ramah Anak menyajikan temuan-temuan lapangan serta analisis berbasis data, sementara Menjaga Marwah Pesantren menampilkan refleksi para peneliti atas pengalaman langsung mereka di lapangan, termasuk dinamika sosial, relasi kuasa, dan tantangan metodologis.
Baca Juga: MENUJU PESANTREN RAMAH ANAK: Pemetaan Ketahanan dan Kerentanan Santri terhadap Kekerasan
Acara ini menghadirkan dua narasumber sebagai pembedah, yaitu Widi Laras Sari dari Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak Universitas Indonesia (PUSKAPA UI) dan M. Falikul Isbah, sosiolog dari Universitas Gadjah Mada (UGM). Keduanya memberikan tanggapan kritis dan reflektif terhadap isi dan pendekatan dua buku tersebut.
Dalam ulasannya terhadap buku Menjaga Marwah Pesantren, Widi Laras Sari menyoroti dua aspek utama yang menonjol, yakni keberanian intelektual dan ketelitian akademik para penulisnya.
Pertama, dari segi keberanian, Widi menilai bahwa buku ini berhasil menampilkan dinamika relasi kuasa, budaya diam, dan negosiasi moral yang dihadapi para peneliti ketika berinteraksi dengan kiai, santri, dan komunitas pesantren. Penggambaran ini, menurutnya, mencerminkan keberanian etnografis yang jarang ditemukan dalam kajian sejenis.
Kedua, dari sisi ketelitian akademik, Widi menegaskan bahwa buku ini bukan sekadar pelengkap hasil penelitian utama, melainkan sebuah karya yang memperlihatkan kualitas reflektif dan kedalaman metodologis. Buku ini menggambarkan secara jujur kompleksitas emosi dan dilema etik yang dialami para peneliti di lapangan.
Baca Juga: Belajar Kemandirian dari Komunitas Muslim Lokal
“Sebagai seseorang yang bergerak di isu gender dan perlindungan anak, saya melihat buku ini berhasil menjembatani antara nilai-nilai agama dan prinsip-prinsip perlindungan anak — dua hal yang kerap kali berbenturan dalam penelitian-penelitian yang melibatkan anak dan agama,” ujar Widi.
Ia juga menekankan pentingnya ruang refleksi dalam praktik penelitian, sesuatu yang menurutnya sering kali terpinggirkan dalam tuntutan akademik yang fokus pada hasil dan relatif kurang memiliki kepedulian terhadap sisi-sisi subjektif para penelitinya.
“Saat membaca buku ini, saya terdorong untuk mempertanyakan ulang makna objektivitas dan validitas dalam penelitian. Buku ini mengingatkan bahwa pengalaman subjektif peneliti adalah bagian penting dari proses ilmiah,” pungkasnya.
Catatan Peneliti UGM tentang Buku Menuju Pesantren Ramah Anak PPIM UIN Jakarta
Peneliti Universitas Gadjah Mada, M. Falikul Isbah, turut hadir sebagai pembedah dalam peluncuran dua buku terbaru PPIM UIN Jakarta yang membahas isu kekerasan seksual di pesantren, yaitu Menuju Pesantren Ramah Anak dan Menjaga Marwah Pesantren.
Dalam paparannya yang berfokus pada buku Menuju Pesantren Ramah Anak, Falik menekankan pentingnya memahami pesantren sebagai arena sosial yang kompleks, yang memiliki titik-titik kerentanan dan ketahanan yang berbeda dari lembaga pendidikan formal lainnya. Menurutnya, buku ini memberikan gambaran empiris dan analitis yang kuat terkait dinamika tersebut.
Falik menggarisbawahi tiga temuan penting dari buku ini. Pertama mengenai penyamaan antara kekerasan seksual dan zina dalam tafsir pesantren Ia menyoroti bahwa dalam sejumlah pesantren, kekerasan seksual kerap dipersamakan dengan zina, sehingga solusi yang ditawarkan cenderung berupa pernikahan. Dalam konstruksi hukum Islam yang berlaku di banyak komunitas pesantren, korban justru dibebani pembuktian agar tidak dikenai jarimah zina. Falikul menilai bahwa ini merupakan problem serius dalam diskursus hukum Islam yang perlu dikaji lebih mendalam.
Kedua, objektivisme dan esensialisme dalam menyalahkan korban perempuan. Falik mencatat adanya kecenderungan pandangan objektivistik dan esensialis, yang menyalahkan perempuan dalam kasus-kasus kekerasan seksual. Hal ini memperlihatkan bagaimana struktur tafsir keagamaan dan budaya patriarkis saling memperkuat stigma terhadap korban.
Ketiga, reproduksi tafsir keagamaan yang misoginis di kalangan ustazah. Temuan menarik lainnya yang dicatat Falik adalah bahwa pandangan keagamaan yang misoginis tidak hanya direproduksi oleh laki-laki, tetapi juga oleh sejumlah ustazah di pesantren. Ini menunjukkan bahwa bias gender tidak hanya terinternalisasi dalam struktur, tetapi juga dalam agen-agennya — termasuk perempuan sendiri.
“Pesantren adalah lembaga yang sangat penting bagi pendidikan Islam, tapi temuan dalam buku ini menunjukkan bahwa masih ada banyak ruang pembenahan, terutama dalam hal kesadaran gender dan pemahaman kekerasan seksual,” tegas Falik.
Ia menutup paparannya dengan mengapresiasi keberanian dan kedalaman riset PPIM, serta mendorong agar hasil penelitian ini tidak berhenti pada publikasi, tetapi juga dapat diarusutamakan dalam kebijakan pendidikan dan pembinaan pesantren ke depan.
Penulis: Dedy Ibmar
Penyunting: Redaksi