Prof. Mu’ti: Menjaga Alam adalah Tanggung Jawab Iman dan Budaya

Prof. Dr. Abdul Mu'ti sedang menyampaikan pidato tentang tanggung jawab iman dalam menjaga alam di Konferensi Internasional PPIM UIN Jakarta.

Prof. Mu’ti: Menjaga Alam adalah Tanggung Jawab Iman dan Budaya

Depok, 17 Juli 2025 — Isu lingkungan bukan hanya soal sains, tetapi juga soal iman dan cara hidup. Pesan kuat ini disampaikan oleh Prof. Dr. Abdul Mu’ti, M.Ed., dalam pidato pembukaan konferensi internasional “Religious Environmentalism in Actions”, yang menekankan bahwa tanggung jawab iman dalam menjaga alam adalah pilar utama yang sering terabaikan.

Acara yang diselenggarakan oleh PPIM UIN Jakarta dan Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) ini menjadi ajang bagi Sekretaris Umum PP Muhammadiyah tersebut untuk menguraikan hubungan fundamental antara spiritualitas dan kelestarian bumi.

Baca Juga: Romo Budi: Atasi Krisis Iklim dengan Kepemimpinan Eko-Teologis Antaragama

Krisis Global: Dunia yang Panas, Datar, dan Padat

Mengawali pidatonya, Prof. Mu’ti mengutip metafora dari buku The World is Flat karya Thomas L. Friedman untuk menggambarkan tekanan ekologis saat ini.

“Tiga aspek ini yaitu overheating (pemanasan berlebih), overpopulation (kelebihan populasi), dan overconsumption (konsumsi berlebih), berkontribusi besar terhadap kerusakan ekologi kita,” ujar Prof. Mu’ti.

Namun, ia menyoroti bahwa kesadaran akan krisis ini belum membuahkan respons kolektif yang memadai, meskipun pengetahuan tentangnya sudah ada sejak lama.

Perspektif Islam: Menjaga Alam sebagai Tanda Keimanan

Menurut Prof. Mu’ti, pelestarian alam bukanlah hal baru dalam tradisi Islam. Ia menegaskan bahwa kualitas iman seseorang tercermin dari caranya memperlakukan lingkungan. Konsep inilah yang menjadi inti dari tanggung jawab iman dalam menjaga alam.

“Islam membedakan orang beriman dari yang tidak, bukan hanya lewat ritual, tapi dari sejauh mana ia peduli dan menjaga alam,” tegasnya.

Ia mencontohkan praktik thaharah (bersuci) sebagai bentuk paling dasar dari pendidikan lingkungan dalam Islam. Makna spiritual dan ekologis dari kebersihan ini, menurutnya, sering terlupakan. Kutipan ayat yang membolehkan tayamum (fatayammamu sho’iban thoyyiban) ia sebut sebagai bukti bahwa fondasi ibadah sangat terikat dengan alam yang bersih.

Pendidikan Lingkungan: Kunci Melawan Budaya Konsumtif

Prof. Mu’ti juga membahas ancaman nyata perubahan iklim, seperti mencairnya es di kutub yang dapat menenggelamkan negara kepulauan. Namun, tantangan terbesar justru bersifat kognitif dan budaya.

“Salah satu sumber masalah adalah budaya konsumtif yang tidak terkendali. Kita harus mendidik anak-anak untuk menjadi sadar dan bertanggung jawab terhadap bumi sejak dini,” ujarnya.

Pendidikan lingkungan, lanjutnya, harus bergerak dari teori ke praktik nyata di sekolah dan rumah, seperti program daur ulang dan pemanfaatan limbah. Ia berharap konferensi ini dapat melahirkan kolaborasi dan gagasan segar untuk membangun kesadaran ekologis sebagai gaya hidup.

Pidato Prof. Mu’ti ini mengingatkan bahwa solusi krisis lingkungan tidak dapat ditemukan hanya melalui teknologi, tetapi harus berakar pada perbaikan nilai-nilai spiritual, budaya, dan pendidikan yang membentuk sikap kita terhadap bumi.

Penulis: Lilis Shofiyanti
Penyunting: Redaksi