Menag Nasaruddin Umar: Krisis Iklim Butuh Transformasi Ekoteologi

Menteri Agama RI, Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, menjelaskan urgensi transformasi ekoteologi dalam konferensi internasional di UIII, Depok.

Menag Nasaruddin Umar: Krisis Iklim Butuh Transformasi Ekoteologi

Depok, 17 Juli 2025 – Di tengah ancaman krisis iklim yang lebih mematikan dari perang, Menteri Agama RI, Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, menyerukan sebuah solusi fundamental: transformasi ekoteologi. Menurutnya, cara pandang teologi yang maskulin dan antroposentris harus diubah untuk menyelamatkan bumi.

Pesan kuat ini disampaikannya saat membuka hari kedua konferensi internasional “Religious Environmentalism in Actions” di Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII), Depok. Konferensi yang didukung oleh Kerajaan Belanda ini merupakan kolaborasi PPIM UIN Jakarta dan UIII.

Baca Juga: Wisnu Bawa Tenaya: Harmoni dengan Alam Lahir dari Akar Spiritualitas

Mengembalikan Sakralisasi Alam: Memandang Semesta sebagai Tasbih

Prof. Nasaruddin menekankan bahwa alam semesta adalah perwujudan dari Asmaul Husna (Nama-nama Indah Allah) dan karena itu bersifat sakral. Saat ini, menurutnya, telah terjadi desakralisasi alam besar-besaran.

“Alam ini berasal dari Tuhan Yang Maha Suci, maka alam pun sakral. Saat kita menyakiti alam, sesungguhnya kita sedang merusak sesuatu yang suci,” ujarnya.

Ia menguraikan bahwa dalam ajaran Islam, tidak ada satu pun “benda mati”. Seluruh alam semesta, dari mikroorganisme hingga langit biru, senantiasa bertasbih—sebuah pengabdian tulus kepada Sang Pencipta.

“Semua alam semesta mencintai Tuhan, maka semuanya memiliki emosi. Pepohonan juga harus dicintai dan dijaga karena ia punya emosi sama seperti manusia,” jelasnya.

Kritik terhadap Ekoteologi Maskulin yang Merusak

Sebuah poin krusial yang diangkat Menag adalah dominasi tafsir keagamaan yang sangat maskulin. Padahal, menurutnya, sifat Tuhan yang ditampilkan dalam Al-Qur’an justru didominasi oleh sifat feminin yang mengayomi.

“Ini aneh. Delapan puluh persen sifat Allah dalam Al-Qur’an adalah feminin, tapi mengapa praktik keberagamaan umat sering kali sangat maskulin terhadap alam?” tanyanya retoris.

Dalam disertasinya pada tahun 1995, ia sudah mengkritik pandangan ini. Ia juga menolak tesis yang menuding agama Abrahamik sebagai penyebab kerusakan alam. “Bukan teks sucinya yang salah, tetapi tafsir yang keliru. Islam justru memerintahkan untuk menjaga alam. Manusia memang khalifah, tetapi tidak untuk berbuat semena-mena,” tegasnya.

Menjawab Krisis: Saatnya Kolaborasi Lintas Iman

Untuk menggarisbawahi urgensi masalah ini, Prof. Nasaruddin menyajikan perbandingan data yang tajam.

“Korban peperangan selama dua tahun terakhir mencapai 60 ribu jiwa. Tapi perubahan iklim menyebabkan kematian lebih dari empat juta orang setiap tahun. Ini krisis yang jauh lebih besar, tapi sering tidak mendapat perhatian serius,” ungkapnya.

Oleh karena itu, ia mengajak semua pihak—pemerintah, tokoh agama, akademisi, dan masyarakat sipil—untuk memulai transformasi ekoteologi secara kolektif. Forum lintas iman dan disiplin seperti ini diharapkan menjadi tonggak penting untuk melahirkan teologi lingkungan yang lebih adil, inklusif, dan penuh kasih sayang terhadap seluruh ciptaan.

Penulis: Dita Kirana
Penyunting: Redaksi