Delly Sape: Bagi Masyarakat Dayak, Hutan adalah Rumah dan Identitas

Dellysape, seorang perwakilan masyarakat Dayak, berbicara di panggung dengan latar belakang pameran dan audiens.

Delly Sape: Bagi Masyarakat Dayak, Hutan adalah Rumah dan Identitas

Jakarta (23/08) — Hutan bukan semata ruang ekologis atau sumber daya ekonomi bagi masyarakat Dayak. Lebih dari itu, hutan merupakan rumah, ruang hidup, dan identitas kultural yang tak tergantikan. Hal ini disampaikan oleh Delly Sape dalam sesi Eco-Talk pada rangkaian REACT Day 2025 yang diselenggarakan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta di Taman Ismail Marzuki, Sabtu (23/8/2025).

“Kehidupan orang Dayak sangat bergantung pada hutan. Kami hidup dari hutan—memetik sayur, mencari obat, dan menjaga alam. Hutan adalah identitas kami. Jika hutan hilang, maka rumah orang Dayak juga ikut hilang,” ujar Delly.

Baca Juga: REACT Day 2025: Sinergi Kaum Muda, Agama, dan Negara Mendorong Aksi Nyata untuk Keadilan Ekologis

“Relasi masyarakat adat Dayak dengan lingkungan melampaui logika pemanfaatan. Hutan hadir sebagai ruang ekologis sekaligus ruang sosial, spiritual, dan budaya,” tambah dia.

Namun, Delly menyayangkan tindakan perusakan seperti deforestasi yang berdampak langsung terhadap komunitas adat seringkali luput dari perhatian publik. Ia mengajak generasi muda dan para pembuat kebijakan untuk lebih membuka ruang bagi suara masyarakat adat.

“Melalui forum ini, mari kita sama-sama angkat dan perjuangkan isu masyarakat Dayak dan masyarakat adat lainnya yang sering terpinggirkan,” ajaknya.

Delly juga menyinggung sistem pengetahuan lokal masyarakat Dayak yang sarat makna. Misalnya, larangan menyebut nama seseorang secara langsung yang digantikan dengan panggilan simbolik seperti “Uu…Uu”, serta istilah “Mun” yang merujuk pada makhluk halus. 

Menurut dia, ini mencerminkan sistem semiotik khas yang mengatur hubungan sosial, sekaligus mengakar kuat pada kosmologi dan tata nilai lokal.

“Pengetahuan seperti ini harus dilestarikan karena menyatu dengan lingkungan dan cara hidup masyarakat,” jelasnya.

Delly menambahkan, jauh sebelum istilah ramah lingkungan menjadi wacana global, masyarakat Dayak telah menerapkan prinsip keberlanjutan secara turun-temurun—tanpa plastik, tanpa eksploitasi berlebihan terhadap alam.

Baca Juga: Wisnu Bawa Tenaya: Harmoni dengan Alam Lahir dari Akar Spiritualitas

“Orang Dayak dari dulu sudah hidup secara lestari. Tidak merusak, tidak membuang sampah plastik, semuanya menyatu dengan alam,” katanya.

Ia juga menyinggung ratusan kode adat yang berlaku dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Dayak, sebagai bentuk regulasi sosial yang menjaga keseimbangan antara manusia dan alam. Menurutnya, ini adalah warisan berharga yang patut dipelajari oleh generasi muda Indonesia.

Delly menyerukan agar anak-anak muda lebih peduli terhadap keberlangsungan hidup masyarakat adat, karena di dalamnya terkandung nilai-nilai ekologis yang relevan dengan tantangan masa kini.

“Menjaga masyarakat adat berarti menjaga cara hidup yang menyatu dengan alam. Ini penting, bukan hanya untuk kami, tapi untuk masa depan bumi,” ujar dia.

Penulis: Lilis Shofiyanti
Penyunting: Savran Billahi